Skip to main content

Nafs sebagai Elemen Jiwa

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: March 10, 2013

Elemen jiwa berarti sisi jiwa yang menjadi dasar dalam susunan organisasi jiwa manusia. Salah satu karakteristik yang ditampilkan oleh Nafs adalah fungsinya sebagai mewadahi atau menampung dimensi-dimensi jiwa lainnya. Nafs sebagai elemen dasar jiwa manusia mengandung arti Nafs sebagai satu dimensi jiwa yang memiliki fungsi dasar dalam susunan organisasi jiwa manusia. Bahwa Nafs karena kebesarannya mampu menampung dimensi-dimensi lainya, seperti al-Aql, al-Qalb, al-Ruh, dan al-Fitrah.
Secara esensial, Nafs juga mewadahi potensi-potensi dari masing-masing dimensi psikis, berupa potensi taqwa (baik, positif), maupun potensi fujur (buruk, negatif). Pemahaman Nafs sebagai elemen dasar psikis manusia seperti yang dijelaskan di atas adalah pemahaman terhadap seluruh ayat yang menguraikan jiwa manusia dengan menggunakan istilah al-Nafs.
Dalam menjelaskan makna Nafs, Ibnu Manzur (630-711/1232-1311 M) mengutip berbagai pendapat, diantaranya adalah pendapat Ibnu Ishaq (85-151/ 704-768 M) yang mengatakan bahwa kata Nafs mengandung dua pengertian, pertama; nafas atau nyawa. Seperti dalam kalimat telah keluar nafs seseorang artinya nyawanya. Kedua; bermakna diri atau hakikat dirinya, seperti dalam kalimat seseorang telah membunuh nafs-nya, berarti dia telah membunuh seluruh diri seseorang, atau hakikat dirinya.
Menurut Ibnu Abd al-Bar (w. 463/1071 M), Nafs bisa bermakna ruh dan bisa juga bermakna sesuatu yang membedakannya dari yang lain. Sedangkan menurut Ibnu Abbas (w. 68 H/687 M), dalam setiap diri manusia terdapat dua unsur nafs, yaitu nafs ‘aqliyah yang bisa membedakan sesuatu, dan nafs ruhiyah yang menjadi unsur kehidupan.
Dalam filsafat Islam, al-Nafs diartikan sebagai jiwa. Pengertian ini sebagai pengaruh langsung dari pemikiran Aristoteles (3 84-322 SM) yang menyatakan jiwa (the soul) dibagi menjadi dua bagian, yaitu jiwa irasional dan jiwa rasional. Lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh Ibn Sina (370-429 H/980-1037 M), yang menyatakan bahwa jiwa manusia terbagi tiga, yakni jiwa tumbuh-tumbuhan (Nafs an-Nabatiyah), jiwa binatang (an-Nafs al-hayawaniyah), dan jiwa manusia (an-Nafs al-Insaniyah). Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya, yaitu daya makan (al-Gaziyah), daya tumbuh (al-Munmiyah), dan daya membiyak (al-Muwallidah). Jiwa binatang memiliki dua daya, yaitu daya penggerak (al-Muharrikah), dan daya menyerap (al-Mudrikah). Jiwa manusia mempunyai daya berfikir yang disebut Aql.
Para sufi menggambarkan jiwa secara kedudukan atau posisi. Bagi sufi, al-Nafs adalah dimensi manusia yang berada antara ruh dan jism. Ruh membawa cahaya (nur) dan jism membawa kegelapan (zulm). Perjuangan spiritual dilakukan untuk mengangkat jiwa menuju ruh dan melawan berbagai kecenderungan jism yang rendah. Konflik antara ruh dan jism itu, muncul al-Nafs.
Dalam kaitan ini, maka Nafs yang menjadi pokok bahasan dalam pasal ini adalah dalam pengertian aspek dan dimensi jiwa manusia, karena Nafs merupakan dimensi jiwa yang menempati posisi di antara ruh dan jism. Ruh, karena berasal dari Tuhan, maka ia mengajak al-Nafs menuju Tuhan, sedangkan jism berasal dari materi, maka ia cenderung mengarahkan nafs untuk menikmati kenikmatan yang bersifat material.
Dalam al-Quran, kata Nafs digunakan dalam berbagai bentuk dan aneka makna. Kata an-n afs ini dijumpai sebanyak 297 kali, masing-masing dalam bentuk mufrad sebanyak 140 kali, sedangkan dalam bentuk jama’ terdapat dua versi, yaitu nufus sebanyak 2 kali, dan anfus sebanyak 153 kali, dan dalam bentuk fi’il dua kali.
Sebagian besar ayat-ayat yang lain menggunakan istilah al-Nafs untuk menunjukkan diri manusia. Dalam menunjuk diri manusia, istilah al-Nafs juga memiliki aneka makna. Sekali ditujukan untuk totalitas manusia.
Di lain tempat, Nafs menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, seperti ayat berikut:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam diri manusia. Al-Quran dalam menggunakan kata al-Nafs untuk menunjukkan sisi dalam diri manusia, sedikitnya ada 4 pengertian yang dapat diperoleh. Pertama, bahwa Nafsu berhubungan dengan nafsu keinginan (QS. Yusuf: 53); kedua, Nafs berhubungan dengan nafas kehidupan (QS. Ali Imran: 185, al-Anbiya: 35); ketiga, Nafs berhubungan dengan jiwa; dan keempat Nafs berhubungan dengan diri manusia (QS. al-An’am: 164).
Secara fungsional Nafs juga dipersiapkan untuk dapat menampung dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan buruk. Di sisi lain, al-Quran juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs dari segi tingkatan. Tingkatan tersebut adalah Nafs al-Ammarah, Nafs al-Lawwamah, dan Nafsu Muthmainnah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991). Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, (Teheran: Inthisyarah, t.th). H. Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Kafrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Icktiar Baru van Hoeve, 1993).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar