Skip to main content

Relasi Agama dan Ilmu Pengetahuan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: March 01, 2013

Agama dan ilmu Pengetahuan merupakan suatu keluarga yang diikat oleh tali persaudaraan. Sekalipun ilmu pengetahuan terbatas hanya membahas alam benda karena tidak sanggup membahas pangkal mula kejadian dan akhir sesudahnya, namun demikian ia dapat dipergunakan sebagai jenjang naik untuk kehikmatan sebagai tujuan pokok dari dekat maupun jauh.
Sebenarnya tidak ada pertentangan yang hakiki antara ilmu dan agama. Sekiranya terdapat pertentangan diantara keduanya kemungkinan besar justru ilmu belum dapat menjangkau permasalahannya. Sekalipun demikiian ilmu dapat memberikan oksigen dalam udara akal yang baik, sehingga hati menjadi mantap pendiriannya. Kemantapan itu sebagai bashiroh, tidak secara bodoh dan tersesat oleh tiruan tanpa pengertian.
Perbedaan yang terjadi antara keduanya mungkin didasari oleh salah satu dari dua kemungkinan :
Pendirian dari salah satu dari dua pihak bersikap menentang pihak yang lain dalam keseluruhan, tetapi bermaksud untuk membebaskan pihak yang lain dari pendiriannya, atau menentang karena tidak mengerti dari masing-masing pihak karena mengira apa yang tidak masuk dalam daerah jangkauan ilmunya tidak benar dan palsu.
Ada beberapa masalah tertentu yang dikatakan bahwa ilmu dan agama mempunyai dua hukum yang bertentangan. Hal ini hanya terjadi ketika agama itu menjamah unsur yang bersifat kejiwaan dari daerah problematika ilmu dan hal-hal yang eksak bagi ilmu itu.
Selama ini ada anggapan bahwa antara agama yang mempunyai ajaran-ajaran absolut dan dogma yang di wahyukan oleh Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Benar, dan ilmu pengetahuan yang banyak bergantung oleh pemikiran akal manusia yang kebenarannya bersifat relatif, terdapat pertentangan keras. Sejarah memang menunjukkan bahwa di Barat pada abad abad pertengahan terjadi pertentangan keras antara ilmu pengetahuan dan agama; di Timur, hal serupa dijumpai pula pada masa antara abad ketiga belas dan abad kedua puluh.
Menurut Harun Nasution yang dikutip oleh Amsal Bahtiar, penemuan sains di Barat tidak dapat diharmoniskan dengan dogma Kristen. Akhirnya menimbulkan pertentangan keras antara gereja di satu pihak dan kaum filosof dan saintis di pihak lain. Kaum filosof, demikian Harun Nasution, yang membawa pemikiran-pemikiran dan saintis yang menimbulkan penemuan-penemuan yang bertentangan dengan pendapat gereja dikeluarkan dari Gereja. Maka filsafat dan sains yang mereka kembangkan menjadi terlepas dari ikatan agama. Dengan demikian berkambanglah filsafat dan sains yang sekuler di Eropa Barat sebagaimana halnya dengan filsafat dan sains di Yunani zaman klasik. Filsafat ini mengajarkan bahwa mencari sebanyak mungkin kesenangan adalah prinsip yang di pakai dalam bidang moral. Dalam bidang teologi, timbul teologi Tuhan telah mati, agama tidak ada artinya lagi. Yang menentukan segala-galanya adalah manusia. Nilai yang absolut lenyap digantikan dengan nilai yang relatif.
Pemakaian sains pun, demikian Harun Nasution tidak dikontrol oleh agama. Soal sains membawa kerusakan atau manfaat bagi para masyarakat, menurut para saintis, bukanlah urusan mereka, tetapi itu adalah masalah kaum agama atau moralis. Padahal kaum agama dan moralis di Barat boleh di katakan tidak ada pengaruhnya lagi.
Etika memang tidak termasuk dalam kawasan ilmu dan tehnologi yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berparan dalam perbincangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Penerapan dari ilmu pengetahuan dan tehnologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang kita lihat akan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan tehnologi, dan hal ini ada keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan tehnologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksisitensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Menurut Harun Nasution, agama dan sains menghadapi persoalan yang cukup rumit ketika berhadapan dengan situasi yang demikian. Satu sisi sains di Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi jauh dari jiwa agama, sehingga yang terjadi adalah sains yang sekuler, Sebaliknya di Timur masyarakatnya taat beribadah, tetapi lemah moralnya, sehingga muncul bentuk sekularisasi juga dalam umat beragama.
Dalam Islam hubungan yang harmonis dapat dijumpai selama lima abad, mulai abad kedelapan sampai abad ketiga belas masehi. Itu bisa terjadi karena dalam Islam akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi.
Dalam bidang keagamaan sendiri akal juga banyak dipergunakan. Ini bisa terjadi karena dari ayat al-Quran yang jumlahnya kurang lebih 6.250 itu, hanya kira-kira 500 ayat yang mengandung ajaran mengenai akidah, ibadah dan hidup kemasyarakatan. Disamping itu terdapat pula kurang lebih 150 ayat mengenai fenomena nature. Pada umumnya ayat-ayat itu datang dalam bentuk prinsip-prinsip dan garis-garis besar tanpa penjelasan mengenai perincian maupun cara pelaksanaannya. Dalam memahami perincian dan cara pelaksanaannya banyak dipakai akal oleh para ulama. Pemakaian akal yang tinggi kedudukannya dalam al-Quran dan Hadis itulah, yang di sebut Ijtihad.
Dengan demikian berkembanglah dalam Islam pada abad kedelapan dan kesembilan masehi, teologi yang bercorak rasional. Dalam teologi ini mendorong manusia bersifat dinamis dan aktif, bukan statis maupun pasif. Teologi ini yang mengajarkan kebebasan manusia dalam kehendak serta pebuatan, dan adanya sunnatullah yang mengatur alam semesta, menghasilkan tokoh-tokoh ilmu pangetahuan pada masa lima abad tersebut, yang dalam sejarah Islam dikenal dengan Zaman Klasik. Konsep hukum alam ciptaan Tuhan bukan hasil nature, yang membawa keyakinan bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tidak ada pertentangan.
Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah sunnatullah, sedang keduanya berasal dari sumber yang satu, yakni Allah. Maka antara keduanya tak bisa diadakan pertentangan. Ayat-ayat al-Kawniyyah dalam al-Quran, ayat-ayat yang mengajarkan manusia supaya memperhatikan febomena alam, mendorong para ulama Islam zaman klasik untuk mempelajari dan meneliti alam sekitar.
Pada masa yang terletak antara abad kedelapan dan abad ketiga belas masehi, Ilmu pengetahuan duniawi sangat berkembang dalam dunia Islam, yang dimulai dengan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab yang berpusat di Bayt al-Hikmah di Baghdad. Pada zaman itu, akal sangat dijunjung tinggi, sehingga melahirkan teologi rasional dalam Islam, yang mengandung ajaran bahwa akal manusia mempunyai kemampuan yang tinggi, dan manusia diberi kebebasan oleh Tuhan dalam perbuatan dan kemauan, dengan demikian manusia bersikap dinamis.
Tetapi sayangnya pandangan luas, pikiran terbuka serta rasional, dan sikap dinamis umat pada zaman klasik hilang lenyap pada zaman pertengahan islam yang dimulai pada tahun 1250 M, dan berakhir pada tahun 1880 M. Sebagai gantinya timbul pemiliran tradisional dengan pandangan yang sempit, pikirannya yang tetutup, serta sikapnya yang statis. Pada zaman ini ajaran-ajaran yang dihasilkan ulama-ulama pada zaman klasik, dalam bidang aqidah, ibadah, muamalah dan lain-lain, juga diyakini sebagai dogma. Maka yang mengikat pemikiran pada zaman pertengahan bukan ajaran-ajaran absolut, tetapi juga ajaran-ajaran relatif yang banyaknya bertumpuk-tumpuk dengan perkembangan zaman, sehingga kebebasan perpikir dan bergerak amat terikat. Dengan keadaan demikian perkembangan kebudayaan Islam akan mengalami hambatan-hambatan.
Dengan demikian umat beragama khususnya Islam tidak lagi dianggap sebagai penghalang kemajuan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan modernisasi, seperti umat Islam zaman klasik ketika mampu membangun peradabannya sendiri.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ika Rohdjatun Sastrahidayat, Ilmu Pengetahuan Modern dan Agama Islam, (Malang, AVICENNA, 1981). Amsal Bahtiar, Filsafat agama I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997). Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik Dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, (Kajian Filsafat Ilmu), (Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogjakarta, 2002)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar