Skip to main content

Klasifikasi Thaharah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 05, 2013

Thaharah dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu thaharah najis, thaharah hadas dan thaharah dari sisa-sisa kotoran yang ada di badan. Untuk mengetahui lebih jelas tentang macam-macam thaharah, dapat dilihat dalam uraian berikut ini:
Thaharah dari Najis
Najis artinya kotor, yakni benda yang ditetapkan oleh hukum agama sebagai sesuatu yang kotor, yang tidak suci, meskipun didalam anggapan sehari-hari dianggap kotor tetapi didalam hukum agama tidak ditetapkan sebagai sesuatu yang najis, umpamanya lumpur.
Para Fuqaha mengelompokkan najis ke dalam tiga bagian :
Najis mughalladhah, artinya najis berat, yaitu anjing, babi, dengan segala bagian-bagiannya dan segala yang diperanakkan dari anjing atau babi, meskipun mungkin dengan binatang lain.
Najis mukhaffafah, artinya najis ringan, yaitu air kencingnya bayi yang berumur kurang dari dua tahun dan belum makan atau minum kecuali air susu ibu.
Najis mutawassithah, artinya najis sedang, yaitu semua najis yang tidak tergolong mughaladhah dan mukhafafah, antara lain :
  1. Darah (termasuk darah manusia), nanah dan sebagainya
  2. Kotoran atau air kencing manusia atau binatang, atau sesuatu yang keluar dari perut melalui jalan manapun termasuk yang keluar melalui mulut (muntah).
  3. Bangkai binatang yaitu binatang yang mati tidak dikarenakan disembelih secara islam, binatang yang tidak halal dimakan meskipun disembelih, kecuali bangkai ikan dan belalang.
  4. Benda cair yang memabukkan
  5. Air susu atau air mani binatang yang tidak halal dimakan
Bagi orang yang dihinggapi sikap was-was, hendaklah ia mengetahui bahwa segala sesuatu itu diciptakan dalam keadaan suci dengan penuh keyakinan. Jika tidak nampak dan tidak diketahui dengan yakin dengan adanya najis, maka bolehlah yang mengerjakan shalat .
Alat yang digunakan untuk menyucikan hadas bisa berupa benda padat atau cair, misalnya batu atau pasir. Tidak semua air dapat digunakan sebagai alat bersuci, karenanya air dapat dibedakan menjadi empat:
Air mutlak yakni air suci yang mensucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan dan menyucikan bagi yang lainnya. Yaitu air yang jatuh dari langit atau keluar dari bumi masih tetap (belum berubah) keadaannya seperti: air hujan, air laut, air sumur. Air embun, salju es, dan air yang keluar dari mata air.
Air musta’mal, yakni air suci tetapi tidak dapat menyucikan artinya zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk menyuci sesuatu. Ada tiga macam air yang termasuk dalam bagian ini :
  1. Air yang telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab bercampur dengan sesuatu benda yang suci selain dari pada perubahan yang tersebut di atas, seperti air kopi, teh dan lain sebagainya.
  2. Air yang sudah terpakai untuk mengangkat hadas atau menghilangkan hukum najis, sedang air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
  3. Tekukan pohon kayu (air nira), air kelapa dan sebagainya.
Air najis, artinya air yang tidak suci dan tidak menyucikan. Air najis ini ada dua keadaan :
Bila najis itu mengubah salah satu diantara rasa, warna atau baunya. Dalam keadaan ini para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci.
Bila air tetap dalam keadaan mutlak, tetapi tidak berubah di antara ketiga sifat tersebut, maka air itu hukumnya suci dan menyucikan, baik sedikit Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari atau banyak.
Air yang makruh dipakai, yaitu yang terjemur pada matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak, air ini makruh dipakai untuk badan, tidak untuk pakaian, terkecuali air yang terjemur ditanah seperti air sawah, air kolam dan tempat-tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.
Thaharah dari Sisa Kotoran yang Ada di Badan
Kelebihan-kelebihan yang suci itu ada dua macam, yaitu kotoran yang menempel di badan, dan bagian-bagian tubuh yang merupakan kelebihan yang tidak diperlukan.
Menurut Muhammad Djamaluddin al-Qasimy bahwa kotoran-kotoran yang ada di badan ini terdiri atas 8 macam, yaitu:
  1. Kotoran yang berkumpul di rambut kepala berupa daki dan kutu. Di sunahkan membersihkannya dengan disisir dan di beri minyak agar tidak kusut.
  2. Kotoran yang berkumpul dilipatan-lipatan telinga. Dengan mengusap kotoran yang tampak dari luar, sedang di bagian dalam dibersihkan dengan hati-hati setelah selesai mandi.
  3. Kotoran-kotoran yang ada di dalam lubang hidung, membersihkannya dengan cara menghirup air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya.
  4. Kotoran-kotoran yang ada disela-sela gigi dan di ujung lidah, membersihkannya dengan bersiwak (menggosok gigi) dan berkumur-kumur.
  5. Kotoran dan kutu yang berkumpul dijanggut yang tidak terawat. Cara membersihkannya dianjurkan dengan mencuci dan menyisirnya.
  6. Kotoran-kotoran yang terdapat pada ruas-ruas jari, yakni pada lipatan-lipatan sebelah luar.
  7. Kotoran-kotoran yang terdapat pada ujung-ujung jari dan di bawah kuku.
  8. Daki-daki yang menempel di badan karena keringat dan debu-debu jalanan.
Dari uraian tersebut, klasifikasi thaharah meliputi dua macam, baik thaharah dari najis, dan hadas dan thaharah dari sisa-sisa kotoran yang ada di dalam tubuh. Thaharah dilakukan karena terjadinya suatu hal, misalnya terkena najis atau kotoran, sehingga dalam mensucikannya juga berbeda-beda menurut macam jenis najisnya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fikih Wanita, (Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2001). Maimunah Hasan, al-Quran dan Pengobatan Jiwa, (Bintang Cemerlang, Yogyakarta, 2001). Syekh. Muhammad Djamaluddin al-Qasimy al-Dimsyaqi, Tarjamah Mauidhotul Mukminin Bimbingan Orang-orang Mukmin, (CV. Asy-Syifa’, Semarang, 1993). Maimunah Hasan, al-Quran dan Pengobatan Jiwa, (Bintang Cemerlang, Yogyakarta, 2001). Sayyid Sabiq, Fikih Sunah I, (PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1998). Sayid Muhammad Ridhwi, Meraih Kesucian Jasmani dan Rohani, (Lentera, Jakarta, 2002). Sulaiman Rasjid, Fikih Islam (HukumFikih Lengkap), (Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002). Imam Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, (Dar al-Kutub al­Ilmiah, Beirut-Libanon, 1994). Syaikh Abdul Qadir Jailani, Fikih Tasawuf, terj. Muhammad Abdul Ghafar E. M., (Pustaka Hidayah, Bandung, 2001).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar