Skip to main content

Pengertian Iddah menurut Ulama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 12, 2013

Iddah adalah sebuah kewajiban yang harus dijalani oleh isteri setelah terjadi perceraian atau ditinggal mati oleh suaminya dengan berpantang melakukan perkawinan baru, ketentuan Iddah tersebut terdapat dal am al-Quran maupun hadis.
Jika dikaji secara etimologis, kata Iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung sesuatu. Jika kata Iddah tersebut di hubungkan dengan kata perempuan, maka artinya hari-hari haid atau suci, atau hari-hari menahan diri dari memakai perhiasan baik berdasarkan bulan, haid atau suci, atau melahirkan.
Menurut Sayyid Sabiq, secara bahasa Iddah adalah menghitung hari-hari dan masa bersih seorang perempuan. Sedangkan menurut al-Jaziri, Iddah mutlak digunakan untuk menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian Iddah. Ulama Syafi’iah berpendapat, masa yang harus dilalui oleh isteri untuk mengetahui bebasnya (kesucian) rahimnya, mengabdi, atau berbela sungkawa atas suaminya.
Menurut ulama Hanafiah, Iddah adalah sisa-sisa dari pengaruh pernikahan atau persetubuhan”
Ulama Malikiah berpendapat, Iddah adalah masa dilarang melakukan pernikahan yang disebabkan perceraian, ditinggal mati oleh suaminya atau karena rusaknya pernikahan.
Sedangkan ulama Hanabilah mengartikan sangat sederhana, yaitu masa penantian yang ditentukan syara, golongan Hanabilah tidak menyebutkan tujuan dari ditetapkannya Iddah.
Wahbah Zuhaili menjelaskan pengertian Iddah dengan lebih jelas, yaitu masa yang ditentukan syara setelah perceraian, di mana hal itu wajib bagi perempuan untuk menunggu dalam masa itu dan tidak boleh menikah kembali sampai masa tersebut selesai.
Menurut Muhammad Bagir al-Habsyi, Iddah adalah masa menunggu yang harus dijalani oleh seorang mantan isteri yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum ia dibolehkan menikah kembali.
H.S.A al-Hamdani berpendapat Iddah menurut syara, adalah waktu menunggu dan larangan menikah bagi seorang perempuan setelah ditinggal mati atau di ceraikan oleh suaminya.
Menurut Abu Bakar al-Dimyati, secara terminologi Iddah adalah masa yang harus dijalani oleh seorang perempuan untuk mengetahui bebas atau bersihnya rahim dari kehamilan atau karena ibadah dan berduka karena kemati an suami nya.
Menurut al-Jaziri Iddah secara terminologi adalah masa penantian seorang perempuan untuk menyelesaikan hari-hari tersebut tanpa adanya pernikahan.
Abu Yahya Zakariyya al-Anshari seperti dikutip Muhammad Isna Wahyudi memberikan pengertian Iddah hampir sama dengan yang dikemukakan oleh al-Dimyati, yaitu sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui kesucian rahim, untuk beribadah, atau untuk berkabung atas kematian suaminya.
Al-Kasani menjelaskan bahwa Iddah menurut istilah adalah nama untuk suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri apa yang tersisa dari pengaruh-pengaruh perkawinan.
Sedangkan menurut Muhammad Zaid al-Ibyani, Iddah menurut istilah, adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan ketika putus perkawinan atau karena perkawinan subhat.
Dari beberapa pengertian Iddah yang dikemukakan para ulama, penulis simpulkan, bahwa Iddah adalah masa bagi perempuan yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya, di mana pada masa itu seorang perempuan tidak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain sampai masa tersebut berakhir.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993). Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah; Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009). Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, jilid 8, diterjemahkan Muhammad Thalib, “Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1987). Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arab,(Libanon: Darl Kutub al-Ilmiyah, 2003). Wahbah Zuhaili. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996). Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Alquran, Assunnah dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan, 2002). H.S.A. Hamdani, Risalah Nikah, (Bandung: Pustaka Imani, 1989). Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati. Syarai Tholibin, (Libanon: Darul Fikr, t.th).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar