Skip to main content

Definisi Nasikh dan Mansukh menurut Bahasa dan Istilah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: April 24, 2013

Kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata nasakh, kata tersebut adalah berbentuk masdar, dari kata kerja masa lampau nasakha, dari sisi bahasa kata nasikh sendiri memiliki banyak makna, bisa berarti: Menghilangkan (al-Izalah), sebagaimana firman Allah swt.

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul-pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. al-Hajj :52) Menggantikan (at-Tabdil) sebagaimana dijalaskan oleh firman Allah swt. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja, bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. al-Nahl: 101). 

Nasakh bisa juga berarti at-Tahwil (peralihan) dalam hal ini menurut asy-Sijistani, di mana beliau termasuk dari golongan ulama yang ahli dalam bidang bahasa, sebagaimana yang berlaku peristilahan ilmu Fara’idh (Pembagian harta pusaka), yakni pengaliahan bagian harta waris dari A kepada B. Bisa bermakna al-Naql, yaitu pemindahan dari satu tempat ketempat yang lain, misalnya: kalimat yang berarti memindahkan atau mengutip persis menurut kata dan penulisannya.

Sebagaimana menurut Ahamd Von Denffer, ia mengatakan bahwa kata nasakh berarti (an active participle) yang mempunyai arti (abrogating), sedangkan mansukh berarti (passive), yang mempunyai arti (the abrogated). hal ini merupakan suatu teknis aturan dalam bentuk bahasa, yang pasti ada pada wahyu al-Quran, dengan adanya penghapusan berarti di sini melibatkan pihak orang lain.
Baca: Sejarah perkembangan teori Mansukh
Dari beberapa definisi tentang nasakh di atas, Nampak bahwa nasakh memiliki makna berbeda-beda, bisa berarti membatalkan, menghilangkan, menghapus, menggalihkan dan sebagainya, yang di hapus disebut mansukh dan yang dihapus disebut nasikh, namun dari sekian banyak definisi itu, menurut tarjih ahli bahasa, pengertian nasikh yang mendekati kebenaran adalah naskh dalam pengertian al-Izalah, yakni berarti mengangkat sesuatu dan menetapkan selainnya pada tempatnya.

Sebagaimana dalam pengertian etimologi, naskh dalam termenologi memiliki pengertian yang berbeda-beda, sebagai mana pendapat yang mengatakan bahwa naskh adalah mengangkat atau menghapus hukum syariat dengan dalil hukum (khitab) yang lain.

Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa definisi naskh menurut istilah adalah mengangkat hukum syara dengan dalil syara yang lain, ini dapat dipandang sebagai definisi yang cermat. Sejalan dengan bahasa Arab yang mengartikan kata naskh sama dengan meniadakan dan mencabut, beberapa ketentuan hukum syariat yang oleh asy-Syari (Allah dan Rasul-Nya) dipandang tidak perlu di pertahankan, dicabut dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas serta berdasarkan pada kenyataan yang dapat dimengerti, untuk kepentingan suatu hikmah dan hanya diketahui oleh orang-orang memilki ilmu sangat dalam.

Dari beberapa devinisi nasakh dan mansukh tadi, yang paling mendekati kebenaran dengan pengertian nasikh adalah definisi yang pertama dan terakhir, yakni mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara yang lain yang datang kemudian, Maksudnya hukum atau undang-undang yang terdahulu dibatalkan atau dihapus oleh undang-undang baru, sehingga undang-undang yang lama tidak berlaku lagi.

Dalam termenologi hukum Islam (fiqih) hukum yang dibatalkan namanya mansukh, sedangkan hukum yang datang kemudian (menghapus) disebut nasikh. Perlu diketahui di sini bahwa yang dibatalkan adalah hukum syara’ bukan hukum akal dan pembatalan itu karena adanya tuntutan kemaslahatan.

Referensi Makalah®

Kepustakaan:
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Singapura: Haramain, t.th). Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, (Beirut, Dar al-Kitab, 1983). Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). Mushthafa Zaid, al-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, (Beirut, Dar al-Fikr, 1991). asy-Syaukaniy, Fath al-Qadir, (Beirut-Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994). Manna al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Singapura, Haramain, t.th). Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, (Beirut, Dar al-Kitab, 1983). Muhammad Abd Azhim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Lebanon, Dar al-Fikr, t.th).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar