Skip to main content

Biografi Muhammad Arifin Ilham

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 02, 2013

Muhammad Arifin Ilham lahir di Kertak Baru, Banjar Barat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 8 Juni 1969. Anak dari pasangan H. Ilham Marzuki (abah) dan Hj. Noor Hayati (mama). Sejak kecil Muhammad Arifin Ilham sudah menjadi anak masjid. Maklum ayahnya memang seorang aktivis masjid Sabilil Muhtadin dan masjid al-Jihad Banjarmasin. Sehingga, hal tersebut menular kepada anak laki-laki satu-satunya dari lima bersaudara.
Di masjid inilah ada seorang ustaz yang menjadi tauladan Arifin, namanya adalah KH. Rafi’i Hamdi. Ustaz ini dikenal mempunyai tutur kata dan perilaku yang lembut. Kelembutnya inilah yang mengesankan Arifin kecil, sehingga kelak ia ingin menjadi seorang penceramah seperti ustaz Rafi’i, atau setidaknya seorang guru.
Menurut pengakuan kedua orang tuanya, sebelum sesaat dan sesudah kelahirannya tidak ada peristiwa yang luar biasa. Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Tetapi perjalanan hidup Muhammad Arifin Ilham senantiasa diikuti dan diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Terutama mamanya sebagai pengasuh dan ibu rumah tangga. Sedangkan abahnya sibuk oleh pekerjaan dan pada saat-saat tertentu saja bercengkrama dengan Arifin (panggilan akrab beliau). Menurut Arifin ayahnya hanyalah seorang karyawan biasa, tetapi shalat tahajudnya tidak pernah putus. Hal inilah yang kemudian sangat dikagumi sebagai sosok seorang ayah.
Ketika berusia lima tahun, Muhammad Arifin Ilham yang besar di lingkungan Muhammadiyah ini dimasukkan sang ibu ke TK Aisiyah. Kemudian melanjutkan ke SD Muhammadiyah yang tak jauh dari rumahnya. Namun baru kelas tiga ia dipindah ke SD Rajawali gara-gara berkelahi dengan teman sekelasnya, hingga lulus tahun 1983. Untuk menambah pendidikan agamanya, setiap sore ia dititipkan abahnya untuk belajar di masjid al-Jihad yang dikelola oleh pimpinan Muhammadiyah setempat, di mana abahnya sebagai bendahara masjid tersebut.
Selepas dari sekolah dasar, Arifin ingin melanjutkan pendidikan di pesantren. Kemudian sang abah mengajak ke beberapa pesantren yang ada di Kalimantan, tetapi ditolaknya karena pesantren tersebut masih bercorak tradisional dengan melihat kebiasaan memakai sarung pada pesantren-pesantren tersebut. Hingga orang tuanya sepakat untuk mengirim ke Jawa karena di sana banyak Ponpes Modern. Akhirnya Pondok Pesantren Darunnajah yang berlokasi di Ulujami Kebayoran Lama Jakarta Selatan inilah sebagai pesantren pertama untuk memperdalam ilmu agamanya. Disitu juga Arifin meneruskan pendidikan formalnya yaitu SMP (TH. 1983-1987).
Di pondok yang diasuh oleh KH Mahrus Amin ini, Arifin dapat mengembangkan potensinya. Kebiasaan di pondok ini adalah dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris untuk dialog tiap harinya. Juga adanya pendidikan formal yang menjadi pesaing ketat dengan sekolah-sekolah lain di Jakarta.
Sebenarnya sebelum masuk pesantren, Arifin pernah sekolah di SMP Negeri I di kota itu, sampai menduduki kelas satu. Namun dorongan kuat masuk pesantren membuatnya meninggalkan sekolah tersebut. Tentu saja dengan konsekuensi, ia harus mengulangi dari awal pendidikan SMP di pesantren tersebut. Apalagi pada waktu itu dia mengaku belum bisa membaca al-Quran dengan lancar. Karenanya tidak mengherankan kalau rapotnya kebanyakan merah ketika ia duduk di kelas I dan II SMP di Pesantren tersebut. Apalagi perilakunya agak bandel dan nakal.
Hal tersebut membuatnya rendah diri, ia sudah mulai merasa tidak betah di pesantren. Arifin sempat berniat pulang kembali ke rumah orang tuanya di Kalimantan. Namun oleh kyainya KH. Mahrus Amin, Arifin diberi nasihat agar mempertimbangkan kembali niatnya tersebut. Karena ujarnya, dimanapun kalau sikap Arifin tidak berubah ia tidak akan bisa merasakan perubahan. Hal inilah yang kemudian memacunya untuk terus belajar secara sunggung-sungguh. Hasilnya iapun menjadi santri yang berprestasi.
Hingga kelas I Aliyah, Arifin masih tinggal di Pesantren Darunnajah, tetapi pada tahun 1987 ketika duduk di kelas II Aliyah, ia pindah ke Pesantren Assyafi’iyah Matraman Tebet Jakarta Selatan hingga lulus tahun 1989. di pesantren inilah kemampuan berorasinya semakin terasah, sebab Arifin kerap mendampingi dai-dai kondang keberbagai acara tablig akbar. Arifin tidak anti politik, karenanya pada tahun 1989, ia masuk Fisipol Universitas Nasional Jakarta Jurusan Hubungan Internasional. Di semester tujuh ia berkenalan dengan aktivis dakwah, Ferry Nur yang kini ketua Gerakan Anti Zionis dan Amerika (GAZA).
Pada mulanya sang abah berharap menjadi seorang politisi yang bermoral karena dia merasa prihatin dengan kelakuan dan penyimpangan para pejabat dan politisi negara ini. Maka dari itu, ia menyarankan Arifin melanjutkan studinya ke Fakulatas Ilmu Sosial dan Politik. Padahal saat itu ia mendapatkan tawaran beasiswa melanjutkan studi di luar negeri dalam ilmu agama. Karena saran abahnya itulah, Arifin memilih menolak tawaran beasiswa itu dan masuk ke UNAS.
Perjuangan untuk menyelesaikan kuliahnya ternyata tidak kecil. Buku-buku kuliahnya dibeli dari uang hasil mengamen di terminal, bahkan ia tidak malu berjualan baju bekas agar bisa membayar uang kuliah. Untuk menambahkan uang saku kuliah dan membayar sewa rumahnya pula, Arifin sempat berdagang mie rebus di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ini dilakukan lantaran kiriman uang dari orang tuanya di Kalimantan boleh dibilang terbatas. Bukan itu saja, Arifin juga pernah menjadi kondektur bus kota jurusan Cililitan - Cibubur pada malam hari. Semasa menjadi pedagang, ia mempunyai banyak pengalaman, sambil berdagang ini, ia juga mengajar anak-anak jalanan di terminal sekitar Pasar Minggu untuk mengaji, hingga lulus S1 pada tahun 1994.
Menurut abahnya, Arifin mempunyai watak dan kemauan yang sangat keras, artinya apabila ia mempunyai keinginan, pasti dia akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Arifin kecil sampai menginjak usia remaja terbilang anak yang nakal, namun kenakalan Arifin merupakan hal yang biasa pada diri anak-anak. Jadi bukan kenakalan yang macam-macam.
Arifin menikah dengan Wahyuniaty al-Wali pada tanggal 28 April 1998. Wanita dari Aceh yang dipersunting Arifin ini ternyata adik angkatannya ketika kuliah di Fisipol Universitas Nasional Jakarta. Proses ta’aruf mereka tidak diawali dengan pacaran. Ia langsung merasa cocok dengan gadis yang dilihatnya di suatu pengajian. Setelah berkenalan Arifin langsung melamarnya. Putri mantan anggota DPR Teuku Djamarin ini, merasa cocok dengan Arifin setelah berkenalan dengannya dan merasakan bahwa dia memiliki syarat-syarat sebagai calon pendamping hidupnya. Jarak ternyata tidak menyurutkan tekad Arifin untuk menjadikan Yuni (panggilan akrab Wahyuniaty al-Wali) sebagai istri. Melalui saluran telepon, setelah shalat subuh, Arifin menyatakan cintanya dan sekaligus melamarnya. Lamaran kabel inipun akhirnya diterima oleh Yuni.
Pasangan serasi dan bahagia ini telah dikaruniai amanat dari Allah berupa putra-putra yang manis yaitu Muhammad Alvin Faiz, Muhammad Amer Azzikra dan Muhammad Azka Najhan. Anak ini sering diajak untuk mengikuti kegiatan zikir yang diadakan oleh ayahnya.
Muhammad Arifin Ilham mempunyai hobi bulu tangkis, ia pernah menjadi juara bulu tangkis antar Ponpes se-Jabotabek, untuk renang, karena kepadatan aktivitasnya sering dilakukan disela-sela kesibukannya. Biasanya sehabis memimpin jamaah zikir pada Minggu pagi, sesudah istirahat siang, ia bersama teman-teman di majelis Azzikra pergi renang untuk menyalurkan hobinya.
Muhammad Arifin Ilham mempunyai sifat sederhana, hal ini dilihat dari cara berpakaian dan juga kehidupan di rumahnya. Rumah utama yang berada beberapa meter di depan masjid al-Amru Bittaqwa Mampang Indah II Pancoran Mas Depok terlihat sederhana dilihat dari perabotan rumahnya. Sedangkan rumah satunya yang agak jauh dari rumah utama digunakan untuk menginap pengunjung ketika akan melakukan zikir di masjid.
Sopan santunya terlihat dari tutur kata dan cara menghormati tamu. Tutur katanya sangat lembut dan menghargai pendapat orang. Setiap tamu yang datang disambutanya dengan antusias dan dengan tangan terbuka, siapapun dan dari kalangan manapun. Juga sikap rendah hatinya. Hal ini terlihat dari panggilan beliau. Beliau lebih suka dan merasa akrab dipanggil dengan sebutan 'abang'. Jadi tidak ada batas yang kelihatan antara seorang dai dan umatnya. Untuk memanggil orang yang lebih tuapun lebih sering dengan pangilan abah atau bunda.
Muhammad Arifin Ilham adalah seorang yang produktif disamping kesibukannya dalam berdakwah dan memimpin majelis Azzikra juga banyak buku yang telah ditelurkannya. Baik yang disusun sendiri maupun dengan orang lain, diantaranya adalah: Menggapai Kenikmatan Zikir, Renungan-renungan Zikir, Hakikat Zikir, Jalan Taat menuju Allah, Indonesia Berzikir, Hikmah Zikir Berjamaah. Muhammad Arifin Ilham juga mengisi konsultasi zikir di majalah Hidayah dan Buletin Azzikra
Banyak pengalaman dan prestasi yang telah diraih oleh seorang dai kondang ini. Di antaranya adalah:
Sewaktu kuliah dia aktif diberbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepemudaan, salah satu organisasi mahasiswa yang beliau geluti adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di organisasi kemahasiswa ini banyak hal yang Arifin dapatkan baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan dan sia-sia.
Bakat Muhammad Arifin Ilham sebagai seorang dai sudah terlihat sejak menjadi santri di pesantren Darunnajah, hal ini dibuktikan ketika mengikuti perlombaan maupun ketika masih acara-acara pengajian remaja seperti pesantren kilat, karier sebagai seorang dai ini mulai menanjak semenjak dia selalu mengisi pidato pendahuluan sebelum KH. Zainuddin MZ. Bahkan Arifin pernah menjurai lomba pidato bahasa Inggris tingkat ASEAN.
Karena kemampuannya berceramah itu meski usianya masih remaja, Arifin sudah kerap keluar kandang mengisi pengajian di luar pesantren. Bahkan pada usia 16 tahun ia sudah melanglang buana ke beberapa daerah di nusantara ini. Antara lain di Lampung, Batam, Balikpapan, Samarinda dan Banjarmasin. Bahkan ia pernah berceramah di Singapura.
Nama majelis zikir Azzikra, diambil dari nama lain al-Quran, artinya dalam mejelis ini tidak keluar dari al-Quran, karena seutama-utama zikir adalah al-Quran.
Zikir tersebut pertama kali dilakukan sendiri. Kemudian istrinya dan pembantunya ikut pula apa yang dilakukannya sampai sekarang setiap minggu mulai pada pukul 07.30 sampai kira–kira pukul 09.30 pada awal bulan tetap rutin dilakukan zikir bersama di dalam masjid al-Amru Bittaqwa tersebut. Karena padatnya jadwal ceramah inilah akhirnya acara di masjid ini hanya dilakukan sekali dalam sebulan. Hal ini juga tidak mengurangi jama’ah untuk menghadirinya, bahkan jama’ah melewati angka 15 ribu orang.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Arifin Ilham, Menggapai Kenikmatan Zikir (Jakarta: Hikmah, 2004). Endang Mintarja, Arifin Ilham Tarikat, Zikir dan Muhammadiyah, (Jakarta: Hikmah, 2004). Muhammad Arifin Ilham, “Tanpa Zikir Semuanya akan hampa”, (Citra, 758, ixv, Oktober 2004). Muhammad Arifin Ilham, “Masuk TV Atau Tidak Yang Penting Niatnya”, (Al Falah, 19, Februari, 2004). Abdul Syukur, “Nyayi Sunyi Tanah Tinggi”, (Az-Zikra, 1, 2004)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar