Skip to main content

Pengertian Asketisme dalam Filsafat

Oleh: AnonymousPada: January 19, 2013

Dalam filsafat, asketisme diartikan sebagai prinsip tingkah laku bermati raga demi memperoleh kebahagiaan, keluhuran moral dan idealisme kehidupan agama. Versi kuat; sikap menolak semua keinginan tanpa terkecuali. Versi lemah; menolak keinginan-keinginan tubuh dan dunia yang sifatnya dasariah, seperti nafsu birahi, keinginan memiliki harta benda, kemasyhuran dan prestasi. Hanya dengan cara ini seseorang dapat membebaskan jiwanya guna mencapai kebaikan dan keselamatan. Asketisme dalam kedua pengertian tadi disamakan dengan kerahiban, keketatan, kesederhanaan, ketaatan, kefakiran, puasa, disiplin, penebusan dosa, perusakan anggota tubuh, hidup menyendiri dan kontemplatif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme bermakna paham yang mempraktekkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban.
Asceticisme artinya latihan berat. Dalam filsafat popular Stoa berarti melepaskan diri dari semua kecenderungan duniawi untuk mencapai kebebasan yang tak tergoyahkan. Di dalam dunia gereja dilakukan oleh para rahib, dan di dalam tasawuf dan tarekat Islam hampir menyerupai wara’ untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut Eddy Kristiyanto, askese ialah latihan yang ditempuh orang Kristen di bawah bimbingan Roh Kudus untuk memurnikan diri dari dosa, menguasai diri dan memurnikan sikap hati di hadapan Allah, serta menghilangkan berbagai penghalang untuk merasakan hadirat Tuhan.
Askese yang benar akan membuahkan perkembangan dalam kontemplasi dan cinta akan Allah yang tidak akan merugikan kematangan pribadi dan tanggung jawab sosial. Definisi ini diberikannya untuk menegaskan adanya kesalah pahaman banyak pihak dalam menilai asketisme. Anggapan keliru yang didasarkan pada beberapa praksis asketis di Timur ialah bahwa asketisme merupakan tindakan orang Kristen untuk melarikan diri dari kegiatan dan tanggung jawab di dunia dengan cara bertapa di tempat-tempat tersembunyi dan melakukan penyiksaan tubuh secara ekstrem.
Tharekat Syaziliyyah sebagai contoh, menetapkan pelepasan batin bukan bentuk-bentuk lahir; tanpa keikutsertaan lahir atau cinta terhadap sesama makhluk, namun juga tanpa mencari aib lahir untuk diri sendiri. Dalam hal ini Ibn al-Arif menuliskan sebagai berikut:
Asketisme untuk kebanyakan orang yang berupa penghindaran kesenangan nafsu, mengecam orang-orang yang kembali kepada kesenangan nafsu yang telah dipisahkannya dan membuang pencarian sesuatu yang nisbi, mencabut diri sendiri dari nafsu yang berlebihan, menghalangi segala dorongan nafsu, mengabaikan segala sesuatu yang tidak menarik perhatian bagi jiwa. Tetapi hal-hal tersebut belum sempurna untuk menuju jalan yang dipilihnya. Karena itu tetaplah dipandang sangat penting keterlibatan terhadap segala sesuatu di dunia ini, yakni untuk upaya pengosongan diri dari penggunaan hal tersebut. Satu keterikatan lahir dapat mencabut dirinya sendiri dari segala sesuatu di dunia ini, sementara dalam batin keterlibatan terhadap hal-hal tersebut sangat terasakan.
Adalah benar bahwa asketisme merupakan kehendak hati yang bergairah terhadap Din (Allah) semata. Hal ini akan menempatkan jiwa dalam Dia, yakni keinginan dan hasrat jiwa; mengikatkan diri secara unik dengan Dia tanpa keasyikan apapun. Agar Dia (yang kepada-Nya segala pujian diarahkan) dapat dijauhkan dari sebab-sebab tersebut.
Atau sebagaimana yang dikatakan al-Hujwiri: “Orang miskin bukanlah orang yang tangannya kosong dari harta, melainkan mereka yang karakternya kosong dari hasrat (kemauan).”
Asketisme pertama sekali dipakai di dalam filsafat Stoa. T.C. Hall menguraikan bahwa dihampir semua agama dan kebudayaan terdapat ide dan praksis asketis. Misalnya, dalam kebudayaan kuno, terdapat latihan-latihan untuk memasuki kehidupan pernikahan. Latihan-latihan diberikan supaya orang yang dilatih tersebut dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Latihan-latihan tersebut diberi nama askese. Di dalam kebudayaan dan agama India dan Persia, bentuk-bentuk asketisme telah lama diterima. Bahkan di India, ide dan praksis askese telah lama dikenal dan sangat luas diterapkan. Konsepsi dasar India tentang asketisme ialah keinginan melepaskan diri dari samsara, suatu lingkaran yang menguasai kehidupan manusia.
Menurut Schaff, sistem askese adalah esensi dari Brahmanisme dan Buddhisme, dua cabang agama India yang dalam banyak hal berhubungan satu dengan yang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa asketisme model India adalah asketisme ekstrem yang memandang tubuh jahat dan harus dihancurkan.
Asketisme biasanya dikenakan kepada para atlet yang berlatih secara sistematis untuk mendapatkan tubuh yang sehat dan siap untuk bertanding. Selanjutnya, kata ini mulai dinilai secara filosofis, rohani, dan etis: latihan bukan hanya untuk fisik, tetapi juga untuk melatih kehendak, pikiran, dan jiwa untuk mencapai kehidupan rohani yang lebih tinggi. Carl Wellman mengatakan bahwa asketisme adalah ajaran yang mendorong setiap orang Kristen untuk berlatih menyangkal diri dan menyangkal keinginan dagingnya.
Kata itu kemudian disampaikan dari Yunani Kristen awal dalam pengertian ini pengendalian diri atas keinginan fisik dan psikologis yang mendukung cita-cita atau tujuan rohani. Asketisme telah datang untuk berfungsi lintas-budaya untuk merujuk kepada seluruh kegiatan dalam agama-agama dunia. Sebagian besar agama memiliki setidaknya beberapa praktek yang dapat dianggap pertapa: puasa, selibat, pengasingan, penderitaan, sukarela, rasa sakit, mutilasi, kesederhanaan, penolakan terhadap barang-barang duniawi dan harta benda, dan dalam beberapa kasus, bunuh diri agama. Asketisme dapat juga mencakup budidaya kualitas moral yang memerlukan pengendalian diri dan disiplin diri, seperti kesabaran.
Asketisme memang bukan khas Kristen karena ide dan praksis itu telah ada sebelum kekristenan lahir dan bahkan terus ada bersamaan dengan asketisme Kristen. Philip Schaff di dalam bukunya yang berjudul History of the Christian Church menilai bahwa asketisme non-Kristen berdasarkan pada gnostik-dualistik Yunani maupun manikeisme. Asketisme membanggakan nilai roh dan kepuasan diri sendiri. Sasarannya ialah pembinasaan tubuh dan kesenangan panteistik. Ide dan praksis puasa, penyesalan diri, penyiksaan diri, dan larangan seks yang terdapat dalam sebagian tradisi Yudaisme, tidak dapat disebut sebagai askese, karena hal itu mereka lakukan bukan sebagai latihan yang dilakukan secara sadar untuk mengendalikan tubuh dan jiwa, melainkan sebagai peraturan yang dilakukan dengan keterpaksaan. Ide dan praksis askese dalam kehidupan umat Israel timbul dalam perjumpaannya dengan agama Timur dan kebudayaan Yunani.
Tokoh yang memadukan Yudaisme dengan kebudayaan Yunani ialah Philo dari Aleksandria. Philo memperkenalkan dualisme antara Tuhan dan dunia yang dijembatani oleh Logos. Dualisme tubuh dan roh dijembatani dengan hidup merenung, dan dengan itu roh akan dibebaskan dari tubuh dan naik ke tingkat ilahi. Philo juga melaporkan tentang kaum Eseni yang menunjukkan kehidupan askese, seperti tampak pada makanan dan pakaian Yohanes Pembaptis.
Kekristenan yang dipengaruhi oleh Philo dan Yudaisme mulai mengenal konsep dualisme. Di dalam konsep dualisme inilah mulai dikenal konsep menjauhi dunia dan asketisme berkarakter Timur. Di Mesirlah berkembang konsep menjauhi dunia. Di tempat ini berkembang praksis askese. Akan tetapi, tidak pula dapat dikatakan bahwa asketisme Kristen berasal dari Brahmanisme, Yudaisme, maupun Hellenisme. Oleh karena, asketisme merupakan sentimen keagamaan yang sering muncul pada periode-periode tertentu sebagai tanda keterasingan terhadap dunia ini.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2006). Jalaluddin Rahmat, Kamus Filsafat, 1995). Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). Mochtar Effendy, “Asceticisme,” Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Penerbit Universitas Sriwijaya, 2000). Gerald O’collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996). Cyril Glasse, “Asketisme” Ensiklopedi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 2002).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar