Skip to main content

Sejarah Ka'bah sebagai Arah Kiblat

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 07, 2013

Ka’bah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam yang terletak di dalam Masjidil Haram di Makkah, dan dijadikan sebagai titik pusat peribadatan umat Islam. Sejauh penelusuran para mufassirin tidak ada teks yang menjelaskan siapa pendiri pertama Ka’bah. al-Quran hanya menyebutkan bahwa Ka’bah adalah bangunan atau rumah pertama yang diperuntukkan bagi manusia untuk beribadah.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail puteranya hanya membangun kembali bangunan Ka’bah. Dalam pembangunan itu Nabi Ismail menerima hajar aswad dari Malaikat Jibril yang kemudian diletakkan di sisi bagian tenggara bangunan. Hajar aswad ini disakralkan oleh umat Islam, ketika melakukan thawaf mereka menyentuh atau menciumnya. Setelah Nabi Ismail wafat, Ka’bah dipelihara oleh keturunannya, kemudian Bani Jurhum, dan dilanjutkan Bani Khuza’ah yang memperkenalkan penyembahan berhala. Pada periode sel anj utnya pemeliharaan Ka’bah di pegang oleh kaum Quraisy.
Pada masa Nabi Muhammad saw belum diangkat menjadi seorang Nabi, bangunan Ka’bah direnovasi akibat banjir bandang yang melanda Makkah dan meretakkan dinding Ka’bah yang sudah semakin rapuh. Pada saat renovasi tersebut terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak meletakkan hajar aswad. Perselisihan itu dapat diselesaikan oleh Nabi Muhammad dengan penuh keadilan.
Menjelang diangkatnya menjadi Nabi saw, dan hijrahnya ke Madinah, Ka’bah dikelilingi dengan ratusan berhala yang menjadi sesembahan bangsa Arab. Berhala tersebut kemudian dibersihkan oleh kaum muslimin setelah penakl ukan Kota Makkah (Fathu Makkah). Pada perkembangan selanjutnya Ka’bah dipelihara oleh Bani Sya’ibah sebagai pemegang kunci Ka’bah dan urusan administrasinya diurus oleh pemerintah.
Sebelum hijrah ke Madinah, belum ada kewajiban menghadap kiblat, saat itu umat Islam menghadap ke Qubbah Bait al-Maqdis (Qubbah Sakhrah) ketika salat. Terbesit dalam hati Nabi Muhammad keinginan agar Allah memindahkan kiblat ke Ka’bah Makkah. Oleh karena itu ketika salat, beliau selalu berada di selatan Ka’bah kemudian menghadap ke utara. Dengan demikian Nabi menghadap ke dua arah sekaligus.
Setelah hijrah ke Madinah kiblat hanya ditujukan dengan menghadap ke Bait al-Maqdis di Yerusalem. Tujuannya adalah untuk menarik hati orang-orang Bani Israil untuk ikut pada ajaran Nabi dengan kesamaan kiblatnya. Juga karena kesulitan yang dialami Nabi untuk menentukan arah yang tepat dan lurus dua kiblat tersebut. Namun yang terjadi justru Bani Israil memusuhi umat Islam dan tetap perpegang pada keyakinannya. Maka kiblat pun dikembalikan lagi menghadap ke Baitullah. Peristiwa ini terjadi 16 bulan setelah hijrah, setelah turunnya firman Allah agar berpaling ke Masjidil Haram.
Menurut riwayat Ibnu al-Munzir, Abu Haitam dan Hakim yang tercantum dalam Tafsir al-Ahkam, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad salat dengan menghadap ke Bait al-Ma qdis bukan ke arah Ka’bah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurat, Jami’u Shahih Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th). Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan PP. Al-Munawwir Krapyak, 1984). Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007). Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, terj- Anshori Umar Sitanggal, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Toha Putera, 1993).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar