Skip to main content

Hukum Perkawinan Wanita Hamil

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 30, 2012

Hukum perkawinan wanita hamil dalam pembahasan referensi ini ialah wanita yang tidak bersuami (tidak sedang berada dalam ikatan perkawinan), tetapi telah melakukan hubungan seksual di luar nikah yang mengakibatkan dirinya hamil.
Hukum perkawinan wanita hamil yang telah/ sedang berada dalam ikatan perkawinan, disepakati oleh para ulama bahwa ia tidak boleh lagi melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, meskipun ia sedang bercerai dengan suaminya, terkecuali kalau anak yang dikandungnya telah lahir (masa iddahnya sudah berakhir).
Wanita hamil sebelum nikah, erat kaitannya dengan perbuatan zina, sebab zina itulah yang mengakibatkan seorang wanita menjadi hamil sebelum melangsungkan perkawinan. Dengan demikian, perkawinan wanita hamil dapat dianalogikan dengan perkawinan wanita pezina.
Kebolehan bagi wanita pezina melangsungkan perkawi­nan, didasarkan pada firman Allah dalam surah al-Nur/ 24 ayat 3:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.
Berdasarkan analogi tersebut, dapat dipahami bahwa hukum perkawinan wanita hamil hanya dapat dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya. Dikatakan demikian, karena laki-laki yang menghamilinya itulah yang tepat menjadi jodohnya, bukan laki-laki yang lain.
Analogi lain dapat pula diperhadapkan kepada larangan bagi wanita hamil yang dicerai atau ditinggal mati suaminya untuk menikah dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya berakhir (sebelum melahirkan kandungannya). Hal ini sejalan dengan larangan bagi wanita hamil di luar nikah untuk kawin dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum perkawinan wanita hamil, mengenai kebolehan dikawini oleh laki-laki yang bukan menghamilinya. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat, yaitu: 1) Menurut Malik dan al-Syafi`i, wanita hamil akibat perzinaan, boleh dikawini oleh pria yang menghamilinya atau bukan, karena kandungannya itu tidak sah nasabnya (keturunannya). 2) Menurut Abu Hanifah, wanita hamil karena zina tetap sah perkawinannya, tetapi tidak diperbolehkan bersetubuh dengan wanita itu sebelum kandungannya lahir, kecuali kandungan itu berasal dari pria itu sendiri. 3) Menurut Ahmad bin Hanbal, wanita yang berzina, baik hamil atau tidak, tidak boleh dikawini oleh pria yang mengetahui keadaannya itu, kecuali dengan dua syarat, yaitu : apabila iddahnya telah habis, yakni manakala tidak hamil selama tiga kali haid, dan jika hamil sampai ia melahirkan; dan wanita itu telah bertobat dari perbuatan maksiatnya, tetapi jika belum bertobat, maka tidak boleh menga­wininya, sekalipun telah habis masa iddahnya.
Dari perbedaan pendapat tersebut, penulis lebih cenderung kepada pendapat yang disebutkan terakhir. Kecenderungan tersebut berdasar pada status anak yang sedang dikandungnya. Sekiranya hal itu dibolehkan tanpa syarat, maka tentu akan sulit bagi anak itu untuk menentukan ayah sesungguhnya. Sebab, di satu sisi laki-laki yang membuat ibunya hamil tidak diketahuinya, sementara laki-laki yang secara formal sebagai ayahnya, bukanlah orang yang menghamili ibunya. Karenanya, akan terjadi kekacauan status antara anak dengan ayahnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan dua dampak negatif akibat perkawinan wanita hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, yaitu: 1) Jika perkawinan itu dilangsungkan, status hukum perkawinannya terancam tidak sah, yang apabila berlanjut dengan hubungan suami isteri, berarti hubungan tersebut tidak sah (zina); 2) Dapat menimbulkan dampak psikologis bagi keluarga kedua belah pihak dan bagi bayi yang dikandungnyua, di mana pada saat pertumbuhannya akan mendapat sorotan dari teman-temannya, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi beban mental yang berkepanjangan bagi dia.
Dengan demikian, status hukum perkawinan bagi wanita hamil dipandang sah menurut hukum Islam jika hal itu berlangsung dengan laki-laki yang menghamilinya. Sedangkan apabila perkawinan itu berlangsung dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, dipandang tidak sah menurut hukum Islam.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Departemen Agama RI, Al-Quraan dan Terjermahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur'an, 1985/1986). Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (cet.II; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997). Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam (cet.VI; Jakarta: Hidakarya Agung, 1979).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar