Skip to main content

Pengertian Aktivitas Keagamaan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 14, 2012

Aktivitas keagamaan terdiri dari dua kata atau istilah yaitu “aktivitas” dan “keagamaan”, istilah aktivitas berasal dari bahasa Inggris activity, yang berarti aktivitas, kegiatan, kesibukan.
Sedangkan kata “keagamaan” berasal dari kata dasar “agama” yang mendapat awalan “ke-“ dan akhiran “-an”. Agama itu sendiri mempunyai arti kepercayaan kepada Tuhan, ajaran kebaikan yang bertalian dengan kepercayaan.
Jadi kata aktivitas keagamaan mempunyai arti segala aktivitas dalam kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai agama, yang diyakini agar tidak terjadi kekacauan di dalam kehidupan sehari-hari.
Pengertian agama bila ditinjau secara deskriptif sebagaimana yang telah diungkapkan oleh George Galloway, adalah sebagai keyakinan manusia terhadap kekuatan yang melampaui dirinya, kemana ia mencari pemuas kebutuhan emosional dan mendapat ketergantungan hidup yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian.
Dari pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa agama merupakan keyakinan yang diakui oleh seluruh manusia dengan mempercayai akan adanya sesuatu kekuatan yang lebih besar dari manusia, yakni kekuatan yang Maha Besar yang menjadikan manusia bergantung kepada-Nya dan menjadikan manusia menyembah.
Agama sebagai refleksi atas cara beragama tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, akan tetapi merefleksikan dalam perwujudan­perwujudan tindakan kolektivitas umat (aktivitas keagamaan). Aktivitas keagamaan suatu umat beragama bukan hanya pada tataran relasi dengan Tuhan, namun juga meliputi relasi dengan sesama makhluk. Aktivitas keagamaan merupakan bagian dari dimensi ritual suatu agama, dan pada dasarnya aktivitas keagamaan itu timbul dari cara manusia mengejewantahkan keberagamaannya.
Penulis-penulis terdahulu seperti Tylor dan Spencer menganggap agama sebagai suatu hasil pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui. Ini adalah bagian, bukan hakikat dari kebenaran itu, Durkheim dan belakangan juga Freud, mengemukakan landasan-landasan agama yang bersifat naluriah dan emosional.
Meskipun perasaan dan emosional merupakan aspek-aspek tingkah laku keagamaan, namun agama itu sendiri tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang semata-mata didorong kelahirannya oleh kegembiraan kelompok khalayak ramai (seperti sering disebut-sebut oleh Durkheim) atau, seperti dikatakan oleh Freud, sebagai akibat dari dorongan nafsu seksual yang mendapatkan saluran. Diantara binatang-binatang hanya manusia lah yang mampu menciptakan bahasa simbolik dan pemikiran abstrak. Dia tidak hanya berbuat dan bereaksi, tetapi juga mengembangkan dan menanggapi perbuatan.
Karena itu, sebagaimana pernah diamati oleh Walt Whittman, manusia adalah satu-satunya (makhluk) yang memikirkan alam. Whittman mempunyai persepsi, sebagai penyair, bahwa kebutuhan manusia mencapai keserasian dengan kecemasannya, ada kalanya terikat dengan kesadaran beragamanya yang mendalam.
Agama sebagai realitas pengalaman manusia dapat diamati dalam aktivitas kehidupan umat (komunitas umat beragama), dan emosi keagamaan. Hal ini berarti, aktivitas keagamaan muncul dari adanya pengalaman keagamaan manusia.
Pengalaman keagamaan atau pengalaman beragama baik individu atau masyarakat, menurut Joachin Wach (1958), dapat diamati melalui tiga bentuk ekspresinya, yaitu:
  1. Ekspresi Teoritis (thought) atau ekspresi pemikiran, yang meliputi sistem kepercayaan, mitologi, dan dogma-dogma
  2. Ekspresi Praktis, yaitu meliputi sistem peribadatan ritual maupun pelayanan.
  3. Ekspresi dalam persekutuan, yang meliputi pengelompokan dan interaksi sosial umat beragama.
  4. Ekspresi teoritis suatu agama, dimaksudkan untuk mengungkapkan isi kepercayaan dan pengalaman mengenai kepercayaan itu yang dirumuskan dalam ajaran (doktrin) agama tertentu.
  5. Ekspresi praktis dari suatu pengalaman keagamaan adalah mengenai segala bentuk peribadatan yang didasarkan maupun dilaksanakan oleh pemeluk agama. Peribadatan itu sendiri mempunyai dua macam bentuk. Pertama, ibadah khusus, dan kedua, ibadah dalam arti umum atau yang menyangkut dengan pelayanan sosial. Bentuk ibadah yang pertama adalah ibadah tertentu dan telah ditentukan secara ketat dalam ajaran agama. Baik bentuk, waktu, maupun tempatnya, sedangkan bentuk ibadah yang kedua, merupakan bentuk kegiatan umum yang bernuansa keagamaan, mengandung nilai keagamaan, tetapi tidak ditentukan secara ketat dan eksplisit dalam ajaran atau doktrin agamanya yang berkenaan dengan waktu, bentuk, tempat dan tata caranya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Dewi S. Baharta, Kamus Bahasa Indonesia, (Bintang Terang, Surabaya, 1995). Dadang Kahmad. M. Si., Sosiologi Agama, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002). Harun Nasution, Islam; Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Penerbit UI, Jakarta, 1979). Ahmad Norman P.(ed)., Metodologi Studi Agama, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000). D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, (Kanisius, Yogyakarta, 1998). Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993). Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar