Skip to main content

Konsep Inferiority Complex

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 16, 2012

Konsep inferiority complex merupakan pokok atau konstruk utama dari teori Psikologi Individual Alferd Adler, yang menjelas tentang perilaku manusia dipandang sebagai suatu kompensasi terhadap perasaan inferioritas (harga diri kurang). Perasaan lemah dan tak berdaya timbul dan berkembang karena pengalaman hidup anak bersama orang dewasa atau pandangan kekurangan dalam organ tubuh.
Adler mengunakan istilah inferiority complex untuk mengambarkan keadaan perasaan harga diri kurang yang senantiasa mendorong individu untuk kompensasi mencapai keunggulan perilaku yang merupakan suatu upaya untuk kompensasi mencapai keunggulan perilaku yang merupakan suatu upaya untuk mencapai keseimbangan.
Adler mengembangkan konsep inferiority complex terinspirasi dari kisah tokoh bersejarah di Amerika serta dari pengalaman hidupnya. Tokoh tersebut adalah Theodore Roosevelt, dia lahir dan dianggap sebagai anak istimewa karena tidak terlalu membutuhkan pertolongan orang lain untuk masuk ke dunia yang baru. Tapi “Teedie”nama kesayangannya, tidak terlalu sehat pada awalnya. Dia mengidap penyakit asma, yang mudah terserang flu, sering batuk dan sesak nafas serta sering sakit-sakitan. Tubuh kecil dan kurus serta suaranya yang lemah tetap sampai dewasa. Karena kondisinya yang seperti itu, terpaksa dia sering berbaring diranjang daripada bermain di luar rumah. Tidak jarang dia mengalami koma karena kehabisan oksigen.
Bagaimana bisa orang yang sakit-sakitan berubah menjadi sosok yang sehat, segar bugar dan sukses? Kenapa sebagian anak, sehat atau tidak, bisa berhasil sementara sebagaian lainnya gagal? Apakah keinginan dan semangatlah yang membuat Roosevelt istimewa, atau ada hal lain yang tersembunyi di dalam diri kita masing-masing?. Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang mengugah perhatian seorang fisikawan Wina yaitu Alfred Adler dan kemudian mendorong dia mengembangkan teorinya yang disebut konsep inferiority complex.
Seorang individu dengan perasaan rendah diri yang kuat akan tampak patuh, tenang, dapat dikendalikan, jenis orang tidak membuat marah. Sifat inferior dapat dinyatakan dalam ribuan cara. Untuk mengambarkan hal tersebut ada suatu anekdot, tentang tiga orang anak yang diajak ke kebun binatang untuk pertama kalinya. Ketika mereka berdiri di hadapan kandang singa, salah satu dari mereka bersembunyi di belakang rok ibunya dan berkata, “aku ingin pulang”. Anak yang kedua berdiri ditempatnya, dia terlihat menggigil dan sangat pucat, dan berkata, “Aku sama sekali tidak takut.” Sedangkan yang ketiga membelalakkan mata pada singa dengan ganas dan bertanya pada ibunya, “Haruskah aku meludahinya?” Ketiga anak-anak tersebut benar-benar merasa inferior, tetapi sesuai dengan gaya hidupnya.
Sifat inferior secara umum ada beberapa tingkatan yang ada pada diri kita, sejak kita menemukan diri kita di dalam posisi yang mana kita harapkan untuk meningkat. Jika kita menjaga keberanian kita akan mulai membersihkan diri dari perasaan ini secara langsung, memuaskan dan realistis dengan meningkatkan situasi. Tidak ada manusia yang dapat membawa perasaan inferior untuk waktu yang lama. Perasaan inferior muncul karena suatu masalah dimana tidak beradaptasi dengan baik, dan mengekspresikan pendirian-pendiriannya dimana dia tidak mampu untuk mengatasi masalah tersebut.
Anak yang penakut akan menjadi anak yang cengeng. Air mata dan keluhan adalah kekuatan air yang dapat menjadi senjata yang ekstrim untuk mengganggu kerjasama dan mengurangi yang lain kedalam kondisi perbudakan. Orang seperti tersebut, seperti mereka yang menderita penyakit perasaan malu, kebingungan dan merasa rasa bersalah, kita akan menemukan perasaan inferior di permukaannya.
Adler juga mengemukakan bentuk inferioritas yang lebih umum, yakni inferioritas anak-anak. Secara alamiah, anak-anak adalah makhluk kecil, lemah, tidak memiliki kemampuan sosial dan intelektual, jika dibandingkan dengan orang-orang dewasa yang ada di sekitar mereka. Adler mengatakan bahwa kalau diperhatikan permainan anak-anak dan fantasi-fantasi mereka, akan terlihat kesamaan yang mereka miliki, yaitu keinginan untuk cepat tumbuh besar, pendek kata untuk jadi orang dewasa. Kompensasi seperti ini sangat mirip dengan dorongan mencapai kesempurnaan. Sebagian besar anak-anak selalu hidup dengan perasaan bahwa orang lain selalu lebih baik dari mereka.
Menurut Adler, ada tiga macam situasi masa kanak-kanak yang sangat berpengaruh dalam membentuk gaya hidup untuk masa selanjutnya. Situasi pertama adalah inferioritas organ, termasuk penyakit-penyakit yang diidapnya semasa anak-anak. Inilah yang Adler sebut dengan kepala batu. Jika seseorang tidak pernah punya perhatian kepada orang lain, mereka akan tetap suntuk dengan dirinya sendiri. Orang-orang seperti ini bisanya akan menghabiskan sisa hidupnya dengan perasaan inferioritas yang begitu kuat, sementara hanya sebagian kecil yang akan mengatasinya dengan cara mengambil sikap kompleks superioritas. Hanya dengan bantuan dan dorongan dari orang yang benar-benar mencintai, sehingga sebagian dari mereka bisa menutupi kekurangan ini.
Adler telah menaruh perhatian terhadap fungsi-fungsi jasmani yang kurang sempurna, hal ini dirumuskan dalam Organ Minderwertigheit und ihre psychische Kompensationen. Mula-mula dia menyelidi tentang kenapakah apabila orang sakit itu menderita di daerah-daerah tertentu pada tubuhnya, misalnya orang menderita sakit jantung, ada yang sakit paru-paru dan ada yang sakit pungung dan sebagainya. Jawab Adler adalah pada daerah-daerah tersebut terdapat kekurangan kesempurnaan atau minderwertigheit (inferiority), baik karena dasar maupun karena kelainan dalam perkembangan. Selanjutnya dia menemukan bahwa orang yang mempunyai organ yang kurang baik itu berusaha mengkompensasikannya dengan jalan memperkuat organ tersebut dengan latihan­latihan yang intensif.
Situasi kedua adalah kemanjaan. Banyak anak-anak yang diajari bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak ada orang lain. Keadaan ini kelihatannya tidak bermasalah, sampai Anda menyadari bahwa anak yang terlalu dimanja memiliki dua kelemahan; pertama, mereka tidak akan belajar berbuat untuk dirinya sendiri dan akhirnya akan merasa inferior; kedua, mereka tidak akan belajar berhubungan dengan orang lain kalau bukan dalam konteks perintah dan aba-aba. Masyarakat hanya punya satu cara menghadapi orang-orang yang manja yaitu jengkel.
Situasi ketiga adalah ketersingkiran. Seorang anak yang merasa dipinggirkan atau kehadirannya tidak diinginkan sama mempelajari apa yang dipelajari oleh anak manja, tapi dengan cara berbeda. Mereka akan belajar bersikap inferior karena setiap hari selalu diperlakukan seolah-olah mereka punya arti apa-apa. Mereka akan belajar mementingkan diri sendiri karena mereka dididik untuk tidak percaya pada siapa pun.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Bakran, Hamdani. Konseling Dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002). Bastaman Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami (2001). Boeree, C.George. Personality Theorie “Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikologi Dunia”, (Yogyakarta: Prismasophie. Bungin2004), Burhan,ed. Corey, Gerald. Teori dan Praktek Konseling dan Psikologi, (Bandung: PT. Refika Aditama 1999). Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang. Pusat Penerbitan Universitas Islam Indonesia (UII Press) 1984).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar