Skip to main content

Wali Allah dalam Pandangan Ulama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 19, 2013

Keberadaan wali Allah diyakini di sepanjang masa, karena ini merupakan bukti kelanjutan dari tradisi kenabian. Artinya, seorang yang berada dalam wilayah kewalian mempunyai kualitas batiniyah, hakikat jati diri, seperti seorang nabi, di mana pikiran, perilaku dan ucapannya senantiasa berhubungan dengan ketuhanan. Karena itu, wali dianggap sebagai pewaris spiritual nabi. Dan tidak sedikit di antara para wali yang diizinkan untuk menampilkan karamat sebagaimana seorang nabi diizinkan untuk menampilkan mukjizat yang mampu melemahkan segala sikap dan tindakan batil dari para penantangnya.
Hubungan khusus yang dimiliki wali sama dengan hubungan khusus para nabi, sebagaimana pernyataan Islaminis, Joh L. Esposito yang dikutip oleh Sulaiman al-Kumayi:
Penghormatan kepada Muhammad dan para wali sufi sebagai perantara antara Allah dan manusia. Muhammad telah menekankan bahwa ia hanyalah manusia biasa. Muhammad sebagai perantara antara manusia dan Allah. Dan mukjizat yang dinisbatkan kepadanya, disebabkan oleh kedekatannya dengan Tuhan. Keajaiban-keajaiban ini juga diturunkan kepada para wali Allah. Kekuatan-kekuatan penuh mukjizat (menyambuhkan orang sakit, ada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama, membaca pikiran, melipatgandakan makanan) dan serangkaian kesempurnaan kewalian yang berlimpah-limpah.
Yusuf bin Ismail an Nabhani mengatakan, bahwa wali dari segi bahasa artinya dekat. Apabila seseorang dekat kepada Allah swt disebabkan ketaatannya dan keikhlasannya, dan Allah swt pun dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat, kebajikan, dan karunia-Nya, maka pada saat itulah terjadi kewalian. Atau dengan kata lain, orang itu telah menjadi wali. Dari sini kemudian berkembang makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah kedekatan.
Kedekatan Allah swt kepada makhluk-Nya dapat berarti pengetahuan-Nya yang menyeluruh tentang mereka dan dapat juga, disamping itu, dalam arti cinta, pembelaan, dan bantuan-Nya. Yang petama berlaku terhadap segala sesuatu. Sedangkan yang berarti cinta, bantuan perlindungan, dan rahmat-Nya adalah kepada hamba-hamba-Nya yang taat lagi mendekat kepadanya. Penggunaan kata wali jika menjadi sifat Allah swt hanya ditunjukkan kepada orang-orang yang beriman. Karena itu, kata wali bagi Allah diartikan dengan pembela, pendukung, dan dejenisnya, tetapi pembelaan dan dukungan yang berakibat positif serta kesesudahan baik.
Sedangkan kata wali itu sendiri, menurut In’amuzzahidin, dapat diartikan dengan dua pengertian. Pertama bisa dibentuk fa’il dan bermakna pelaku pekerjaan, dengan menggunakan arti mubalaghah (sangat menekanan). Wali berarti orang yang betul-betul selalu taat kepada perintah Allah swt, tanpa disertai maksiat. Kedua, dapat berbentuk fa’il dengan makna orang yang dikenai pekerjaan. Dimana wali adalah orang yang selalu mendapat penjagaan dari Allah swt.
Fatwa syaikh Sa’id, mengatakan bahwa auliya’ bentuk jamak kata wali, yaitu orang yang makrifat terhadap Alah dan sifat-sifatnya dengan istiqomah menjalani taat, menjauhi larangan dan berpaling dari bujukkan kenikmatan dunia dan syahwat. Abu al-Ala Afifi, lebih jauh menerangkan bahwa wali adalah seseorang yang sibuk dengan Tuhan. Dan menghabiskan hidupnya untuk bergaul dengan-Nya, serta menghilangkan syahwat dan hubungan dengan diri dan lingkungan sosialnya. Ia memperoleh maqam (station) dekat dari Allah swt dengan kesucian dan kewiraiannya serta fana’ fi Allah, atau majdzub fi al hub Allah (dikuasai mahabbah ilahiyah, yang tidak meninggalkan tempat tersisa dalam hatinya, selain kekasihnya, Allah).
Menurut Ibn Taymiyah, wali merupakan suatu peristilahan umum untuk orang-orang yang mempunyai kedekatan dengan Allah swt, termasuk para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Para wali Allah yang paling utama adalah para Nabi-Nya. Dari para Nabi yang paling utama adalah para Rasul-Nya. Dari para Rasul Allah SWT yang paling utama adalah yang bergelar Ulu al-Azm; mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.
Istilah wali juga banyak di sebutkan dalam al-Qur’an, terutama yang sering menjadi rujukan adalah surah Yunus ayat 62, Allah berfirman :
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Al-Tabari menyatakan, para wali Allah adalah orang-orang yang dijamin dengan penjagaan dan terhindar dari hal yang menakutkan di kehidupan akhirat dan tidak akan pernah menemukan penyesalan dan kesedihan karena perbuatan yang telah dijalaninya semasa kehidupannya di dunia. Demikian itu dikarenakan apa yang telah diperbuat di dunia, tidak ada yang bertentangan dengan ketentuan Allah swt.
Demikian pula Komentar Abu Turab an-Nakhsyabi tentang sifat wali yang tidak takut dan tidak cemas, karena perasaan cemas itu berasal dari penantian akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa mendatang atau penyesalan akan hilangnya kesenagan pada masa-masa yang sudah lewat. Sedangkan para wali adalah anak waktu, ia tidak pernah berandai-andai tentang masa mendatang. Sebagaimana tidak mempunyai rasa cemas, seorang wali juga tidak mempunyai harapan. Karena namanya harapan adalah sebuah penantian akan tercapainya kesenangn atau akan hilangnya kesusahan
Keterangan yang diungkapkan al-Yuusi mengenai syarat-syarat wali seakan akan berbeda dengan keterangan di atas, terutama mengenai sifat tidak takut dan tidak cemas. Ia mengutip pendapat sebagian imam bahwa seorang tidak mencapai derajat wali kecuali dengan empat syarat. Pertama, mengetahui pokok agama, sehingga bisa membedakan antara pencipta dan makhluk yang diciptakan. Juga antara nabi dan orang yang mengaku nabi. Kedua, mengetahui hukum-hukum syariat, baik secara naqli maupun pemahaman dalil dengan perumpamaan. Ketiga, mempunyai sifat-sifat terpuji. Seperti wira’i dan ikhlas dalam setiap amal. Keempat, selama lamanya dalam keadaan takut, tidak pernah merasa tenang sekejappun. Karena ia merasa tidak tahu apakah tergolong orang yang beruntung ataukah yang celaka.
Keadaan yang sedemikian rupa itu membuat para wali tidak mengetahui apakah ia termasuk kekasih Allah swt atau bukan. Abu Qasim al-Qusyairi mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat, apakah seorang wali mengetahui bahwa dirinya itu termasuk wali atau tidak. Sebagian ulama mengatakan, mereka tidak tahu. Karena seorang wali selalu memandang rendah dirinya. Dan jika Nampak karomah pada diri mereka, justru menimbulkan rasa takut, jangan-jangan termasuk tipu daya setan. Tetapi ada sebagin ulama yang mengatakan mereka bisa mengetahuinya kalau dirinya seorang wali.
Syaikh Abdillah bin Sahal ketika dianya, bagaimana wali itu dikenal. Ia menjawab; Sesungguhnya Allah swt tidak akan memberitahu keadaan mereka kecuali kepada sesama mereka atau kepada yang dikehendaki Allah swt untuk memetik manfaat darinya. Seandainya Allah swt memperlihatkannya, sehingga manusia mengenalinya niscaya ia akan menjadi bukti atas kesalahan manusia kelak di hari kiamat dan orang-orang yang mengingkarinya niscaya akan kufur. Begitu juga orang-orang yang tidak menghiraukannya niscaya akan berdosa. Allah swt merahasiakannya semata-mata hanya kasihan kepada makhluk-Nya.
Syaikh Acmad Asrori al- Ishaqi mengklasifikasi wali menjadi tujuh:
  1. Para wali Allah swt yang hanya diketahui oleh orang-orang istimewa.
  2. Para wali Allah swt yang diketahui oleh orang-orang tertentu dan orang umum.
  3. Para wali Allah swt yang tidak dapat diketahui oleh orang-orang istimewa dan orang umum.
  4. Para wali Allah swt yang ditampakkan oleh Allah swt pada awal pendakiannya, dan disamarkan oleh Allah pada puncak pendakiannya.
  5. Para wali Allah swt yang disamarkan oleh Allah Kepada makhluk dalam awal pendakiannya dan ditempatkan oleh Allah swt kepada makhluk dalam puncak pendakiannya.
  6. Para wali Allah yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak ditmpakkan kecuali pada malaikat hafidhoh al kirom yang diberi mandat untuk menjaga sirri (rahasia).
  7. Para wali Allah swt yang hanya diketahui oleh Allah swt dan hakikat kewaliannya tiak ditampakkan kepada malaikat, mereka dengan apa yang telah dititipkan dihati mereka itu menjadi saksi alam malakut yang luhur dan sisi kanan arasy, yakni para wali yang arwah mereka dicabut langsung oleh Allah swt (tapa perantara malikat Izrail as).
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
In’amuzzahidin, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila; Antara Tasawuf dan Psikologi, (Semarang: Syifa Press, 2007). Ihsan Dahlan Al-Jampesi, Sirajut Talibin, (Bairut: Dar al Fikr, 1997). Ibn Taymiyah, Wali Allah; Kriteria & Sifat -Sfatnya, trj. Arief B. Iskandar, (Jakarta: Lenera Basrima, 2000). Majdi Muhammad Asy-Syahawi, Karamah, (Jakarta: Sahara Publishers, 2003). M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2001). Wahbah az Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr, 2008). Ibn ‘Araby, al-Futuhat al-Makiyyah, (Beirut: Dar al- Kutub al-Islami, 2006). Abu Abd al-Rahman Muhammad bin Husain al-Sulamy, Tabaqat al-Sufiyyah, (Kairo, Matba’ al-Matba’ al-Madani, 1987). Sulaimkan al Kumayi, Kewalian Dalam Perspektif Islam Lokal; Studi kasus Kotawaringin Barat, dalam jurnal Teologia, (Semarang: fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Volume 21 Nomor 1 Januari 2010). M. Ridwan Qoyyum Sa’id, Fiqih Klenik; Fatwa-fatwa Ulama Menyorot Tarekat dan Mistik, (Lirboyo: Mitra Gayatri, 2004). A. Rivay Siregar, Tasawuf; dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar