Skip to main content

Insan Kamil menurut Murtadha Muthahhari

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 03, 2012

Kamal atau kamil digunakan untuk sesuatu yang utuh dan rampung, dalam tingkat atau derajat yang lebih tinggi, bahkan dari yang tinggi ini ada yang lebih tinggi lagi dan seterusnya. Kamal atau kamil adalah sifat bagi sesuatu secara vertikal, sedangkan taam adalah sifat bagi sesuatu secara horisontal. Ketika sesuatu telah sampai pada batas akhirnya atau selesai secara horisontal, maka dapat dikatakan telah menjadi ta’am, dan ketika sesuatu itu bergerak secara vertikal, maka ia telah memperoleh kamil.
Insan Kamil secara umum, adalah manusia ta’am yang mulai melangkah secara vertikal, sehingga menjadi kamil, lebih kamil lagi dan seterusnya hingga pada batas akhir kesempurnaan ketika tak seorangpun dapat menjangkau kedudukannya. Manusia yang telah mencapai tingkat itu adalah manusia yang paling sempurna.
Insan Kamil menurut Murtadha Muthahhari adalah manusia teladan atau manusia ideal. Manusia seperti halnya makhluk-makhluk yang lain, ada yang sempurna, ada yang tidak, ada yang sakit, yang sehat, cacat dan ada juga yang utuh. Manusia sehat sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu manusia sehat yang kamil dan manusia sehat yang tidak kamil.
Dalam pandangan Islam, mengenal dan mengkaji atau membicarakan Insan Kamil atau manusia teladan itu adalah wajib hukumnya, karena merupakan contoh, dan standar dan model bagi setiap muslim. Keterangan lebih lanjut diungkapkan oleh Murtadha Muthahhari bahwa jika hendak menjadi seorang sempurna dan ingin mencapai kesempurnaan, maka terlebih dahulu kita harus mengenal manusia sempurna itu, bagaimana jiwa dan mentalnya, apa ciri-cirinya.
Dalam perspektif Murtadha Muthahhari, manusia sempurna itu adalah manusia teladan, unggul, luhur pada semua nilai-nilai insani dan selalu menang di medan-medan tempur kemanusiaan. Di samping itu manusia tersebut seluruh nilai insaninya berkembang secara seimbang dan stabil serta tidak satupun dari nilai-nilai yang berkembang itu tidak selaras dengan nilai-nilai yang lain. Dengan demikian menurut Murtadha Muthahhari manusia yang kamil memiliki jiwa dan mental yang sehat yaitu yang seluruh nilai insaninya berkembang secara seimbang dan stabil dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang lain.
Murtadha Muthahhari Muthahhari berpendapat bahwa manusia memiliki dua sisi nilai dalam dirinya, yakni pribadi dan kepribadian, atau badan dan ruh, atau fisik dan mental, dimana nilai yang satu berbeda dengan yang lainnya. Menurutnya sebagian orang yang menganggap bahwa roh, kepribadian atau mental manusia seratus persen mengikuti badan, fisik atau raganya, telah membuat suatu kesalahan yang besar.
Roh manusia bersifat independen, terpisah dari badan dan (sama sekali) tidak mengikuti badan secara mutlak. Demikian pula badan ia berdiri sendiri dan tidak mengikuti jiwa secara mutlak akan tetapi selalu satu sama lain saling mempengaruhi dan berinteraksi.
Menurut Murtadha Muthahhari, untuk bisa mencapai derajat Insan Kamil, manusia tersebut harus lebih dahulu mengenal pribadi-pribadi yang memiliki kategori Insan Kamil. Kategori Insan Kamil yaitu pertama, selalu menang dalam medan pertempuran kemanusiaan, artinya ia mampu mengendalikan nafsu yang ada pada dirinya. Kedua, nilai insaninya berkembang secra seimbang. Ketiga, nilai insaninya stabil dan tidak satupun dari nila-nilai yang berkembang itu tidak selaras dengan nilai-nilai yang lain. Oleh sebab itu, syarat menjadi Insan Kamil adalah dengan mengenal Insan Kamil itu sendiri.
Lebih lanjut Murtadha Muthahhari menyatakan bahwa untuk mengenal Insan Kamil ada dua cara, yaitu :
Pertama, dengan melihat bagaimana al-Quran dan Hadis menggambarkan manusia sempurna tersebut (walaupun al-Quran dan Hadis sendiri tidak menyebutkan istilah Insan Kamil, akan tetapi menggunakan istilah Muslim dan Mukmin. Dalam konteksnya dengan istilah Muslim dan Mukmin, bahwa kata Mukmin (jama’nya : Mukminun atau Mukminin) ialah orang yang beriman, yaitu orang yang menyatakan pengikraran terhadapa rukun iman dengan lisan yang bertolak dari qolbu yang mendorong pengamalan. Sedangkan kata Muslim (jama’nya : Muslimin atau Muslimun) ialah orang yang pasrah diri kepada ketentuan Allah dengan sepenuh pengabdian.
Kedua, mengenal Insan Kamil dengan cara mengenal langsung individu-individu yang meyakinkan bahwa mereka adalah orang-orang yang terbina sedemikian rupa sebagaimana yang diinginkan oleh al-Quran dan hadits. Mereka inilah wujud nyata dari Insan-Insan Kamil Islam, karena Insan Kamil menurut Islam bukan sekedar ide atau khayalan yang tidak akan pernah kita jumpai dan hanya merupakan hasil rekayasa. Insan Kamil memang benar-benar ada dan nyata, dalam tingkat yang rendah maupun dalam tingkat yaag lebih tinggi. Rasulullah saw sendiri adalah potret utuh Insan Kamil.
Menurut Murtadha Muthahhari, ciri Insan Kamil yaitu mampu menyeimbangkan dan menstabilkan serangkaian potensi insaninya. Kamal atau kesempurnaan manusia terletak pada kestabilan dan keseimbangan nilai-nilainya.
Untuk lebih dapat memahami masalah keseimbangan, lebih lanjut Murtadha Muthahhari memberikan gambaran dengan analog pasang surutnya air laut. Laut senantiasa dalam keadaan pasang-surut bergelombang dan selalu dinamis. Ruh manusia dan masyarakat manusia tak ubahnya seperti laut yang selalu bergelombang terkadang pasang dan terkadang surut. Demikian pula halnya dengan nilai-nilai insani. Manusia mempunyai suatu kecenderungan normal yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan dianjurkan oleh agama. Namun bisa jadi dia terjerat dan terjerumus jauh sekali ke dalam satu nilai saja dalam bentuk kecenderungan yang berlebihan. Akibatnya, ia lupa dan lalai terhadap nilai-nilai insaninya yang lain, sehingga keseimbangan nilai-nilai insaninya terganggu, seperti manusia yang hanya sebagian tubuhnya saja berkembang.
Keseimbangan antara nilai-nilai insaniyah dalam diri manusia menurut Murtadha Muthahhari sangat penting. Hal ini dikarenakan manusia dikatakan dapat meraih predikat Insan Kamil apabila ia mampu mengembangkan semua kualitas yang baik secara seimbang. Kualitas itu boleh jadi cinta kasih, intelek, keberanian, kejujuran atau kreativitas. Manusia yang hanya mengembangkan cinta saja dengan mengesampingkan intelek bukanlah Insan Kamil akan tetapi ia adalah sufi yang ekstrim. Manusia yan memuja akal secara berlebihan juga bukan Insan Kamil, ia merupakan filosof yang kering.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Murtadha Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Faham Materialisme, terj. Achsin Muhammad, (Jakarta: Risalah Massa, 1992). Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, terj.Abdillah Hamid Ba’abud, (Bangil: YAPI, 1995). Sayyid Muhammad Alwy al Maliky, Insan Kamil Sosok Keteladanan Muhammad SAW, terj.Hasan Baharun, (Surabaya: Bina Ilmu, 1999). Ahmad Muhammad al Hufy, Keteladanan Akhlaq Nabi Muhammad SAW, terj. Abdullah Zakiy al Kaaf (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000). Abi Husain Ibnu Hajaj Al Qushary An-Naisyabury, Shahih Muslim, (Beirut : Dar Al Fikr, t.th). Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terj.M Hashem, (Jakarta: Lentera,2003).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar