Skip to main content

Sejarah Eksistensialisme

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 14, 2012

Sebagai filsafat yang menentukan eksistensi manusia sebagai tema sentral, Eksistensialisme tumbuh sebagai suatu ragam filsafat Antropologi yang berkembang terutama setelah selesainya Perang Dunia II. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa filsafat Eksistensialisme itu baru menjelma setelah Perang Dunia ke II sebab Kierkegaard, sebagai peletak dasar, menulis karyanya bahkan sebelum Perang dunia I, sedangkan sebagian karya Heidegger, Jaspers, dan Sartre pun telah ditulis sebelum perang dunia II. Bahkan terdapat alasan yang menunujukan bahwa dasar-dasar Eksistensialisme itu juga ditemukan pada tokoh-tokoh pengarang seperti Dostoyvski atau juga pada filsuf Nietsczhe, padahal kedua-duanya pun tak sampai mengalami Perang Dunia I.
Sikap bebas sebagai manifesto filsafat, banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf besar dari segala zaman. Socrates memilih meminum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinanya. Spinoza, karena kekhawatiranya kehilangan kebebasan untuk berpikir menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg (1673). Tradisi kebebasan berpikir ini berkelanjutan pada tokoh-tokoh seperti Lassing, Goethe, dan Karl Marx. Tanpa kebebasan berpikir, filsuf-filsuf seperti Kierkegaard, Nietzsche, Sartre, Heidegger, Ortega Y Gasset, dan serentetan nama-nama dari masa kontemporer tidak mungkin dibayangkan akan tampil.
Semua pandangan-pandangan tentang manusia yang sudah dibicarakan di atas biasanya mengenai beberapa segi dari kenyataan manusia dan diberlakukan sebagai kenyataan manusia yang sebenarnya. Lalu timbul pertanyaan, apakah tidak semestinya untuk mengadakan perombakan memandang manusia berpangkal pada ketuhanan manusia?. Dengan demikian kita dapat mengetahui siapa dan apakah manusia itu. Usaha dan percobaan tersebut dalam sejarah pemikiran manusia telah dimulai dari Plato, Sokrates, sampai Thomas van Aquino, dan dalam bentuk yang lain oleh Eksistensialisme.
Bagi mereka, manusia itu adalah manusia konkret dan yang hidup itu merupakan pokok pangkal dari Eksistensialisme. Akan tetapi jika manusia sebgai eksistensi menjadi pokok pangkal, bolehkah dan dapatkah menghampiri wujud manusia sebgai suatau daya, dalam soal ini sebagai roh, materi dan akal? Eksistensialisme, dengan seluruh diri manusialah dapat dikenal diri manusia. Dengan demikian Eksistensialisme merupakan reaksi terhadap idealisme dan materialisme dalam memandang manusia.
Memang, pada dasarnya merumuskan Eksistensialisme jauh lebih sulit daripada filsafat eksistensi; yang pertama disebut sebgai aliran, sedangkan yang kedua adalah bentuk ragam filsafat. Filsafat Eksistensi, sebgaimana maknanya, menetap cara wujud manusia itu. Di lain pihak, diantara kalangan Eksistensialisme sendiri tidak ada kesepakatan apa itu Eksistensialisme perdefenisi, bahkan ada tokoh-tokoh tertentu yang enggan dimasukan ke dalamnya, seperti Jespers dan Hiedegger. Kesukaran lain, pemikir-pemikir tersebut dalam mengungkapkannya sering menggunakan bentuk sastra,, drama, serta novel, sehingga dalam perkembangan nya tidak jelas batas­batasnya karena merasuk kedalam berbagai cabang ilmu, di antaranya kesusasteraan, psikologi dan tehnologi.
Akan tetapi meski ada kesukaran, adalah perlu untuk menegaskan dalam pembahasan ini. Di antara pendapat-pendapat tersebut ada yang mengatakan, bahwa Eksistensialisme merupakan usaha untuk menjadikan masalah menjadi konkret karena adanya manusia dan dunia. Sedimikian rupa usaha itu sehingga tidak ada masalah bagi manusia yang tidak dapat dipecahkan; jika tidak dalam rangka pengertian manusia tentang dirinya, maka Eksitensialisme berbicara tentang keberadaannya.
Ahli-ahli filsafat skolastik misalnya membedakan antara essensia dan eksistensia (wujud dari yang ada). Mereka justru tidak menyatakan sesuatu hakikat, akan tetapi lebih dahulu yang nyata dan terbatas. Eksistensialisme, berakar dari kata eksistensi, dalam bahasa Inggris existence, adalah bentuk kata benda, dengan kata kerja to exixt yang berarti ”the state of being....” Ia berasal dari bahasa latin exsto dan exister. Dalam bahasa Perancis: ”existo”, yakni terdiri dari ”ex” dan ”sisto”, yang berarti to stand. Semuanya itu dalam bahsa Indonesia berarti secara, `berdiri`, atau `menempatkan diri`. Kata ”ex ” bearati keluar. ”To-Exist” di samping pengertian seperti di atas juga secara harfiah berarti: keluar, ada, hidup, atau mengada. Akan tetapi dalam Eksistensialisme, artinya lebih kompleks, tidak cukup ”ada”, ”mengada” atau ”berada”.
Kierkegaard yang dianggap bapak Eksistensialisme, dalam memberikan reaksi terhadap materialisme dan Idealisme khususnya Hegel, memberikan bobot tertentu kepada perkataan ”eksistentie”, yang terdapat dalam filsafat terbaru. Bukan saja dalam perkataan sehari-hari di mempengaruhi corak pemikiran Eksitensialisme, akan tetapi tema-tema pun ditunjang dalam perkembangan sejarah Eksistensialisme.
Dalam memberikan makna Eksistensi, Kierkegaard bertolak dari sinilah ia menerima prinsip Sokrates, yaitu selfknowlege is a knowledge of God (pengetauan akan diri adalah pengetahuan akan Tuhan), dan mengambil formula yang terkenal; ”Truth is Subjektivity”. Kierkegaard mengatakan, bahwa yang bereksistensi itu hanya manusia, dia sebgai individu adalah unik, tidak dapat di terangkan dari sudut metafisika atau sistem-sistem ilmu. Eksistensi bagi manusia itu tidak sekedar ”mengada”.
Eksistensi adalah label khusus yang hanya dikenakan kepada manusia. Dengan keluar dari diri, manusia menemukan dirinya. Dia bukan objek, dan bukan sekedar ada dan mengada, di selalu keluar, muncul dari tidak sadar menjadi sadar. Muncul dari non ”Aku” menjadi ”Aku”. Yang sadar selalu menampilkan intensionalitas sebagai subjek yuang mengarahkan kepada objek. Dia sebgai objek yang berada ditengah-tengah dunia, dan beradanya di sana selalu terbuka dan selalu berhubungan, hal ini dimungkinkan sebab idia sudah menunjukan subjek yang membadan. Dengan kebebasan yang dimilikinya serta kemungkinan untuk memilih senantiasa terbuka bagi manusia akan berbagi relasi.
Referensi Makalah
Kepustakaan:
Reider Thomte, Kierkegaard`s Philosophy of Relegion (New Jersey: Princenton University Press, 1949). Hasan hanafi, Berkenalan dengan Ekasistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976). Virginia S. Thatcher, (The New Webster Encyclopedia Dictionary of English Language New York: Grolier Incorporated, 1967). S. Wojowasito, Wjs. Poerwadarminata, Kamus Inggris-Indonesia (Bandung: Pen. Hasta, 1980).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar