Skip to main content

Pengertian Hermeneutika

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 14, 2012

Hermeneutika secara umum memposisikan diri secara definitif sebagai suatu teori dan atau filsafat tentang interpretasi makna. Posisi ini menjadi begitu urgen ketika ada kebutuhan untuk menempatkan teks (al-Quran) sebagai kitab suci yang mengandung banyak makna dan maksud dari penciptanya.
Secara bahasa, akar kata Hermeneutika merujuk pada bahasa para filosuf kuno, Yunani: hermeneuein (menafsirkan, menginterpretasikan, menerjemahkan) dan hermeneia (penafsiran atau interpretasi). Hermeneuein memposisikan diri sebagai kata kerja, sementara hermeneia merepresentasikan diri sebagai kata benda.
Istilah hermeneueine dan hermeneia dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan masa Yunanai Kuno, seperti “Organon” karya Aristoteles yang didalamnya terdapat risalah terkenal pada bab logika proposisi yang bertajuk “Peri Hermeneias” (tentang penafsiran). Ia juga digunakan dengan bentuk nominal dalam epos Oedipus at Colonus. Kemudian, varian ini berkembang pesat oleh Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus yang mencurahkan nuansa makna hermeneutika pada signifikansi modern, khususnya pada sastra dan interpretasi kitab suci (baca: bibel).
Masih dalam kerangka pemahaman bahasa, istilah Hermenutika seringkali diasosiasikan dengan kata Hermez, yang bermakna Tuhan orang-orang Yunani, dimana (dimaknai) sebagai utusan “Tuhan Perbatasan”. Tepatnya, Hermez diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Di sinilah terjadi mediasi di mana pemahaman manusia awalnya tak dapat ditangkap lewat intelegensia, kemudian menjadi (sesuatu yang) dipahami.
Sehingga, para sarjana ilmu-ilmu al-Quran memahami kata tersebut (baca: hermez) mempunyai tiga gradasi (tingkatan) prinsip interpretasi, yang dapat menunjukkan variabel kegiatan manusia dalam proses pemahaman, yakni: (1). Matan atau teks atau tanda (sign), yakni pesan yang muncul dari sumbernya, yang diasosiasikan sebagai pesan/teks yang di bawa oleh Hermez; (2). Perantara, yakni penafsir (hermez), dan (3). Perpindahan pesan ke pendengar (lawan bicara).
Dari ketiga gradasi prinsip tersebut di atas, kita akan bisa meraba, bahwa proses sirkulasi tafsir akan segera dilakukan tatkala telah lengkap perangkatnya: teks (sign) selaku sumber hukum dari Tuhan, kemudian si-penafsir sebagai pembaca teks, dan pendengarnya sebagai proses pemindahan pesan dari Tuhan, pembaca hingga audiens teks tersebut turun (hadir). Dari sini, diketahui bahwa hermeneutika seringkali digunakan untuk mengembangkan kaidah-kaidah umum penafsiran sehingga dengan bantuan metode penafsiran yang benar, dapat menghindarkan diri dari distorsi makna.
Dari kerangka tersebut, kemudian muncul pemahaman bahwa kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes merupakan sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencari (mengungkap, menyingkap) makna, rasional dan dapat diuji, dalam hal ini kita akan menemukan prinsip hermeneutika sebagai sebuah metode yang erat terkait dengan bahasa.
Dalam berbagai literatur hermeneutika modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan yang rasional, dan penerjemahan bahasa sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya lebih dekat dengan pengertian exegesis daripada hermeneutika. Hal ini karena eksegesis berkaitan dengan kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang perbincangan tentang teori penafsiran atau filsafat penafsiran yang lazim dipahami dalam terminologi hermeneutika. Jika eksegesis merupakan komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan ber-exegesis.
Hermeneutika mempunyai kedekatan terminologi dengan eksegetis, hermeneutika pula pada umumnya dapat juga didefinisikan sebagai disiplin yang berkenanaan dengan “teori tentang penafsiran”. Istilah teori di sini tidak dapat semata-mata diartikan sebagai Kuntslehre, sebuah istilah yang digunakan Schleiermacher untuk menunjukkan suatu eksposisi metodologis tentang aturan-aturan yang membimbing penafsiran teks-teks. Akan tetapi, istilah teori juga merujuk kepada “filsafat” dalam pengertian yang lebih luas karena tercakup di dalamnya tugas-tugas menganalisis segala fenomena dasariah dalam proses penafsiran atau pemahaman manusia. Jika yang pertama lebih bersifat teknis dan normatif, maka yang terakhir ini meletakkan hermeneutika secara lebih filosofis, kalau bukan menganggapnya filsafat itu sendiri.
Jika hermeneutika dipahami dalam pengertian metode, maka ia berisikan perbincangan teoritis tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran, menyangkut hal-hal apa yang dibutuhkan atau prosedur bagaimana yang harus dipenuhi untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Oleh karena itu, hermeneutika dalam pengertian ini mengandaikan adanya kebenaran di balik teks dan untuk menyingkap kebenaran tersebut, dibutuhkan metode-metode penafsiran yang relatif memadai.
Sementara itu, hermeneutka dalam pengertian filsafat, bukan berurusan dengan tetek-bengek kebenaran sebuah penafsiran dan cara memperoleh kebenaran tersebut. Ia lebih kompeten memperbincangkan hakikat penafsiran: bagaimana suatu kebenaran bisa muncul sebagai suatu kebenaran, atau atas dasar apa sebuah penafsiran dapat dikatakan benar.
Penulis menyimpulkan secara tentatif, bahwa hermeneutika adalah disiplin yang relatif luas mengenai teori penafsiran. Ia mencakup metode penafsiran dan filsafat penafsiran sekaligus. Bahkan sebelum berkembang sebagai suatu disiplin yang mandiri, dan hermeneutika disebut juga sebagai seni memahami atau teknik praktik penafsiran.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermenutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, (Yogyakarta: IRCISOD, 2003). Abd. Salam Arief dalam Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Realita, Kajian Pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut, (Yogyakarta: Lesfi, 2003). Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002). Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Quran; Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005). Farid Esack, Quran liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, (London: One World Oxford, 1997, terj. Edisi Indonesia, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, (Bandung: Mizan, 2000).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar