Skip to main content

Hukum Jual Beli Barang yang Tidak Kelihatan

Oleh: AnonymousPada: January 30, 2013

Hukum jual beli barang yang tidak ditempat dihalalkan, dibenarkan agama, dengan syarat-syarat yang diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama Mujtahidin) tak ada khilaf padanya. Dengan tegas al-Quran menerangkan bahwa menjual itu halal; sedang riba diharamkan.
Sejalan dengan itu dalam jual beli ada persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya menyangkut barang yang dijadikan objek jual beli yaitu barang yang diakadkan harus ada di tangan si penjual, artinya barang itu ada di tempat, diketahui dan dapat dilihat pembeli pada waktu akad itu terjadi. Hal ini sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq:
Adapun tentang syarat barang yang diakadkan ada enam yaitu (1) bersihnya barang. (2) dapat dimanfaatkan. (3) milik orang yang melakukan akad. (4) mampu menyerahkannya. (5) mengetahui. (6) barang yang diakadkan ada di tangan
Menurut Abu Bakr al-Jazairi, seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada padanya atau sesuatu yang belum dimilikinya, karena hal tersebut menimbulkan kecurigaan, dan dapat menyebabkan kekecewaan pembeli yang tidak mendapatkan barang yang dimilikinya.
Dalam kaitan ini Ibnu Rusyd menjelaskan, barang-barang yang diperjual belikan itu ada dua macam: pertama, barang yang benar-benar ada dan dapat dilihat, ini tidak ada perbedaan pendapat. Kedua, barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi, maka untuk hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.
Menurut Imam Malik, dibolehkan jual beli barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi, demikian pula pendapat Abu Hanifah. Namun demikian dalam pandangan Malik bahwa barang itu harus disebutkan sifatnya, sedangkan dalam pandangan Abu Hanifah tidak menyebutkan sifatnya pun boleh.
Pandangan kedua ulama tersebut (Imam Malik dan Abu Hanifah) berbeda dengan pandangan Imam al-Syafi’iy yang tidak membolehkan jual beli barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi.
Menurut Sayyid Sabiq, boleh menjualbelikan barang yang pada waktu dilakukannya akad tidak ada di tempat, dengan syarat kriteria barang tersebut terperinci dengan jelas. Jika ternyata sesuai dengan informasi, jual beli menjadi sah, dan jika ternyata berbeda, pihak yang tidak menyaksikan (salah satu pihak yang melakukan akad) boleh memilih: menerima atau tidak. Tak ada bedanya dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, (Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989). T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001). Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim: Kitab Aqa'id wa Adab wa Ahlaq wa Ibadah wa Mua’amalah, (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar