Skip to main content

Periwayatan Hadis Pasca Kenabian

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 31, 2012

Setelah Nabi wafat (11 H/ 632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di bawah pemerintahan Khulafa al-Rasyidin. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M) dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/66 1 M). Masa keempat sahabat ini dikenal dengan Zaman Sahabat Besar. Pada masa itu, perhatian sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran sehingga periwayatan hadis belum begitu berkembang, namun hanya sekedar usaha membatasi saja.
Abu Bakar sebagai khalifah pertama telah menunjukkan perhatianya terhadap hadis. Dia sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Hal ini dibuktikan tatkala Abu Bakar menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Ketika beliau menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya baik dalam al-Quran maupun sunnah, maka al-Mughirah mengatakan kepada beliau bahwa Rasulullah telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar 1/6 bagian. Abu Bakar kemudian meminta supaya al-Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian hadis yang ia riwayatkan diterima.
Kasus tersebut memberi petunjuk bahwa Abu Bakar ternyata tidak segera menerima riwayat tersebut sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Sikap kehati-hatian ini juga ditunjukkan oleh Umar bin Khaththab. Akan tetapi periwayatan hadis pada masa ini lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan dengan masa Abu Bakar. Salah satu penyebabnya adalah dorongan Khalifah umar kepada umat Islam untuk mempelajari hadis Nabi. Meskipun begitu, para periwayat hadis masih agak terkekang dalam melakukan periwayatan hadis, karena ketatnya sikap Khalifah umar terhadap langkah-langkah yang mereka lakukan. Tetapi justru kebijaksanaan ini ternyata dapat membekukan perbuatan orang-orang yang memalsukan hadis.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, kegiatan periwayatan hadis lebih banyak bila dibandingkan masa sebelumnya. Seruan utsman agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, tidak begitu besar pengaruhnya terhadap sebagian periwayat yang bersikap longgar dalam periwayatan hadis. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi Utsman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam sudah semakin luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan semakin sulitnya mengendalikan kegiatan periwayatan hadis.
Sikap Khalifah ali bin Abi Thalib dalam periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Bahkan dalam menerima hadis dia mensyaratkan adanya sumpah dari periwayat yang bersangkutan, kecuali terhadap periwayat yang benar-benar telah dipercayainya. Hal ini dilakukan sebab situasi umat Islam pada masa ini telah berbeda jauh dengan situasi masa sebelumnya.
Pada masa ini pertentangan politik di antara umat Islam semakin tajam sehingga membawa dampak negatif dalam kegiatan periwayatan hadis. Suhu politik yang semakin memanas semakin mendorong orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan hadis. Oleh karena itu untuk mendapatkan hadis yang berkualitas Shahih diperlukan penelitian yang mendalam.
Selain Khulafa al-Rasyidin, para sahabat yang lain juga berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Anas bin Malik misalnya, pernah mengatakan bahwa sekiranya dia tidak takut keliru, niscaya semua yang didengarnya dari Nabi dikemukakan juga pada orang lain.
Selain itu, dalam rangka mencari maupun mencocokkan sebuah hadis saja, seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan jauh. Seperti yang dilakukan oleh Jabir bin abdillah yang mengadakan perjalanan selama satu bulan hanya untuk mendapatkan hadis dari Abdullah bin Unais.
Pada generasi setelah sahabat, sikap hati-hati dan kecermatan dalam meriwayatkan hadis masih menjadi pegangan yang kuat, sebagaimana kebijakan yang dilakukan oleh para sahabat. Pada masa ini, kegiatan periwayatan hadis semakin bertambah semarak. Mayoritas ulama pada masa ini memperoleh hadis dari para sahabat yang mengadakan studi-studi keilmuan di berbagai pusat pembinaan hadis. Hal ini dilakukan seiring dengan semakin luasnya kekuasaan Islam hingga mencapai Andalusia dan Yaman.
Meskipun demikian, pergolakan poilitik pada masa ini semakin tajam dan berlarut-larut sehingga berakibat bertambah banyaknya hadis-hadis Maudhu (palsu) yang digunakan untuk melegitimasi kepentingan politik tertentu dan menjatuhkan posisi lawan. Untuk itu, para ulama berusaha membakukan tata cara penyampaian dan penerimaan hadis serta menghimpun hadis dalam kitab-kitab hadis.
Usaha ulama ini semakin gencar dilakukan terutama setelah mendapat dukungan dari Khalifah umar bin abd al-aziz. Lebih dari itu, adanya kekhawatiran bercampurnya hadis-hadis yang Shahih dengan yang palsu serta semangat yang tinggi untuk menjaga hadis Nabi dari kepunahan, telah mendorong Khalifah untuk menginstruksikan kepada para pejabat daerah agar membukukan hadis Nabi dari para penghafalnya. Kepada para ulama Madinah, ia mengirim perintah yang berbunyi:
“Periksalah hadis Rasulullah saw kemudian tulislah, (karena) aku khawatir lenyapnya ilmu dan meninggalnya para ulama.”
Instruksi yang sama ia tujukan pula kepada Muhammad bin Syihab al-Zuhri (wafat 124 H) yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis sehingga penghimpunan hadis yang dilakukan oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ini dijadikan sebagai tonggak sejarah permulaan kodifikasi hadis.
Pemerintahan Abbasyiah, terutama masa Khalifah al-Makmun sampai dengan al-Muqtadir (sekitar 201-300 H) telah dilakukan usaha penyeleksian hadis yang telah dikodifikasikan pada masa sebelumnya. Pada masa ini, ulama menetapkan kaidah-kaidah Ilmu Hadis sehingga berhasil memisahkan hadis Dhaif dari yang Shahih, dan hadis-hadis yang Maqthu’ (terputus sanadnya) dari yang Marfu’ (bersambung sanadnya).
Berkat keuletan dan keseriusan ulama pada masa ini, maka bermunculanlah kitab-kitab hadis yang hanya memuat hadis-hadis Shahih seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Setelah itu muncul pula kitab-kitab hadis yang lebih mengarah pada usaha pengembangan dengan beberapa variasi pengkodifikasian terhadap kitab-kitab hadis yang sudah ada. Seperti Sunan al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Abu Daud, dan Sunan Ibnu Majah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abdullah bin abd al-Rahman al-Darimi, Sunan al-Darimi, (Dar al-Fikr, Beirut, t.th.). M. Khudhari, Tarikh Tasyri al-Islami, (Dar Ihya al-Kutub al-arabiah, Indonesia, 1981). Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Dar al-Fikr, Beirut, t.th). Muhammad Mahfuzh bin Abdillah al-Tirmisi, Manhaj Dzawi al-Nazhar, (Dar al-Fikr, Beirut, 1995).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar