Skip to main content

Pengertian dan Alasan Penghapusan Pidana

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 07, 2012

Dalam KUHP tidak disebutkan istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Bab ketiga dari buku pertama KUHP, hanya menyebutkan alasan penghapusan pidana.
Dalam teori hukum pidana, Achmad Soema memberikan penjelasan alasan penghapusan pidana, dibedakan menjadi: alasan pembenar; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar, dan alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
Berturut-turut akan dibicarakan pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP tentang alasan penghapusan pidana.
Tidak Mampu Bertanggungjawab; pasal (44)
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit.
Daya Paksa (overmacht) (pasal 48)
Pasal 48 dikatakan tdak dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini tidak dapat dijumpai dalam KUHP.20 Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika KUHP Belanda dibuat.
Daya paksa yang absolut (vis absoluta) dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Sedangkan daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relatif (vis compulsiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu sebenarnya dapat ditahan tetap dari orang yang di dalam paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan daat mengadakan perlawanan.
Pembelaan Darurat (noodweer)
Istilah noodweer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP. Pasal 49 ayat (1) berbunyi: “tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dil akukan untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, membela perikesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”.
Dikatakan oleh Sudarto bahwa perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari seseorang yang main hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti tersebut dalam Pasal 49, maka perbuatannya dianggap tidak melawan hukum. Disini orang seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya.
J.E.Jonkers menerangkan dalam buku pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda untuk memajukan alasan perlawanan terpaksa diperlukan tiga keadaan sebagai berikut:
Peristiwa yang dilakukan harus terpaksa dikerjakan untuk membela. Maksudnya ialah bahwa harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dan penerangan. Karena sesuatu persoalan yang tidak berarti, maka orang tidak boleh membunuh atau melukai lawannya;
Pembelaan hanya dapat mengenai kepentingan tertentu yang disebut dalam undang-undang, yaitu mengenai dirinya atau orang lain, kesopanan atau harta benda diri sendiri atau kepunyaan orang lain; dan
Harus ada serangan yang melawan hukum yang berlaku sekejap itu atau yang mengancam dengan seketika. Penyerangan yang dilawan harus memenuhi tiga syarat: (1) berlaku sekejab itu, (2) dalam susunan perkataan Belanda tidak ada perkataan “mengancam dengan seketika”.
Menjalankan Undang-undang (pasal 50 KUHP)
“Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan undang-undang”. Dalam kalimat ini, mula-mula H.R.. menafsirkan secara sempit, ialah undang-undang dalam arti formil, yakni hasil perundang-undangan dari DPR saja. Namun kemudian pendapat H.R., berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum.26 Dalam hubungan ini soalnya adalah apakah perlu bahwa peraturan undang-undang itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban.
Melaksanakan Perintah Jabatan (pasal 51 ayat 1 dan 2)
Pasal 51 ayat (1) dikatakan “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah”. Orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Maka jika seseorang melakukan perintah yang sah ini, maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003). Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rancangan Undang-Undang tentang Asas-Asas dan Dasar-Dasar Pokok Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1985). J.E.Jonkers, dalam Handbook van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara berjudul Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987). R. Achmad Soema Di Pradja, Asas-Asas Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1982).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar