Skip to main content

Landasan Syariat Utang Piutang

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: March 17, 2013

Allah memberikan segala suatu disertai landasan-landasan yang sesuai dengan keadaan, hal itu tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan umat yang ada di muka bumi ini. Adapun landasan syariat utang piutang itu telah disebutkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya ...
Dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diperintahkan oleh Allah swt dalam setiap melakukan perjanjian perserikatan secara tidak tunai, yaitu melengkapinya dengan alat-alat bukti, sehingga alat bukti yang telah ada nantinya dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan suatu perselisihan yang mungkin terjadi antara pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
Landasan utang-piutang juga dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 245:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan ke jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
Dalam ayat ini Allah menganjurkan supaya umat-Nya rela berkorban menafkahkan hartanya di jalan Allah dan nafkah itu dinamakan pinjaman kepada-Nya. Sebabnya Allah swt, menamakannya pinjaman padahal Allah sendiri Maha Kaya, ialah karena Allah mengetahui bahwa dorongan untuk mengeluarkan harta bagi kemaslahatan umat itu sangat lemah pada sebagian besar manusia. Hal ini dapat dirasakan bahwa seseorang hartawan kadang-kadang mudah saja mengeluarkan kelebihan hartanya untuk menolong kawan-kawannya, mungkin dengan niat untuk menjaga diri dari kejahatan atau untuk memelihara kedudukan yang tinggi, terutama jika yang ditolong itu kerabatnya sendiri.
Mengenai masalah utang-piutang Nabi Muhammad saw juga bersabda dalam haditsnya:
Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw bersabda: “Siapa yang berutang dengan maksud membayarnya kembali Tuhan akan menolongnya dalam membayar kembali. Siapa yang mengambil harta orang lain dengan maksud untuk menghilangkannya, Tuhan akan menolong menghilangkannya.”. (HR. Bukhari)
Maksud hadis tersebut, seseorang diperbolehkan untuk melakukan utang-piutang dengan orang lain, asalkan orang yang berutang itu mempunyai niat untuk mengembalikannya, karena Allah swt sendiri akan menunjukkan jalan bagi orang yang berutang dan ada niat untuk mengembalikannya. Akan tetapi manakala ada orang melakukan aqad utang-piutang dan ia tidak mempunyai niat untuk mengembalikan, maka Allah niscaya akan membalasnya, yaitu berupa kesusahan rizki, bahkan ada yang mengatakan Allah akan membalasnya pada hari kiamat.
Bertitik tolak dari landasan-landasan utang-piutang yang telah disebutkan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa praktek utang-piutang itu diperbolehkan asalkan dalam utang-piutang tersebut memiliki niat yang jelas dan tidak melanggar tata aturan dalam agama. Maksudnya, orang yang memberikan pinjaman mempunyai niat ingin menolong orang yang sedang membutuhkan, sedangkan orang yang berutang hendaknya mempunyai niat untuk mengembalikan harta yang dipinjamnya.
Syarat dan rukun utang-piutang itu sebenarnya hampir sama dengan syarat dan rukun yang terdapat dalam jual beli. Rukun utang adalah sebagai berikut:
  1. Adanya sighat aqad yang meliputi ijab dan qabul;
  2. Aqid yang meliputi orang muqaridh (yang meminjam) dan muqtaridh (peminjam) yang disebut dengan subyek utang
  3. Ma’qud alaih yang meliputi harta yang dipinjam, yang disebut dengan obyek qaradh.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Zainuddin Hamidy, et. all., Terjemah Hadist Shahih Bukhari, (Jakarta: Widjaya, 1996). Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath Al-Bari, (Lebanon: Dar Al Fikr, t.th).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar