Skip to main content

Pengertian Nalar Burhani

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 27, 2012

Nalar (Aql) diartikan sebagai kemampuan untuk mengetahui (al-Quwwah al-Mudrikah) sedangkan ternalar adalah makna yang diketahui (al-Ma’na al Mudrakah). Lalande mengklasifikasikan nalar menjdi dua, yaitu Pertama, nalar pembentuk atau aktif (al-Aql al-Mukawwin au al-Fa’il) yang dalam istilah Perancisnya dinamakan la raison constituante. Nalar pembentuk adalah berupa aktifitas kognitif yang dilakukan oleh pikiran ketika mengkaji dan menelaah serta membentuk konsep dan merumuskan prinsip-prinsip dasar. Dengan ungkapan yang lain, nalar aktif ialah naluri manusia yang dengannya ia dapat menarik asas-asas umum dan niscaya dengan berlandaskan pada pemahaman terhadap korelasi antara segala sesuatu. Seluruh manusia pada nalar aktif ini sama.
Kedua, nalar dominan. Nalar dominan adalah sekumpulan asas dan kaidah yang dijadikan pegangan dalam berargumentasi (istidlal). Menurut Lalande, nalar ini bersifat terbentuk dan selalu berubah meskipun dalam batas-batas tertentu. Nalar ini antara satu orang dengan yang lainnya berbeda, antara satu periode dengan periode berikutnya pun berbeda. Sedangkan nalar aktif mempunyai karakteristik untuk membedakan nalar manusia dengan binatang yang disebut al-Quwwah an-Natiqah.
Sedangkan kata burhani secara etimologi berarti dalil sebagai penjelas sekaligus berfungsi sebagai bukti (hujjah). Secara sederhana nalar burhani dapat diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadiyah) melalui metode deduktif (istintaj) dengan mengaitkan proposisi antara yang satu dengan proposisi yang lain untuk membuktikan kebenaran secara aksiomatik.
Secara terminologi, nalar burhani adalah paradigma (kerangka) berfikir dengan menggunakan model metodologi berfikir secara rasio, logika dan silogisme pada proposisi-proposisinya untuk mencapai kebenaran. Jika kita melakukan genealogi historis atas prinsip-prinsip burhani, menurut al-Jabiri, yang pertama kali membangun prinsip burhani adalah Aristoteles (3 84-322 SM) yang terkenal dengan istilah metode analitik (tahlili). Mengacu pada logika yang disampaikan oleh Aristoteles, para pemikir Islam kemudian menyerap dan mengadopsi substansi logika Aristoteles di atas. Proses pengadopsian dan transfer science dilakukan melalui program penerjemahan buku-buku filsafat pada masa al-Makmun dan Harun ar-Rasyid. Penerjemahan itu harus dilakukan atas kebutuhan yang ada, saat itu banyak bermunculan doktrin yang heterodok yang datang dari India, Iran, Persi dan sebagainya. Termasuk juga munculnya penolakan terhadap wahyu sampai pada munculnya kaum zindik.
Filosof Islam pertama yang membangun konsep metode burhani adalah al-Kindi. Dalam buku Filsafat Pertamanya (al-Falsafah al-Ula), ia menjelaskan obyek dan kedudukan filsafat. Ia tidak senang pada orang-orang yang antipati pada filsafat yakni para pendukung bayani (fuqaha). Meskipun metode analitik (burhani) yang dikumandangkan al-Kindi kurang bergema, paling tidak, ia telah memberikan kontribusi yang besar atas pondasi pemikiran filsafat hingga sekarang. Isu penciptaan alam semesta, keabadian jiwa dan pengetahuan Tuhan tentang yang partikular masih diperdebatkan hingga sekarang. Sistem metode burhani ini baru menggegerkan para pemikir Islam pada masa ar-Razi. Ar-Razi seorang rasionalis murni yang hanya percaya pada otoritas akal. Akal mempunyai peran dan fungsi yang besar, seluruh pengetahuan persoalan kehidupan dapat ditelusuri melalui akal. Akallah yang menjadi hakekat kemanusiaan.
Metode burhani tersusun dan mencapai perkembanganya pada masa al-Farabi (870-950 M). Al-Farabl yang terkenal dengan guru filsafat paripatetik kedua (al-Mu’allim as-Tsani) setelah Aristoteles yang terkenal al-Muallim al-Awwal, karena sumbangannya yang besar bagi peletakan dasar-dasar filsafat Islam paska Aristoteles. Ia tidak hanya memakai epistemologi burhani semata dalam filsafatnya, melainkan model burhani ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan unggul. Sehingga ilmu filsafat dinilai lebih tinggi kedudukanya dibandingkan dengan ilmu agama; baik teologi (kalam) dan fikih (yurisprudensi) yang tidak memakai metode burhani. Senada juga, apa yang disampaikan oleh Ibnu Rusyd (1126- 1198), secara eksplisit menyatakan bahwa metode burhani (demonstratif) dipakai kalangan elit terpelajar, metode dialektika (jadal) untuk kalangan menengah dan model retorik (khifabi) untuk kalangan awam.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abd. al-Mun’im al-Hanafi, al-Mu’jam al Falsafi, (Dar asy-Syarqiyyah, Kairo, 1990). Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Remaja Karya, Bandung, 1989). Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-‘Arabi, (Al-Markaz aś-Śaqafah al-‘Arabī, Beirut, 1991). Mahmud Ayoub, Johan Hendrik Meuleman, “Nalar Islami dan Nalar Modern”, Jurnal Ulumul Qur’an, 1993).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar