Skip to main content

Analisis Sosio Historis dalam Takwil Modern

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: April 18, 2013

Sebagaimana setiap teks adalah sebuah fenomena historis dengan konteks khasnya sendiri, dan prinsip ini dapat dipakai untuk al-Quran sebagai sebuah teks dan interpretasinya sebagai sebuah fenomena historis juga, maka konteks di mana al-Quran dikaji di dalam berbagai aliran penafsiran pun juga harus diteliti. Seperti telah dijelaskan bahwa historisitas al-Quran sebagai sebuah teks tidaklah berarti, dan tidak mesti, bahwa ia adalah teks manusia. Teks historis ini adalah subyek pemahaman dan interpretasi, sedangkan firman Tuhan berada dalam wilayah melampaui pengetahuan manusia.
Sehingga analisis sosio historis dalam takwil modern diperlukan untuk memahami dan melakukan interpretasi. Hingga kini hanya pendekatan filologi yang diterima; sedangkan analisis sosio-historis secara mutlak ditolak tidak hanya dalam bidang interpretsi teks tetapi juga dalam bidang keilmuan Islam.
Konsep yang mengatakan bahwa teks-teks agama meskipun suci dan diwahyukan oleh tuhan tetapi secara historis ia telah dibentuk dan secara kultura dibangun, bukan hanya ditolak tetapi juga dihukumi sebagai atheis. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa konsep al-Quran sebagai perkataan internal tuhan yang abadi (eternal), yang merupakan bagian dari sebuah aliran pemikiran teologi klasik tertentu, telah menjadi dogma Islam yang diterima oleh Sunni.
Pandangan ini meninggalkan ruang bagi reinterpretsi hukum agama, karena bahasa Tuhan (baca: firman) harus dipahami menurut semangatnya bukan tulisannya. Konsekuensi finalnya adalah bahwa otoritas publik dan atau masyarakat berhak untuk mengungulkan diri dalam menginterpretasikan dan mengimplikasikan hukum. Jika firman tuhan di satu sisi abadi, tidak tercipta dan abadi, maka gagasan reinterpretasi di dalam sebuah situasi barupun menjadi haram/terkutuk; jadi kalau demikian, maka tak ada lagi perbedaan antara aksara dan semangat hukum tuhan sehingga kaum teologilah yang berhak memelihara dan melindunginya.
Untuk mengilustrasikan pentingnya hal tersebut, atau kompleksitas problem teks ketuhanan ini dalam pemikiran Islam modern, seorang intelektual reformis Mesir yang sangat terkenal pada abad 19, Muhammad Abduh, dalam Risalat al-Tauhid, risalah modern pertama tentang teologi Islam, memutuskan untuk memilih wacana teologi klasik yang dianggap paling baik dan berguna bagi kaum Muslim modern. Dia mengkombinasikan berbagai dogma dari berbagai aliran teologi yang berbeda dan menghadirkannya sebagai sebuah sintesis.
Islam adalah pesan yang diwahyukan, sedangkan wahyu itu sendiri menurut Hanafi merupakan firman tuhan yang diberikan kepada Nabi in vebatim dan harus disampaikan secara in verbatim pula kepada manusia. al-Quran sangat jelas memberikan keterangan tentang hal itu. Sebuah pesan yang mewakili hubungan komunikatif antara pengirim (sender) dan penerima (receiver) melalui alat sistem kode atau linguistik.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Menurut Imam Hasan Hanafi, (Bandung: TERAJU, 2002). Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Quran Hermeneutik Dan Kekuasaan, (Bandung: RqiS (Risearch for Quranic Studies), 2003).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar