Skip to main content

Macam-macam Mahar menurut Ulama Fikih

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 28, 2012

Mahar merupakan harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak si istri dan sunnah disebutkan ketika akad nikah berlangsung. Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
Mahar Musamma
Yaitu maskawin yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya. Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
  1. Telah bercampur (bersenggama).
  2. Apabila salah satu dari suami istri meninggal.
Kemudian dalam hal khalwat atau bersenang-senang dengan buka-bukaan dan belum terjadi persetubuhan, maka tidak wajib membayar maskawin seluruhnya. Dan dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih.
Abu Hanifah mengatakan bahwa apabila suami istri sudah tinggal menyendiri, maka ia wajib membayar mahar yang telah dijanjikan. Artinya jika suami istri berada di suatu tempat yang aman dari penglihatan siapapun dan tidak ada halangan hukum untuk bercampur, contoh salah seorang berpuasa wajib atau istri sedang haid, atau karena ada halangan emosi seperti salah seorang menderita sakit, sehingga tidak bisa melakukan persenggamaan yang wajar, atau karena ada halangan yang bersifat alamiah, seperti ada orang ketiga di samping mereka.
Akan tetapi, Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Abu Dawud, berpendapat bahwa dengan penutupan tabir hanya mewajibkan separuh maskawin, selama tidak terjadi persetubuhan. Demikian juga pendapat Suraih Juga Said bin Mansur, Abdur Razak juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa, tidak wajib membayar maskawin seluruhnya sebelum terjadi persetubuhan.
Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara keputusan para sahabat berkenaan dengan masalah tersebut dengan turunnya ayat al-Quran dimana terhadap istri yang telah dinikahi dan digauli, yang menegaskan bahwa maskawinnya tidak boleh diambil kembali sedikitpun,
Mahar Mitsil (Sepadan)
Mahar Mitsil yaitu maskawin yang tidak disebut besar kecilnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, maskawin itu mengikuti maskawin saudara perempuan pengantin wanita, apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia (adik, kakak dari perempuan itu, bibi, bude, anak perempuan bibi/bude).
Mahar mitsil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut:
  1. Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
  2. Jika mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Maskawin atau mahar merupakan satu hak yang ditentukan oleh syariah untuk wanita sebagai ungkapan hasrat laki-laki pada calon istrinya, dan juga sebagai tanda cinta kasih serta ikatan tali kesuciannya. Maka maskawin merupakan keharusan tidak boleh diabaikan oleh laki-laki untuk menghargai pinangannya dan simbol untuk menghormatinya serta membahagiakannya.
Pada umumnya maskawin itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari'at Islam memungkinkan maskawin itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Maskawin dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Quran dan demikian pula dalam hadis Nabi.
Baik al-Quran maupun hadis Nabi tidak memberikan petunjuk yang pasti dan spesifik bila yang dijadikan maskawin itu adalah uang. Namun dalam ayat al-Quran ditemukan isyarat yang dapat dipahami nilai maskawin itu cukup tinggi, seperti dalam firman Allah dalam surat an-Nisa' (4) ayat 20:
“Jika kamu menginginkan menukar istri dan kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka sebesar qinthar maka janganlah kamu ambil daripadanya sedikit pun; apakah kamu mau mengambil secara kebohongan dan dosa yang nyata. (Q.s. an-Nisa': 20).”
Kata qinthar dalam ayat tersebut bernilai tinggi. Ada yang mengatakan 1200 uqiyah emas dan ada pula yang mengatakan 70.000 mitsqal. Namun ditemukan pula ayat al-Quran yang dapat dipahami daripadanya bahwa nilai maskawin itu tidak seberapa. Umpamanya, pada surat al-Thalaq ayat 7:
“Hendaknya seseorang yang berkemampuan memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya; siapa yang telah ditentukan Allah rezekinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan rezeki yang diberikan Allah itu. Allah tidak membebani seseorang kecuali sebanyak yang diberikan Allah. Allah akan menjadikan kelapangan di balik kesusahan. (Q.S. al-Thalaq: 7).”
Abu Salamah berkata: saya bertanya kepada Aisyah istri Nabi tentang berapa maskawin yang diberikan Nabi kepada istrinya. Aisyah berkata: "Maskawin Nabi untuk istrinya sebanyak 12 uqiyah dan satu nasy, tahukah kamu berapa satu nasy itu" saya jawab: Tidak". Aisyah berkata: "nasy itu adalah setengah uqiyah. Jadinya sebanyak 500 dirham. Inilah banyaknya maskawin Nabi untuk istrinya".
Angka tersebut cukup besar nilainya, karena nisab zakat untuk perak hanya senilai 200 dirham. Meskipun demikian, ditemukan pula hadis Nabi yang maskawin hanya sepasang sandal, sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi dari Abd Allah bin 'Amir menurut riwayat al-Tirmizi yang bunyinya: "Nabi Saw membolehkan menikahi perempuan dengan maskawin sepasang sandal.
Dengan tidak adanya penunjuk yang pasti tentang maskawin, ulama memperbincangkannya, mereka sepakat menetapkan bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah maskawin.
Batas minimal mahar terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Ulama Hanafiyah menetapkan batas minimal maskawin sebanyak 10 dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karenanya diwajibkan maskawin mitsl, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan had terhadap pencurinya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal maskawin adalah 3 dirham perak atau seperempat dinar emas. Dalil bagi mereka juga adalah bandingan dari batas minimal harta yang dicuri yang mewajibkan had. Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah tidak memberi batas minimal dengan arti apa pun yang bernilai dapat dijadikan maskawin.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Mohammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau dengan Hamdalah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006). Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa tentang Nikah, Terj. Abu Fahmi Huaidi dan Syamsuri An-Naba, Surabaya: Islam Rahmatan Putra Azam, t.th). Zakiah Daradjat, et .al, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1994). Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: PT.Hidaya Karya, 1993).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar