Skip to main content

Kualifikasi Mahar

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 13, 2012

Kualifikasi mahar adalah apa saja yang boleh dijadikan mahar serta syarat-syaratnya. Persoalan mahar bukanlah persoalan jual beli atau tawar menawar. Karena yang demikian, mahar akan sangat merendahkan martabat seorang gadis sebagai manusia, bila ia harus ditimbang dengan nilai uang.
Dalam kualifikasi mahar, sesuatu yang dapat dijadikan mahar secara umum ada 2 macam :
Mahar dalam bentuk benda kongkrit
Mahar diisyaratkan harus diketahui secara jelas dan detail jenis dan kadar yang akan diberikan kepada calon istrinya.
Terkadang terdapat dua bentuk macam mahar yang sering terjadi dikalangan masyarakat yang pada hakikatnya adalah satu, yaitu mahar yang hanya sekedar simbolik dan formalitas biasanya diwujudkan dalam bentuk kitab suci al-Quran, sajadah, dan lain-lain yang kerap kali disebut sebagai satu perangkat alat shalat.
Sedangkan mahar terselubung ialah yang lazim disebut dengan istilah “hantaran” atau “tukon” (dalam bahasa jawa) yaitu berupa uang atau barang yang nilainya disetujui oleh keluarga mempelai putri atau calon istri. Mahar dalam bentuk “terselubung” seperti ini biasanya tidak disebutkan dalam akad nikah.
Para ahli fikih mengatakan bahwa mahar boleh saja berupa benda atau manfaat. Adapun benda itu sendiri terdapat dua kategori, yaitu :
  1. Semua benda yang boleh dimiliki seperti dirham, dinar, barang dagangan, hewan dan lain-lain. Semua benda tersebut sah dijadikan mahar dalam pernikahan. Benda-benda yang tidak boleh dimiliki seperti khamar, babi, dan lain-lain.
  2. Benda-benda yang tidak boleh dimiliki disebabkan karena ia tidak suci seperti benda-benda tersebut diatas atau kurang bermanfaat seperti sebiji padi, setetes minyak dan semisalnya. Barang-barang yang tidak bermanfaat seperti itu tidak boleh dijadikan mahar dalam pernikahan, karena dianggap tidak sah dijadikan imbalan dalam jual beli, sebab ia tidak bisa disebut sebagai harta.
  3. Demikian juga benda-benda yang tidak sah dimiliki karena ada hak orang lain atau benda yang ditemukan dijalan. Semua itu tidak sah dijadikan mahar dalam pernikahan.
Mahar dalam bentuk manfaat atau jasa
Mahar tidak senantiasa berupa uang atau barang. Dikalangan santri, pernah terjadi pernikahan dengan maskawin berupa kesanggupan calon suami untuk memberi pelajaran terhadap calon istrinya membaca kitab suci al-Quran sampai tamat, dikalangan para santri lebih dikenal dengan istilah khatam al-Quran.
Syarat-syarat dan manfaat yang boleh dijadikan mahar menurut para ahli fikih beragam, antara lain: menurut ulama Syafi’iyah, manfaat yang dimaksud adalah sesuatu yang dijadikan mahar tersebut mempunyai nilai dan bisa diserahterimakan baik secara konkrit maupun syariat. Ulama Syafi’iyah menganggap tidak sah bagi orang yang mengajarkan satu kata atau satu ayat pendek yang mudah, apalagi diajarkan kepada orang kafir zimmi bukan dengan tujuan masuk Islam.
Berbeda lagi dengan ulama Hanabilah, mereka berpendapat bahwa manfaat yang dimaksud dalam mahar ini adalah semua manfaat yang diketahui secara pasti serta dapat diambil manfaatnya, karena manfaat disini dianggap sebagai imbalan dalam akad tukar menukar.
Sedangkan Malikiyah memberikan syarat bahwa, mahar berupa manfaat tersebut harus diketahui dan dari benda yang baik. Dalam hal ini, ulama Malikiyah terbagi menjadi 3 pendapat yang berbeda, yaitu :
  1. Menurut pendapat ibnu Qasim tidak boleh.
  2. Imam Malik sendiri mengatakan boleh tapi makruh.
  3. Ashbagh dan Suhnun mereka berpendapat bahwa mahar manfaat itu boleh tapi makruh.
Ulama yang keempat adalah ulama Hanafiyah, ulama yang berpendapat bahwa manfaat yang akan dijadikan mahar harus manfaat yang dapat diukur dengan harta, seperti mengendarai kendaraan, menempati rumah atau menanam sawah dalam waktu tertentu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
M. Jawad Mughniyah, Fiqh 5 Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2002). M. Labib al-Buhiy, Hidup Berkembang secara Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1983). Nur Jannah, Mahar Pernikahan, (Yogyakarta: Primashopi Press, 2003). Adat dan Upacara Pekawinan Daerah Jawa Tengah, (Depdikbud, 1997). Abu Ishaq al-Syairazi, al-Muhazzab fi Fiqh al-Iman al-Syafi’i, II (Beirut: Dar al-Fikr, t.t). Ibn Qudamah, al-Mughniy, XII (Mesir: Dar al-Fikr, t.t). I bn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Semarang: Asy-Syifa, 1990).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar