Skip to main content

Bentuk Psikoneurosa dalam Islam

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 27, 2012

Dalam referensi ini, penulis menjelaskan beberapa bentuk psikoneurosa dalam Islam yang memiliki keterkaitan pada kepribadian individu seseorang, adapun diantaranya adalah sebagai berikut :
Ujub
Ujub adalah menganggap besar nikmat dan cenderung kepadanya, tetapi lupa menisbatkannya kepada pemberi nikmat. Ujub merupakan penyakit yang mengakibatkan pengidapnya tidak dapat berinteraksi dengan orang lain secara normal, karena ia tidak bersedia mengikuti orang lain dan orang lainpun tidak dapat mengikuti pengidap penyakit ini, sebab mengikutinya akan membawa kehancuran.
“Apabila kamu melihat kekikiran yang diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar, dunia yang diutamakan, dan keta’juban setiap orang yang punya pendapat terhadap pendapatnya, maka selamatkanlah dirimu”. (HR. Tirmidzi).
Bersamaan dengan ujub, akan muncul keikutsertaan kepada hawa nafsu. Keiukutsertaan terhadap hawa nafsu akan mengakibatkan banyak kekurangan dan penyakit, seperti ghurur (terperdaya), meremehkan orang lain, meremehkan beberapa makam dan sebagainya.
Sombong
Kesombongan menurut al-Ghazali adalah anak kandung ujub, sebab kesombongan sebagaimana didefinisikan Rasulullah saw, adalah “melecehkan orang dan menolak kebenaran”. Akan hal tersebut adalah ujub.
Kesombongan terbagi kepada batin dan dzahir. Kesombongan batin adalah perangai dalam jiwa, sedangkan kesombongan dzahir adalah amal-amal perbuatan yang lahir dari anggota badan. Istilah kesombongan lebih tepat dengan perangan batin, karena amal perbuatan merupakan hasil dari perangai tersebut. Perangai sombong menuntut amal perbuatan, oleh sebab itu apabila nampak di dalam anggota badan maka berlaku sombong (kibr).
“Tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya”. (QS. al-Mu’min : 56).
Keterperdayaan (Ghurur)
Dampak pertama dari keterperdayaan (ghurur), adalah berjalan mengikuti waham (ilusi) dan menghabiskan umur di dalam hayal. Karena kebanyakan manusia terkena penyakit ini, maka seringkali mereka berjalan di belakang fatamorgana, tetapi mereka tidak menyadari.
Ibnu Atto’ berkata sebagaimana dikuti dalam Tazkiyatun Nafs, “tidak ada sesuatu yang menuntunmu sebagaimana ilusi”. Hal itu tidak lain adalah dampak dari ghurur.
Di antara dampak keterperdayaan (ghurur), ialah menolak nasehat dan tetap bertahan dalam kesahalan atau di dalam kehidupan yang tidak bisa meningkat dan bangkit di samping bergelimang kesalahan. Firman Allah :
“Maka janganlah sekali-sekali penghidupan dunia memperdayakan kamu dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah”. (QS. Luqman : 33).
Ayat di atas menunjukkan tercelanya keterperdayaan karena keterperdayaan merupakan ungkapan tentang sebagian bentuk kebodohan. Kebodohan adalah meyakini sesuatu dan melihatnya tidak sesuai dengan apa yang ada, sedangkan keterperdayaan adalah kebodohan, hanya saja tidak setiap kebodohan adalah keterperdayaan, tetapi keterperdayaan menuntut adanya orang yang terperdaya dan hal yang memperdaya.
Amarah
Tempat kekuatan amarah adalah hati, yaitu mendidihkan darah di dalam hati karena menuntut pembalasan. Kekuatan ini ketika berkobar mampu menolak ancaman sebelum terjadinya dan melakukan pembalasan setelah terjadinya. Pembalasan memperkuatan kekuatan ini dan syahwatnya disamping memberikan kelezatan dan tidak akan reda kecuali dengan pembalasan.
Amarah merupakan bagian dari karakter yang selalu ada pada manusia, kita tidak boleh mencela dan memujinya kecuali pada sisi-sisi pengaruhnya. Barangsiapa marah kemudian mengikuti kemarahannya hingga mengikuti perbuatan yang jelek, maka hal tersebut merupakan kemarahan yang tercela sesuai perbuatan yang dilakukannya.
Mengikuti Hawa Nafsu
Karena pendorong untuk mengikuti hawa nafsu adalah nafsu, maka dikalangan para penempuh jalan ruhani dikenal ungkapan “musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsu yang ada di dalam dirimu”, bahkan musuh paling berbahaya bagi seluruh kehidupan manusia adalah mengikuti hawa nafsu.
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)”. (QS. An-Naziat: 37-41).
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Said bin Muhammad Daib Hawwa, Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus, Terj. Ainurrafiq Shaleh Tauhid, Mensucikan Jiwa (Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu), (Jakarta: Rabbani Press, 2000). Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Kumudasmoro Grafindo, 1994).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar