Skip to main content

Pengertian Ahl-Riwayah dalam Fikih

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 11, 2012

Ahl al-Riwayah adalah golongan ulama fikih yang berpegang teguh hanya kepada al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad saw. Bahkan golongan ini tidak berani melangkah lebih jauh dari kedua sumber tersebut, tidak selalu melakukan ijtihad dan secara sangat hati-hati mengeluarkan suatu fatwa tentang suatu masalah yang terjadi. Sebab menurut anggapan mereka bahwa yang berhak menetapkan hukum adalah otoritas dan hak serta kewenangan mutlak Allah swt.
Ahl al-Riwayah selalu berpandangan bahwa hukum-hukum hanya terdapat dalam al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad saw dan persoalan-persoalan yang sifatnya aktual harus senantiasa merujuk dan konsisten terhadap al-Quran dan Hadis Rasulullah saw. Kalaupun misalnya, mereka tidak menemukan dasar hukumnya dalam al-Quran dan Hadis Nabi maka baru mereka melakukan ijtihad walaupun dalam situasi yang sangat terpaksa.
Golongan Ahl al-Riwayah berdomisili dan berkembang di Hijaz (Mekkah sekarang) dan Madinah. Dan di sinilah Nabi Muhammad saw mengembangkan agama Islam. Di daerah ini Nabi Muhammad berbicara banyak, sehingga sahabat banyak mendengar perkataan, melihat Taqrir dan perbuatan Nabi tentang ajaran agama Islam.
Sa’ad bin Musyyab wafat pada tahun 93 H, beliau terkenal sebagai tokoh utama Ahl al-Riwayah di Hijaz dan Malik bin Anas di Madinah (93-179 H). Setelah tokoh tersebut, masih banyak tokoh-tokoh ahl al-riwayah di kota-kota lain, misalnya; di Kufah yaitu ‘Amr al-Sya’bi, Sufyan al-Tsaury, di Syam yaitu al-Auza’iy, di Mesir yaitu Yazid ibn Habib.
Tokoh monumental yang dilahirkan oleh kelompok Ahl al-Riwayah antara lain, Imam Malik bin Anas (93-179 H), yang dikenal dengan mazhab Malik, Imam Abi ‘Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H) yang dikenal dengan mazhab Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) yang dikenal dengan mazhab Hanbali. Walaupun di antara mereka masing-masing mempunyai spesifikasi tersendiri dalam meng-istimbath-kan hukum.
Imam Malik bin Anas, dalam memutuskan sesuatu hukum, beliau berdasar pada al-Quran, kemudian Hadis Rasulullah saw dan bila tidak didapati dalam kedua sumber tersebut, maka beliau mengikuti ijmak ulama ahli Madinah dan praktik penduduk Madinah. Jika ijmak pun tidak ditemukan barulah beliau mengambil dari qiyas. Bila qiyas juga tidak beliau dapatkan, maka beliau memutuskan dengan jalan al-mashalih al-mursalah atau Istishlah. Yaitu memelihara tujuan agama dengan jalan menolak kebinasaan dan menuntut kebaikan, atau memelihara tujuan syariat dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak ciptaan Tuhan. (baca tentang mashlahah di sini)
Dengan demikian, dipahami bahwa Ahl al-Riwayah dalam penetapan hukum berpegang teguh kepada al-Quran dan Hadis secara konsisten, walaupun pada hal-hal tertentu mereka menggunakan nalar yang sifatnya terpaksa, itupun hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan keduniaan bukan persoalan-persoalan ubudiyah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Cat. I; Jakarta : Rajawali, 1993). Sya’ban Muhammad Ismail, al-Tasyri’ al-Islamy (Cairo: Maktabah al-Mishriyah, 1985). Abu al-A’la al-Maududi, Islamic Law and Constitution (London : Islamic Publication, 1975). Muhammad Ali as-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islam, diterjemahkan oleh Dedi Junaidi dengan judul “Sejarah Pembentukan Hukum Islam” (Jakarta : Akademika Perssindo, 1996). Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Cet. I; Semarang : Dina Utama, 1996). Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab (Jakarta : Bulan Bintang, 1992). Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqhi (Ujungpandang : Yayasan al-Ahkam, 1998). Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam I (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar