Skip to main content

Syarat Pembelaan dalam Hukum Pidana Islam

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: March 17, 2013

Syarat-syarat pembelaan dalam hukum pidana Islam, yaitu:
Pertama; Adanya Serangan atau Tindakan Melawan Hukum
Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan yang melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan perbuatan yang melawan hukum, maka pembelaan atau penolakan tidak boleh dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan kewajiban baik oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang diperbolehkan oleh syara’ tidak disebut sebagai serangan, seperti pemukulan oleh orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan pengajaran atau pendidikan atau algojo yang melaksanakan hukuman potong tangan terhadap terhukum sebagai pelaksanaan tugas.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan.
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa.
Syarat pembelaan dalam hukum pidana Islam hanya terdapat pada orang yang diserang, bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka tindakan itu dapat dibenarkan.
Kedua; Penyerangan Harus Terjadi Seketika
Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan apabila benar-benar telah terjadi serangan atau diduga kuat akan terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman dan belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi jika ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus dengan cara yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang.
Ketiga; Tidak ada Jalan Lain untuk Mengelakkan Serangan
Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak serangan dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan senjata tajam untuk melukai atau bahkan senjata api yang dapat membunuh orang yang menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut dianggap sebagai serangan dan termasuk jarimah.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk menghindari serangan. Sebagaian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena itu dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi menurut sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk membela diri.
Keempat; Penolakan Serangan Hanya dengan Kekuatan Seperlunya
Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan demikian, orang yang diserang selamanya harus memakai cara pembelaan yang seringan mungkin, dan selama hal itu masih bisa dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat.
Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang sangat erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam perampasan harta, pembelaan belum berarti selesai dengan larinya penyerang yang membawa harta rampasannya. Dalam hal ini, orang yang diserang harus berupaya mencari dan menyelidikinya sampai berhasil mengembalikan harta yang dirampas oleh penyerang, dengan menggunakan kekuatan yang diperlukan, bahkan bila diperlukan maka boleh membunuhnya.
Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan) dan tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan mengenai orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Wahbah al-Zuhaily, Nazariyyah fi Fiqh al-Islamiyyah, (Damaskus: Muassasah al-Risalah, 1995). Marsum, Jinayat (HPI), (Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, 1989).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar