Skip to main content

Pengertian Kasb dalam Teologi

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 16, 2012

Kasb secara umum, merupakan istilah teologi. al-Asy’ari menyebut perbuatan manusia itu dengan kasb. Kasb (perbuatan) terjadi dengan perantaraan kekuatan yang diciptakan pada orang yang memperoleh daya. Pemikiran kasb seperti itu tidak berarti meniadakan tanggung jawab manusia atas semua perbuatannya. Karena segala hal, hakikatnya di luar pengetahuan manusia, maka bahagia atau celaka tetap memerlukan kesungguhan usaha. Usaha ini diperolehnya sebagai ciptaan-Nya tetapi berkait dengan daya manusia sebagai syarat yang mesti dalam kasb.
Pemakaian istilah kasb sebagai “perolehan”, memberi kesan keaktifan manusia. Akibatnya, manusia bertanggung-jawab atas segala apa yang diperoleh. Hanya saja jika dipahami bahwa kasb itu merupakan ciptaan Tuhan. Maka hilanglah arti keaktifan manusia itu. Dalam artian, manusia hanya pasif dalam perwujudan perbuatannya.
Sebenarnya, ajaran seperti itu tidak menampakkan perbedaan sebagai suatu paham keterpaksaan. Ungkapan itu hanya hasil modifikasi paham jabariyah-fatalisme. Hal itu didasarkan pada petunjuk bahwa daya (qudrah) manusia tidak memberi pengaruh pada perbuatannya. Hal itu dipertegas lagi dengan kesimpulan kasb ciptaan Tuhan.
Al-Ghazali berpendapat, bahwa al-Quran memakai kata kasb secara tak terbatas (muthlaq) untuk perbuatan manusia. Pemakaian yang demikian itu berbeda dengan penggunaan kata fi’il yang terbatas. Bahwa Allah-lah pencipta daya (qudrah) dan gerakan (al-Maqdur) yang keduanya melahirkan perbuatan. Gerakan itu tidak dapat disebut ciptaan daya manusia sekalipun gerakan itu dipihaknya. Daya manusia itu di luar dirinya karena ia terkadang mampu atau tidak mampu bergerak. Untuk itu dipandang perlu mencari istilah yang lebih sesuai dengan pemakaian al-Quran.
Muhammad Yusuf Musa menyebutkan bahwa memang benar kata kasb memberi pengertian perbuatan manusia secara tak terbatas (muthlaq). Dia menegaskan bahwa patut dipertanyakan apakah sama pengertian al-Quran dengan teori kasb yang dikemukakan oleh kaum Asy’ariyyah khususnya, dan Ahl al-Sunnah pada umumnya.
Baik kesimpulan yang dikemukakan al-Ghazali, maupun kesimpulan Yusuf Musa tentang ke-muthlaq-an. Pengertian kasb dalam ayat, menunjukan bahwa perbuatan belum bisa disebut sebagai pemeriksaan final. Pendapat al-Ghazali tidak lepas dari pengaruh aliran teologi yang dianutnya, Asy’ariyyah. Adapun definisi Yusuf Musa, dikemukakannya tanpa disertai pembahasan menyeluruh terhadap ayat-ayat yang menunjuk kasb secara detil.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abu Hasan al-Asy’ari, Kitab al-Luma’, Hamudah Gharabah (ed.) (Kairo: Musahamah Mishriyyah, 1955). Jalaluddin Muhammad, Nasy’ah al-Asy’ariyyah wa Tathawwuruhu (Beirut: dar al-Kitab al-Libnani, 1975). Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1978). Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Mesir: Dar al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1975). Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Kairo: Muhammad ‘Ali Syubayh, 1962). Muhammad Yusuf Musa, al-Al-Quran wa al-Falsafah (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1958).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar