Skip to main content

Biografi Mulla Shadra (Shadr al-Din Shirazi)

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 03, 2012

Shadr al-Din Shirazi atau Mulla Shadra, adalah salah seorang filosof yang paling dihormati dalam Islam, khususnya di kalangan intelektual Muslim sekarang ini. Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ibrahim al-Qawami al-Shirazi, yang dikenal dengan Mulla Sadra.
Gelar kehormatannya Shadr al-Din (Ahli Agama), menunjukkan derajat tingginya di dalam lingkaran teologis tradisional, sementara sebutannya sebagai “Teladan” atau Otoritas Filosof­filosof Ilahi (Sadr al-Muta’allihin) menandakan posisi uniknya di mata generasi-generasi filosof yang datang setelahnya. Ia lahir di Shiraz, Persia Selatan, pada 979 H/1572 M, dari sebuah keluarga yang berada.
Ayah Mulla Shadra adalah menteri dalam istana Shafawiyyah, sekaligus seorang ulama. Shadr al-Din, menurut suatu riwayat, telah berhaji ke Makkah sebanyak enam kali, dan dalam perjalanan yang ketujuh pada 1050 H/1640 M. Ia meninggal dan di kuburkan di Basrah.
Masa Pendidikan Formal dilalui di Shiraz dan Isfahan. Shiraz adalah pusat filsafat Islam dan disiplin-disiplin tradisional lainnya. Posisi ini terus berlanjut sampai abad ke-10/ke-16, meskipun fungsinya tidak lagi sehebat sebelumnya. Di dalam tradisi pendidikan inilah Mulla Sadra memperoleh pendidikan awalnya.
Merasa tidak puas dengan apa yang diperolehnya di Shiraz, Mulla Shadra berangkat ke Isfahan. Ketika itu, Isfahan telah menjadi pusat intelektual yang penting di Persia, dan mungkin di belahan Timur dunia Islam secara keseluruhan.
Isfahan tidak mengecewakan bagi Mulla Shadra, karena di sini ia menjumpai beberapa orang mursyid yang memberikan pengaruh mendalam terhadap dirinya. Di sini ia belajar dan mendalami pengetahuan pada tokoh-tokoh terkemuka saat itu: Baha’ al-Din al-Amili (w. 1622 M), Mir Damad (w. 1631 M) dan Mir Abu al-Qasim Findirishi (w. 1641 M).
Al-Amili adalah seorang saintis, ahli hukum (fiqh), teolog, arsitek dan pujangga, sedangkan Mir Damad adalah seorang teolog, filosof dan mistikus di samping pujangga, mengajar filsafat Ibn Sina dengan interpretasi Isyraqiyyah (illum inatif). Karya yang merupakan master piecenya, Qabasat (Fire Brands) menjelaskan tentang pergumulan antara filsafat, teologi dan gnosis. Tokoh inilah yang mendirikan ajaran yang kemudian dikembangkan Mulla Sadra, yakni al-hikmah al-muta ’aliyah (Transcendent Theosophy). Sementara itu al-Findirishi adalah seorang guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis komentar tentang Hindu dan Yoga.
Di bawah bimbingan para mursyid tersebut, Mulla Sadra dengan cepat menjadi tokoh yang berwibawa dalam bidang ilmu keislaman dan kemudian mencari peringkat yang melebihi gurunya sendiri.
Setelah periode formal studinya, Mulla Sadra uzlah dari masyarakat dan kehidupan kota sekaligus. Ia memilih mengasingkan diri di desa kecil, Kahak, tidak jauh dari kota suci Qum. Periode ini menandai kesibukan Mulla Sadra yang kian meningkat dengan kehidupan kontemplatif dan juga merupakan tahun-tahun diletakkannya dasar-dasar bagi kebanyakan karya utamanya. Periode ini ditandai dengan periode panjang meditasi dan praktek spiritual yang menyertai dan melengkapi studi formalnya. Sehingga menyempurnakan program untuk melatih seorang filosof sejati menurut Suhrawardi. Selama periode inilah tercapai pengetahuan yang kemudian mengkristal dalam banyak karyanya.
Bagi Mulla Shadra, latihan rohani adalah satu keperluan asas dan penting bagi mereka yang bercita-cita untuk mencapai “rahasia Ilahi” dan menghirup udara suci ilmu hakikat yang dinamakan Hikmat Ilahi atau ilmu Ilahiyat (teosofi). Dengan sunyi menyendiri semua keperluan jiwa yang ingin bermujahadah akan dapat dicapai dan pertemuan dengan alam ruhani pada “diri batin yang tentram” adalah syarat awal bagi penghidupan spiritual yang sebenarnya.
Mulla Shadra menjalani kehidupan menyendiri ini dalam jangka waktu kira-kira tujuh tahun, tetapi ada sumber lain yang menyatakan sebelas tahun dan ada pula yang menyatakan lima belas tahun.
Alasan lain, dari kemunduran Mulla Sadra dari kehidupan ramai adalah didorong oleh kekecewaannya terhadap orang-orang sezamannya yang sudah kehilangan sifat-sifat terpuji, berperilaku tidak beradab, dan kehilangan sifat intelektual, juga kaum intelektual yang hanya terlihat secara lahiriah saja, namun senantiasa melakukan kejahatan dan keburukan. Demikian pula para mutakallimun telah keluar dari logika yang benar dan berada di luar kebenaran. Sedangkan para fuqaha telah kehilangan rasa penghambaan diri, menyimpang dari kepercayaan terhadap metafisika, bersifat taqlid dan menyangkal keberadaan darwisy.
Disamping itu pengunduran dirinya juga didorong oleh rasa ketidakpuasan terhadap kebenaran-kebenaran filosofis yang bersumber dari metode rasional, yang menurutnya bersifat dangkal dan tidak dapat mencapai kebenaran hakiki dan perasaan bersalah, karena dia begitu tergantung kepada kemampuan intelektualnya sendiri, bukan meng­hambakan diri kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dengan jiwa yang suci dan ikhlas.
Masa Mengajar dan Menulis berawal dari tawaran yang diberikan Gubernur Syiraz, Allahwirdi Khan, untuk memimpin madrasah yang baru dibangunnya di kota itu. Memenuhi panggilan itu, Mulla Sadra kembali ke kota kelahirannya untuk mendidik sejumlah murid. Perwatakan dan ilmunya menarik perhatian pelajar dari jauh dan dekat dan menjadikan Syiraz kembali sebagai sebuah kota pusat ilmu seperti dulu. Pusat Kajian Khan atau Madrasah Khan menjadi sangat masyhur hingga ia menarik perhatian pengembara luar. Thomas Herbert, pengembara abad ke-1 1 H / 17 M yang pernah melawat ke Syiraz semasa hidup Sadra, menulis bahwa di Syiraz terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia dan matematika yang menyebabkannya termasyhur di seluruh Parsi.
Dalam karirnya sebagai guru, Mulla Sadra telah berhasil melahirkan sejumlah murid terkemuka yang memiliki peranan penting di dalam aktivitas filosofis di Persia pada periode berikutnya. Ada dua murid yang paling terkemuka yang perlu disebutkan karena karya-karya mereka masih tetap dikaji hingga kini yaitu Mulla Abdul Razzaq Lahiji (w. 1072 H / 1661 M) dan Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H / 1680 M).
Sepanjang periode ini juga, Mulla Sadra melakukan beberapa kali perjalanan haji ke kota Makkah yang kesemuanya dilakukan dengan berjalan kaki. Intensitas kesalehannya tidak hanya semakin meningkat, tetapi bahkan semakin tercerahkan melalui pandangan spiritual yang dihasilkannya dari praktek-praktek spiritual selama bertahun-tahun. Sekembalinya dari perjalanan haji yang ketujuh, Mulla Sadra jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1050 H/ 1640 M.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hossein Ziai, ”Mulla Sadra : Kehidupan dan Karyanya”, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Terj Tim Penerjemah Mizan, (Mizan, Bandung, 2003). Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002). A Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004). Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi dan Hikmat Muta ’aliyah, Terj. Baharuddin Ahmad, (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1992).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar