Skip to main content

Saksi Non-Muslim menurut Ulama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 23, 2012

Berbicara tentang saksi non-Muslim sebagai salah satu alat bukti dalam persidangan, dalam hal ini ada dua hal yang perlu disorot: kesaksian non-Muslim tentang non-Muslim dan kesaksian non-Muslim tentang Muslim.

Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa kesaksian non-Muslim di antara non-Muslim tidak mutlak, apakah mereka agama atau berbeda. Pendapat tersebut didasarkan pada firman Tuhan dalam QS al-Baqarah: 2/282. Ayat ini selanjutnya mengatakan bahwa non-Muslim bukan hanya orang-orang dan bukan dari mereka yang memperlakukan Muslim. Allah swt. menggambarkan mereka sebagai orang munafik dan pelaku kejahatan, tetapi mereka tidak bisa menjadi saksi.

Menerima kesaksian palsu dan korup, sementara umat Islam tidak bisa dipaksa oleh kesaksian orang-orang kafir dan tidak berhak menjadi saksi satu sama lain, jika kesaksian mereka diterima sama terhormatnya dengan mereka dan untuk mengangkat derajat mereka, sedangkan Islam melarangnya. 

Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya mengatakan bahwa kesaksian non-Muslim dapat diterima, baik agama maupun agama. Kesaksian perselingkuhan harbi satu sama lain tidak diterima ketika negara mereka berbeda, dan kesaksian perselingkuhan zimmi sama dalam suaka politik tidak sepenuhnya dapat diterima.

Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kesaksian di antara sesama orang beriman dapat diterima berdasarkan firman Allah QS al-Imran ayat 73. Ibn Taimiyah menunjukkan bahwa ada banyak kejahatan di antara mereka yang hidupnya tidak disaksikan oleh umat Islam tetapi oleh orang-orang mereka sendiri, dan kemudian mereka pergi ke Pengadilan Syariah. Jika kesaksian di antara mereka ditolak oleh Pengadilan Syariah, itu akan mengakibatkan mereka dianiaya dan kehilangan hak-hak dasar mereka, sehingga menyebabkan kerusakan besar dan mengganggu perdamaian publik. Itu tidak disukai oleh syari'at Islam yang dianggap adil.

Pendapat Ibn Taimiyah itu diikuti secara luas oleh para praktisi hukum Islam baik di Timur Tengah maupun di beberapa negara Islam lainnya. Para legalis ulama Hanabilah mengijinkan kesaksian para saksi non-Muslim kepada umat Islam di bidang ziarah ketika dilakukan pada ziarah dan tidak ada orang lain yang bisa ditunjuk sebagai saksi di kalangan umat Islam, kecuali mereka yang bukan Muslim.

Muslim Menurut ibn Mudzin pendapat ini juga digunakan oleh Syuraih an-Nakha'i dan al-Ausa't dalam memutuskan apa yang diminta darinya. Alih-alih berdebat tentang non-Muslim, Syuraih mengatakan bahwa itu hanya melibatkan non-Muslim yang alkitabiah, sementara juga mengatakan bahwa non-Muslim di sini termasuk semua orang di luar Islam, termasuk Majlis dan penyembah berhala.

Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Shaikh'i menolak kesaksian non-Muslim secara absolut, kecuali dalam kasus yang sangat darurat seperti kesaksian seorang dokter non-Muslim untuk insiden dan insiden.

Ibn Qayyim menyampaikan bahwa penolakan absolut terhadap kesaksian non-Muslim terhadap Muslim seperti yang dilakukan oleh para ahli hukum Islam perlu diperiksa ulang. Ibn Qayyim lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam hal kesaksian penting adalah bahwa para saksi dapat mengungkapkan tabir yang menutupi kebenaran, mereka yang dapat mengungkapkan kebenaran kadang-kadang dari non-Muslim dan mereka dapat dipercaya, kesaksian ini bisa diterima. Demikain juga dalam kasus pembuktian bahwa dokter harus diberikan fakta bahwa dokter itu tidak Islami, menurut Ibn Qayyim tidak salah untuk menerima asalkan kesaksian dokter dapat dimintai pertanggungjawaban.

Pandangan Ibn Qayyim sejalan dengan perkembangan saat ini, di mana pengaruh globalisasi telah menyebabkan kehidupan manusia menjadi terkait dengan satu agama. Jika perselisihan di antara mereka bukanlah peristiwa yang mustahil dan insiden itu disaksikan oleh orang-orang selain Islam. Praktisi hukum di beberapa negara Islam, pendapat Ibn Qayyim ini banyak digunakan dalam menangani kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, praktisi hukum harus dapat membedakan saksi sebagai persyaratan hukum atau sebagai alat pembuktian, jika persyaratan hukum terkait dengan persyaratan material dan relevan dengan fakta-fakta tersebut,sedangkan saksi sebagai alat bukti berkaitan dengan persyaratan formal terkait qadhaan . 

Referensi Makalah®

Kepustakaan: Ibn Katsir , Interpretasi Al-Qur'anil Adhim , Juz.II (Lebanon: Dar al-Fikr, 1984). Muhammad Syaltout, Muqaranatul Madzahib (Kairo: Musthafa pig al-Halabi, t, th.). Abdul Mannan, Penegakan Hukum Acara Sipil di Lingkungan Keadilan Agama (Cet.IV; Jakarta: Prenada Media, 2005). Muhammad Salam Madzkur, Al-Qadha fi al-Islam . Oleh Imrom AM, Justice in Islam (Cet. IV; Surabaya: 1993). Muhammad Rashid Ridha, Interpretasi al-Manar , Juz. III (Beirut: Dar al-Ma'rifah, t.th).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar