Skip to main content

Definisi Hermeneutika

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 28, 2012

Secara bahasa, akar kata Hermeneutika merujuk pada bahasa para filosuf kuno, Yunani: hermeneuein (menafsirkan, menginterpretasikan, menerjemahkan) dan hermeneia (penafsiran atau interpretasi). Hermeneuein memposisikan diri sebagai kata kerja, sementara hermeneia merepresentasikan diri sebagai kata benda.
Istilah hermeneueine dan hermeneia dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan masa Yunanai Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang didalamnya terdapat risalah terkenal pada bab logika proposisi yang bertajuk Peri Hermeneias (tentang penafsiran). Hermeneutika secara umum memposisikan diri secara definitif sebagai suatu teori dan/atau filsafat tentang interpretasi makna.
Hermeneutika juga digunakan dengan bentuk nominal dalam Epos Oedipus at Colonus, juga terdapat dalam karya Plato yang (dalam bahasanya) menyebut para penyair kala itu dengan sebutan hermenes (penafsir) para Tuhan. Kemudian, varian pemahamannya saat itu berkembang pesat oleh ‘sentuhan pena’ para penulis kuno terkenal seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus yang mencurahkan nuansa makna hermeneutika pada signifikansi modern, khususnya pada sastra dan interpretasi kitab suci (baca: bibel).
Masih dalam kerangka pemahaman bahasa, istilah Hermenutika seringkali diasosiasikan dengan kata Hermez, yang bermakna Tuhan orang-orang Yunani, dimana (dimaknai) sebagai utusan Tuhan Perbatasan. Tepatnya, Hermez diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Di sinilah terjadi mediasi di mana pemahaman manusia awalnya tak dapat ditangkap lewat intelegensia, kemudian menjadi (sesuatu yang) dipahami.
Dari kerangka tersebut, kemudian muncul pemahaman bahwa kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes merupakan sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari (mengungkap, menyingkap) makna, rasional dan dapat diuji, dalam hal ini kita akan menemukan prinsip hermeneutika sebagai sebuah metode yang erat terkait dengan bahasa.
Sampai di sini, Richard E. Palmer menjelaskan bahwa bahasa merupakan mediasi yang paling sempurna dalam proses (interpretasi). Mediasi dan proses membawa pesan agar dipahami yang diasosiasikan dengan Hermez ini terkandung di dalam semua tiga bentuk makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuein, yaitu: (1). Mengungkapkan (to exprees, untuk mengekspresikan) kata-kata, misalnya, “to say”; (2). Menjelaskan, (to explain) seperti menjelaskan sebuah situasi; (3). Menerjemahkan (to translate), seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja inggris “to interpret”, namun masing-masing ketiga makna itu membetuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu kepada tiga persoalan yang berbeda: pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan transliterasi dari bahasa lain.
Hanya saja kita bisa mencatat bahwa secara prinsip proses Hermez sedang berfungsi dalam ketiga persoalan itu, sesuatu yang asing, ganjil, waktu yang berbeda, tempat atau pengalaman nyata, hadir, komprehensif; sesuatu yang memerlukan representasi, eksplanasi, transliterasi yang bagaimanapun juga mengarah pada pemahaman yang diinterpretasi.
Dalam bahasa Zygmunt Baumann, dijelaskan bahwa hermeneutika menjadi upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca. Atau dalam pemahaman lain, fungsi hermeneutika adalah untuk membawa sesuatu yang asing (unfamiliar), jauh (distant), dan tidak jelas maknanya (obscure in meaning), menjadi nyata, dekat dan jelas maknanya (intelligible).
Dalam literatur hermeneutika modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan yang rasional, dan penerjemahan bahasa sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya lebih dekat dengan pengertian exegesis daripada hermeneutika. Hal ini karena eksegesis berkaitan dengan kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang perbincangan tentang teori penafsiran atau filsafat penafsiran yang lazim dipahami dalam terminologi hermeneutika. Jika eksegesis merupakan komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan ber-exegesis.
Hermeneutika mempunyai kedekatan terminologi dengan eksegetis, hermeneutika pula pada umumnya dapat juga didefinisikan sebagai disiplin yang berkenanaan dengan teori tentang penafsiran. Istilah teori di sini tidak dapat semata-mata diartikan sebagai Kuntslehre, sebuah istilah yang digunakan Schleiermacher untuk menunjukkan suatu eksposisi metodologis tentang aturan-aturan yang membimbing penafsiran teks-teks. Akan tetapi, istilah teori juga merujuk kepada filsafat dalam pengertian yang lebih luas karena tercakup di dalamnya tugas-tugas menganalisis segala fenomena dasariah dalam proses penafsiran atau pemahaman manusia. Jika yang pertama lebih bersifat teknis dan normatif, maka yang terakhir ini meletakkan hermeneutika secara lebih filosofis, kalau bukan menganggapnya filsafat itu sendiri.
Jika hermeneutika dipahami dalam pengertian metode, maka ia berisikan perbincangan teoritis tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran, menyangkut hal-hal apa yang dibutuhkan atau prosedur bagaimana yang harus dipenuhi untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Oleh karena itu, hermeneutika dalam pengertian ini mengandaikan adanya kebenaran di balik teks dan untuk menyingkap kebenaran tersebut, dibutuhkan metode-metode penafsiran yang relatif memadai.
Sementara itu, hermeneutka dalam pengertian filsafat pertama-tama bukan berurusan dengan tetek-bengek kebenaran sebuah penafsiran dan cara-cara memperoleh kebenaran tersebut. Ia lebih kompeten memperbincangkan hakikat penafsiran: bagaimana suatu kebenaran bisa muncul sebagai suatu kebenaran, atau atas dasar apa sebuah penafsiran dapat dikatakan benar. Hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan bagaimana hasil pemahaman tersebut diajukan, dibenarkan, dan bahkan disanggah. Gadamer dalam bahasa yang lebih tegas mendeklarasikan bahwa hermeneutika bertugas merefleksikan segala cara manusia memahami dunia dan bentuk-bentuk ungkapan pemahaman tersebut.
Disimpulkan secara tentative, bahwa hermeneutika adalah disiplin yang relatif luas mengenai teori penafsiran. Ia mencakup metode penafsiran dan filsafat penafsiran sekaligus. Bahkan sebelum berkembang sebagai suatu disiplin yang mandiri sebagaimana akan dipaparkan di bagian berikut ini, ia disebut-sebut sebagai seni memahami atau teknik praktik penafsiran.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermenutics as Method, Philosophy, and Critique, (London, Boston, and Henley: Routledhe & Kegan Paul, 1980). Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermenutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, (Yogyakarta: IRCISOD, 2003). Abd. Salam Arief dalam Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Realita, Kajian Pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut, (Yogyakarta: Lesfi, 2003). Richard E. Palmer, Hermeneutics: interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthy, Heidegger, and Gadamer, terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). E. Sumaryono, Hermeneutika: sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995). Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ, Press, 2005). Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, (Jakarta: Teraju, 2002). Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an; Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar