Skip to main content

Tafsir Asal Kejadian Perempuan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 04, 2013

Asal kejadian perempuan dalam referensi ini, ialah penciptaan awal perempuan berdasarkan al-Quran, bukan penciptaan lanjutan yang berasal dari ayah dan ibu. Ayat al Quran yang populer dijadikan rujukan pembicaraan tentang asal kejadian Perempuan adalah firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 1:
“Hai Sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.”
Ayat ini secara gamblang menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dari “nafs wahidah”, dan istrinya juga diciptakan dari unsur itu. tapi al-Quran tidak menjelaskan di dalam ayat itu apa yang dimaksud dengan nafs wahidah tersebut. Oleh karenanya timbul berbagai pendapat dalam menafsirkan ayat itu. sebagian besar ulama menafsirkan dengan “diri yang satu (Adam),” kemudian istrinya diciptakan dari Adam itu.
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam. Seperti Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Qurthubi, al-Biqa’i, Abu As-Su’ud, dan lain-lain. Bahkan at-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab syi’ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam. Namun Muhammad Abduh tidak berpendapat demikian, begitu juga rekannya al Qasimi, mereka memahami arti nafs dalam arti jenis.
Timbulnya penafsiran seperti itu agaknya karena dipengaruhi oleh sebuah hadis Nabi yang menegaskan bahwa Perempuan diciptakan Tuhan dari tulang rusuk Nabi Adam. Hal ini dapat dilihat dalam tafsir al-Kasysyaf karangan al-Zamaksyari yang dikutip oleh Nashrudin Baidan;
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk dan yang paling bengkok dari tulang rusuk itu ialah yang paling atas. Oleh karenanya, jika kamu paksa meluruskannya, dia akan patah, dan (sebaliknya) jika kamu biarkan, dia akan selalu bengkok.”
Hadis ini dipahami oleh ulama terdahulu secara harfiah. Ada kesesuaian antara ayat di atas dengan hadis itu, sehingga terbentuk opini bahwa Hawa, istri Adam diciptakan Tuhan dari tulang rusuknya. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metamorfosis bahwa ada yang menolak kebenaran hadits tersebut. Adapun yang memahami secara metamorfosis, tulang rusuk yang bengkok harus dipahami secara majazi (kiasan), dalam arti bahasa adalah hadis tersebut memperingatkan para kaum laki-laki agar menghadapi perempuan secara bijaksana. Karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantarkan laki-laki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Kelihatan bahwa mereka mendahulukan hadis dari pada al-Quran, padahal tidak pernah dijelaskan secara eksplisit bahwa istri Adam diciptakan dari tulang rusuknya.
Berdasar kenyataan itu maka menafsirkan nafs wahidah dengan Adam tidak didukung oleh ayat-ayat lain karena pengertian lafal “nafs” di dalam al-Quran tidak merujuk kepada diri Adam secara khusus, melainkan merujuk kepada berbagai pengertian sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti jiwa, jenis ataupun bangsa. Seperti tertulis dalam surat al Nahl ayat 72.
“Dan Allah telah menjadikan untukmu istri-istri dari bangsamu (jenismu) sendiri (bukan jenis lain seperti jin, hewan dan sebagainya) , dan Dia jadikan pula untukmu dari istri-istri itu anak-anak dan cucu-cucu”.
Pengertian lafal anfus dengan bangsa atau jenis seperti terdapat dalam surah :12:53, 89:27, 81:14, 82:7, terasa lebih tepat bila dipakaikan kepada kata nafs yang ada pada ayat pertama dari surat al-Nisa’ yang telah dikutib dimuka.
Berdasarkan kenyataan itulah, maka Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan ayat kholaqum min nafsin wahidat itu dengan kholaqum min jinsin wahidin wa haqiqotin wahidat “Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari jenis (bangsa) dan subtansi yang satu”.
Abu Muslim al Isfahani sebelum Rosyid Ridha sebagai dikutip oleh al-Maraghi juga berpendapat demikian. Ungkapan ini berkonotasi bahwa manusia semua berasal dari unsur yang sama yaitu tanah; baik yang berkulit putih, maupun yang kulitnya berwarna; tidak ada kelebihan yang satu dari sudut lain. Demikian pula tidak ada kelebihan antara perempuan dan laki-laki dari sudut asal kejadian karena keduanya sama-sama berasal dari tanah. Jadi bukan berasal dari diri Adam seperti dianut oleh sebagian besar ulama sebagaimana telah dijelaskan di depan.
Seorang feminis asal Pakistan yaitu Riffat Hassan, membantah penafsiran hadis di atas dengan mempersoalkan mengapa nafs wahidah dipastikan sebagai Nabi Adam dan zaujaha itu adalah hawa, sebagai istrinya. Padahal kata nafs dalam bahasa Arab tidak menunjukkan pada jenis kelamin tertentu, laki-laki ataupun perempuan, justru bersifat netral bisa laki-laki dan bisa juga Perempuan, begitu juga kata “zauj” tidak secara otomatis diartikan istri karena istilah tersebut bersifat netral artinya pasangan bisa laki-laki bisa juga perempuan.
Dengan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan menunjukkan tidak adanya indikasi bahwa seorang perempuan memiliki kelebihan atau kekurangan secara keseluruhan dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki dan perempuan adalah dua kategori spesies manusia yang dianggap sama atau sederajat dalam al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Dagi penulis, asal kejadian perempuan menurut al-Quran bukanlah diciptakan dari tulang rusuk Adam melainkan dari unsur yang sama dengan unsur Adam yaitu tanah. Apabila diamati dengan seksama, antara hadis dengan ayat al-Quran tidak ada pertentangan, sebab ayat al-Quran itu membicarakan tentang penciptaan semua manusia dari unsur yang sama, sedangkan hadis membicarakan sifat dan dasar perempuan yang diibaratkan seperti tulang rusuk yang bengkok.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Erwati Aziz, Penciptaan dan Status Wanita dalam al Quran, dalam DINIKA, Kajian Keagamaan dan Nuansa Pemikiran Islam, (Surakarta, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo, 1996). Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al Ra’yi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999). Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, (Jakarta, Surya Cipta Angkasa, 1993). Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, (Dar al Fikr, t.th). Riffat Hasan, Membangun Teologi Islam yang Feminis, dalam Anisa Rahmawati dan Moh Badi’ zm (ed.), Ontologi Membedakan Tokoh Perempuan di Garis Depan, (Jakarta, PB Korp. PMII, Putri, 2000).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar