Skip to main content

Biografi KH. Ahmad Rifa’i

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 09, 2013

Nama lengkapnya adalah Haji Ahmad Rifa'i bin Muhammad Marhum bin Abi Sujak, alias Raden Sucowijoyo. Ia pernah menjabat sebagai Penghulu Landerad Hindia Belanda di Kendal pada tahun 1794 dan kuburannya berada di sebelah Barat masjid Jami’ Kendal Semarang.
Syaikh KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum dilahirkan pada tahun 1786 M = 1200 H di desa Tempuran, Kabupaten dan karesienan Semarang. Ayahnya meninggal sewaktu dia masih kecil, dan diasuh oleh kakak iparnya, yaitu Syaikh Asy’ari, Kaliwungu Semarang.
Ayahanda KH. Ahmad Rifa’i mempunyai saudara kerabat sebanyak empat orang kiai, yaitu Ibu Nyai Nakiyamah, Bapak KH. Bukhari, KH. Ahmad Hasan dan Kiai Abu Musthofa. Saudara kerabat KH. Ahmad Rifa’i sebanyak tujuh kiai. Yaitu Haji Ahmad Hasan dan Kiai Abu Musthofa. Saudara kerabat syaikh Haji Ahmad Rifa’ai sebanyak tujuh kiai; Kiai Abdul Karim, Kiai Salmah, KH. Zakaria, Kiai Rokhibah, Ibu Nyai Rojiyah, dan Kiai Muhammad Arif.
Masa remaja KH. Ahmad Rifa’i, berada dalam lingkungan kehidupan agama yang kuat karena Kaliwungu merupakan wilayah yang sejak dulu terkenal sebagai pusat perkembangan Islam di wilayah Kendal dan sekitarnya. Di lingkungan inilah ia diajarkan bermacam-macam ilmu agama Islam yang lazim dipelajari dunia pesantren seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Fikih, Badi, Bayn, ilmu Hadis, dan ilmu al-Quran.
Pada 1816 M, KH. Ahmad Rifa’i berangkat ke Makkah untuk tahun, untuk memperdalam ilmunya tentang agama Islam. Selama menetap di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama Masjidil Haram seperti Syaikh Isa al-Barawi, Syaikh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisyi dan Syaikh Ahmad Usman. Disamping belajar di Makkah, di antara pengikutnya ada yang menyakini bahwa Ahmad Rifa'i juga belajar di Mesir selama dua belas tahun, akan tetapi kemungkinan ini kecil sekali karena Ahmad Rifa'i sendiri menyatakan pergi ke Makkah dan setelah delapan tahun ia kembali ke Kendal, dan selanjutnya pindah ke Kalisalak berhubung istirinya tinggal di desa tersebut.
Adalah sangat beralasan manakala Ahmad Rifa'i memilih bermukim dan belajar di Makkah. Sebab, Makkah dan Madinah merupakan kota Haramayn yang disamping sejak masa awal Islam terkenal sebagai pusat penting studi Hadis, juga sebagai kota pusat yang menjadi penghubung jaringan ulama dari berbagai kawasan dunia Islam yang telah berlangsung semenjak abad-abad sebelum abad ke-17. Adanya saling hubungan di antara ulama yang terlibat dalam jaringan ulama menciptakan komunitas-komunitas intelektual international yang saling berkaitan satu sama lain. Hubungan di antara mereka pada umumnya tercipta dalam kaitan dengan upaya pencarian ilmu melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti masjid, madrasah, dan ribath.
KH. Ahmad Rifa’i cukup lama belajar dan bermukim di Makkah, maka boleh jadi pemikiran dan ajaran-ajaran yang dikembangkannya di pengaruhi oleh pemikiran yang berkembang di Makkah pada waktu itu, yaitu pemikiran dan ajaran kaum Wahabi.
Setelah selama sekitar delapan tahun KH. Ahmad Rifa’i mendalami ilmu agama Islam di Makkah, ia kembali ke tanah air bersama-sama dengan dua sahabatnya, yaitu KH. Khalil dari Bangkalan, Madura, dan KH. Asy’ari, kakak iparnya, di Kaliwungu Kendal. Ia mendapat banyak perhatian, terutama dari para santrinya. Sebab, disamping sebagai ustadz di alumni Timur Tengah.
Untuk merealisasikan gagasan-gagasannya, KH. Ahmad Rifa’i mengajarkan agama Islam seperti yang diajarkan para ulama salaf yang orthodoks. Secara tegas, ia melancarkan kritik terhadap praktek kehidupan sosial keagamaan mayoritas umat Islam yang dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam misalnya praktek sinkretisme, pertunjukan seni wayang dan gamelan, kebiasaan wanita muslim keluar dari rumah tanpa memakai kerudung, pertemuan pria-wanita yang bukan muhrim tanpa adanya hijab, dan lain sebagainya.
Menurutnya, sebagai tokoh agama dan tokoh masyarakat, para ulama memiliki tanggung jawab untuk meluruskan praktek-praktek penyimpanan dan memperbaiki kebrobokan moral yang mewabah di kalangan mayoritas umat Islam. Oleh karena itu, secara eksplisit Haji Ahmad Rifa'i melancarkan kritik-kritik tersebut kepada para ulama traditional, terutama para penghulu sebagai pejabat resmi yang mengurusi masalah-masalah keagamaan umat Islam. Tokoh-tokoh agama (kiai, haji) terutama para penghulu yang bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda dinilai telah melacurkan hukum agama Islam. Mereka tidak menegakkan pelaksanaan syari’ah (fiqh, hukum Islam) Allah, tetapi malah menundukkan diri kepada hukum adat dan budaya barat yang sekuler.
Kritik-kritik sosial keagamaan KH. Ahmad Rifa’i ternyata, menimbulkan ketegangan hubungan antara para penghulu dan perangkatan di satu pihak. Penghulu di Kaliwungu dan penghulu-penghulu lain di daerah Kendal mengadakan reaksi dengan jalan melaporkan kepada pemerintah Belanda mengenai sikap dan tindakan KH. Ahmad Rifa’i. Dalam laporan itu, KH. Ahmad Rifa’i dituduh membuat keresahan yang dapat mengganggu ketentraman dan stabilatas pemerintahan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Darban A Ahmad Daby, Rifa’iyyah Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah 1850-1 982, (Yogyakarta, 2004). Syadzirin Amin, Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh H. Ahmad Rifa'i, dengan Madzab Syafi’i dan I’tikad Ahli Sunnah Wal Jama’ah, (Jama’ah Masjid Baiturrohman, Pekalongan, 1989).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar