Skip to main content

Waktu Pelaksanaan Khitan menurut Ulama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 18, 2012

Waktu pelaksanaan khitan menurut ulama, dikelompokan dalam tiga waktu yaitu waktu wajib, waktu sunnah, dan waktu makruh.
Waktu Wajib
Menurut keterangan Abu Bakar bin Muhammad Satha Ad-Dimyati bahwa khitan diwajibkan bagi laki-laki baligh, berakal dan berfisik sehat.
Keterangan ini menunjukkan bahwa wajibnya khitan adalah saat datang waktu baligh (dewasa) bagi anak laki-laki yang berakal sehat dan berfisik sehat. Jadi sekalipun ia sehat akal dan telah berusia baligh namun bila belum memiliki fisik yang sehat maka ia tidak berkewajiban khitan. Dengan demikian, hal di atas merupakan syarat wajib untuk dikhitan.
Sementara madzhab Syafi’iy berpendapat bahwa waktu khitan sudah aqil baligh, karena sebelum aqil baligh seorang anak tidak wajib menjalankan syariat agama. Kewajiban dalam menjalankan syariat Islam ketika anak sudah baligh yaitu wajib menjalankan ibadah, misal shalat, puasa dan lain sebagainya.
Usia baligh merupakan batas usia taklif (pembebanan hukum syar’iy). Sejak usia baligh itulah seorang anak tergolong mukallaf (terbebani hukum syar’iy). Apa yang diwajibkan syariat kepada muslim wajib dilaksanakannya, sedang yang diharamkan wajib dijauhinya.
Satu hal yang diwajibkan syara’ kepada anak berusia aqil baligh ialah menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Sedang khitan merupakan syarat sahnya shalat, sehingga ketika anak menginjak usia baligh maka ia wajib dikhitan agar kewajiban ibadah dapat ditunaikan.
Waktu pelaksanaan khitan menurut para ulama, wajib dilaksanakan ketika anak mendekati masa aqil baligh. Dengan harapan bahwa anak itu siap menjadi mukallaf yang akan memikul tanggung jawab dalam melaksakan hukum-hukum syariat. Ketika memasuki masa baligh ia telah dikhitan sehingga ibadahnya sah seperti yang digariskan dan diterangkan Islam.
Ketentuan balighnya seorang anak dalam khitan ini selain ketentuan fiqh yang menyatakan bahwa usia baligh bagi anak laki-laki maksimum genap berusia 15 tahun atau minimum sudah bermimpi basah, tentunya itu adalah batas usia maksimum anak harus melaksanakan shalat.
Rasulullah saw, telah mengajarkan bahwa anak berusia 15 tahun harus mulai dilatih shalat dan ketika berusia 10 tahun mereka harus mulai disiplin shalat sebagimana dijelaskan Rasulullah saw dalam sabdanya:
Dari Umar bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Suruhlah anak-anak kalian berlatih shalat sejak mereka berusia 7 tahun dan pukulah mereka jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (sejak usia 10 tahun)”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian, jelaslah bahwa semua ulama sepakat menyatakan kewajiban melaksanakan khitan ketika anak sudah baligh. Bagi orang tua muslim wajib memerintahkan anak melaksanakan khitan jika ia sudah mencapai usia tersebut. Karena pada masa itu anak dituntut kewajibannya melaksankan syariat agama.
Waktu Sunnah
Waktu pelaksanaan khitan menurut ulama mayoritas bahwa waktu yang dimaksud adalah sebelum aqil baligh. Kategori waktu sunnah dalam khitan yang ditentukan dalam rentang waktu (masa) persiapan menyongsong usia mukallaf. Pada usia tujuh tahun anak dilatih melaksanakan shalat karena sudah memasuki usia pra baligh. Hal ini untuk mengajarkan anak agar terbiasa dan siap menjadi anak shaleh yang didambakan keluarga.
Sementara pengikut Imam Hanafi dan Maliki menentukan bahwa waktu khitan yang disunnahkan adalah masa kanak-kanak-kanak, yakni pada usia 9 atau 10 tahun atau anak mampu menahan sakit bila dikhitan.
Asy-Syafi’iy menekankan keutamaan khitan ketika anak masih kecil. Memang agaknya jika kita merujuk Rasulullah saw, saat mengkhitankan cucunya Hasan dan Husain pada usia bayi yakni baru berusia tujuh hari sebagaimana disebutkan dalam Hadis Nabi saw bahwasannya Aisyah ra mengatakan:
Dari Aisyah ra, Sesungguhnya Nabi saw mengkhitankan Hasan dan Husain ketika berusai tujuh hari dari kelahiranya. (HR. Al-Hakim)
Jika memang demikian, maka hari ketujuh dari kelahiran anak merupakan hari istimewa bagi orang tua. Pasalnya, mereka harus mengerjakan banyak hal yakni mengaqiqahkan, mencukur rambut, menamai dan sekaligus mengkhitankan anaknya.
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari memberikan keterangan yang fleksibel sebagai berikut:
  1. Pelaksanaan khitan di sunnahkan pada usia bayi 7 hari mengikuti jejak Rasul (ittiba’ Rasul).
  2. Jika pada usia tujuh hari belum terlaksana, maka disunnahkan pada usia 40 hari.
  3. Jika pada usia 40 hari belum terlaksana, maka disunnahkan pada usia 7 tahun, karena pada usia ini anak harus dilatih melaksanakan shalat.
Waktu makruh
Waktu makruh melaksanakan khitan yakni dimana fisik anak kurang memungkinkan menanggung rasa sakit untuk berkhitan, waktu yang dimaksud adalah bayi kurang dari umur 7 hari.
Adapun menurut keterangan lain khitan pada waktu anak berusia kurang dari tujuh hari semenjak kelahirannya dimakruhkan karena selain fisiknya lemah, juga disinyalir menyerupai perbuatan orang yahudi.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid I, (Baerut, Dar Al Fikr, t.t). Ahmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, Khitan Dan Aqiqah: Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya: al-Miftah, 1998). M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan Dan Maknanya), (Jakarta: Pustaka Amani, 2001). Harun Nasution, et. al, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Sabdodadi, 1992). Abu Bakar Usman Bin Muhammad Dimyati al-Bakri, I’anatut Thalibin, Juz IV, (Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, t.t).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar