Skip to main content

Pengertian Perwalian dan Wali Nikah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 06, 2012

Perwalian, dalam literatur fikih Islam disebut dengan al-walayah (al-Wilayah), seperti kata ad-Dalalah yang juga bisa disebut dengan ad-Dilalah. Secara etimologis, dia memiliki beberapa arti. Di antaranya adalah cinta (al-Mahabbah) dan pertolongan (an-Nashrah), juga berarti kekuasaan/ otoritas (as-Sulthah al­-Qudrah) seperti dalam ungkapan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-Walayah (al-Wilayah) adalah tawalliy al­Amr (mengurus/ menguasai sesuatu).
Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminologi para pakar hukum Islam seperti diformulasikan Wahbah al-Zuhayli ialah Kekuasaan/ otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain.
Orang yang mengurusi sesuatu (akad), disebut wali. Secara harfiah berarti yang mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan orang yang mengurus perkara (urusan) seseorang.
Atas dasar pengertian wali tersebut, dipahami bahwa orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya, karena ayah adalah tentu orang yang paling dekat, siap menolong, bahkan yang selama itu mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya, barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah sebagaimana dibahas panjang lebar dalam buku-buku fikih.
Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiah, membedakan perwalian ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walayah 'alan-nafs), perwalian terhadap harta (al-walayah 'alal-mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walayah 'alan-nafsi waf-mali ma'an).
Perwalian dalam nikah atau wali nikah, tergolong ke dalam al-walayah 'alan-nafs, yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para wali yang lain.
Wali Nikah ialah: "orang laki-laki yang dalam suatu akad perkawinan berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan" Adanya Wali Nikah merupakan rukun dalam akad perkawinan.
Jumhur Ulama mensyaratkan adanya Wali Nikah dalam akad perkawinan dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri. Menurut Ibnu Mundzir tidak terdapat seorang sahabatpun yang menyalahi pendapat Jumhur ini. Imam Malik berpendapat bahwa disyaratkan adanya Wali Nikah bagi wanita bangsawan dan tidak disyaratkan bagi wanita biasa.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya Wali Nikah dalam suatu akad perkawinan. Ulama Dhahiriyah mensyaratkan adanya Wali Nikah bagi gadis dan tidak mensyaratkan bagi janda. Abu Tsaur berkata bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya dengan idzin walinya.
Dalam Hukum Perkawinan Islam dikenal adanya empat macam Wali Nikah, yaitu:
  1. Wali Nasab, yaitu Wali Nikah karena pertalian nasab atau pertalian darah dengan calon mempelai perempuan.
  2. Wali Mu'tiq, yaitu Wali Nikah karena, memerdekakan, artinya seorang ditunjuk menjadi wali nikahnya seseorang perempuan, karena orang tersebut pernah memerdekakannya. Untuk jenis kedua ini di Indonesia tidak terjadi.
  3. Wali Hakim, yaitu Wali Nikah yang dilakukan oleh Penguasa, bagi seorang perempuan yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada, baik karena telah meninggal dunia, menolak menjadi wali nikah atau sebab-sebab lain. .
  4. Wali Muhakkam, yaitu Wali Nikah yang terdiri dari seorang laki-laki yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk menikahkan mereka, dikarenakan tidak ada Wali Nasab, Wali Mu'tiq, dan Wali Hakim. Untuk jenis terakhir ini di Indonesia sedikit sekali kemungkinan terjadinya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka yang lazim di Indonesia hanyalah Wali Nasab dan Wali Hakim saja.
Urutan Wali Nasab adalah sebagai berikut: Ayah, Kakek (Bapak ayah), Ayah Kakek (ayah tingkat tiga) dan seterusnya ke atas, Saudara laki-laki sekandung, Saudara laki-laki seayah, Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, Anak laki-laki saudara laki-laki seayah, Paman sekandung (Saudara laki-laki ayah sekandung), Paman seayah (Saudara laki-laki ayah seayah), Anak laki-laki paman sekandung, Anak laki-laki paman seayah, Saudara kakek sekandung (Bapak ayah sekandung), Saudara kakek seayah (Bapak ayah seayah), Anak laki-laki saudara kakek sekandung, Anak laki-laki saudara kakek seayah.
Referensi Makalah
Kepustakaan:
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000). Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Al-Faqih, Bidayat al­Mujtahid Wa nihayat al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Jiil, 1989).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar