Skip to main content

Penafsiran Kata Khith'u dalam al-Quran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 20, 2012

Khith'u juga termasuk kata yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti dosa, atau kesalahan. Bentuk kata kerja madli (kata kerja lampau) dari kata Khith'u ialah Khati'ah. Penggunaan kata khathi'a fi dinih berarti salaka sabila khatha'an ‘amidan aw ghaira ‘amidin (mengikuti jalan yang salah, baik disengaja maupun tidak disengaja).
Kata al-Khith’u ini dianggap sama dengan kata al-Dzanb oleh Lewis Ma'luf. Namun, Lewis menambahkan pendapat lain bahwa penafsiran kata Khith’u khusus digunakan untuk mengungkap kesalahan yang tidak disengaja. Hal senada dikemukakan oleh Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisan al-Arab dan pengertian yang sama ditemukan juga dalam kamus Mu’jam al-Wasith karya Ibrahim Anis dkk. Namun pada tempat lain, keduanya juga menyamakan istilah Khit’u dengan Dzanb.
Berbeda dengan pendapat di atas, al-Raghib al-Asfahani, mengartikan penafsiran kata Khith’u dengan arti melenceng dari arah yang sebenarnya. Pengertian berbeda seperti diungkap al-Asfahani ini, memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, niat mengerjakan sesuatu yang salah, kemudian benar-benar dikerjakan. Kesalahan seperti ini dinamakan Khith’u al-tamm (betul-betul salah). Kedua, niat mengerjakan sesuatu yang boleh dikerjakan tetapi yang dikerjakan justru sebaliknya. Dengan kata lain, benar niatnya, tetapi tindakannya salah. Ketiga, niat mengerjakan yang tidak boleh dikerjakan, tetapi yang dilakukan sebaliknya, yaitu mengerjakan perbuatan yang boleh dilakukan. Untuk hal ketiga ini, salah niatnya tetapi benar tindakannya.
Diantara kata Khith’u yang muncul dalam al-Quran ialah dalam surat al-Isra' ayat 31. Kata Khith’u dalam ayat ini dirangkai dengan kata kabiran (besar). Kata kabiran adalah sifat dari kata Khith’u, sehingga rangkaian dua kata yang disebut terakhir ini berarti dosa besar. Dengan demikian, kata Khith’u dalam ayat ini dapat diterjemahkan sebagai dosa besar jika dirangkai dengan kata Kabiran.
Dari sekian banyak ayat al-Quran yang memuat kata Khith’u mengandung pengertian bahwa kata ini digunakan untuk menyebut dosa yang cukup bervariasi, misalnya dosa terhadap Allah, dan dosa terhadap sesama manusia. Juga dapat dipahami bahwa al-Quran, ketika menggunakan kata Khith’u atau Khathiah, tidak menjelaskan secara tersurat, apakah dosa yang ditunjukkannya dosa besar atau dosa kecil. Untuk membedakan dosa yang ditunjukkannya, dibutuhkan petunjuk lain, seperti adanya kata Kabiran dalam ayat 31 surat al-Isra sebagaima telah disebutkan.
Penafsiran kata Khith’u atau Khati’ah dalam al-Quran memungkinkan ada beberapa kategori, antara lain:
Pertama, kata Khith’u atau Khati’ah dihubungkan dengan perbuatan kafir yang dilakukan orang-orang terdahulu. Penunjukan makna ini misalnya terdapat dalam QS. al-Haqqah (69):9-10;
وجاء فرعون ومن قبله والمؤتفكات بالخاطئة. فعصوا رسول ربهم فأخذهم أخذة رابية.
Dan telah datang Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar (al-khati’ah). Maka masing-masing mereka mendurhakai rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.
Ayat di atas menunjukkan bahwa kata Khati’ah dapat dihubungkan dengan kedurhakaan dan kekafiran yang dilakukan orang-orang terdahulu. Umat-umat dahulu yang mengingkari nabi-nabi tersebut, seperti yang dilakukan oleh kaum Nabi Saleh, kaum Nabi Syua’ib, dan lain-lain, sedangkan negeri-negeri yang dijungkirbalikan seperti dialami oleh kaum Nabi Luth. Secara umum, kesalahan (dosa) yang mereka lakukan adalah mendustakan para rasul. Penunjukkan makna yang senada terdapat pula dalam QS. Nuh (71) ayat 21-25; QS. Al-Haqqah (69) ayat 30-37. Bentuk kekafiran lainnya yang ditunjukkan kata Khati’ah adalah kebiasaan masyarakat Jahiliyyah membunuh anak-anak mereka, karena takut kemiskinan sebagaimana termuat dalam QS. Al-Isra (17) ayat 31.
Kedua, kata Khati’ah (khatha’an) dikaitkan dengan kesalahan (dosa) yang dilakukan secara tidak sengaja. Penunjukkan makna ini antara lain terdapat dalam QS. An-Nisa (4):92;
كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله إلا أن يصدقوا فإن كان من قوم عدو لكم وهو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة
Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin.
Sementara itu, pada QS An-Nisa (4):112, sebelum kata Khati’ah menggunakan kata Yaksibu, yang berarti melakukan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesalahan yang tidak di sengaja itu lahir dari kecerobohan (atau benar-benar diusahakan) dan kurang perhatian dan tanggungjawab pelakunya.
Pada prinsipnya Allah swt tidak akan meminta pertanggungjawaban atas kesalahan dan dosa yang dilakukan secara tidak sengaja. Namun apabila kesalahan yang tidak disengaja itu terjadi akibat kecerobohannya, Allah akan tetap meminta pertanggungjawaban. Inilah antara lain yang diajarkan melalui doa sebagaimana termuat dalam akhir QS. al-Baqarah, Rabbana la tuakhidna inna sina au akhtha’na (Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa dan salah).
Menurut M. Quraish Shihab, doa di atas mengandung pengertian bahwa doa ini terkait dengan dosa-dosa sebelum Allah menetapkan ketentuan-Nya (hukum), atau bisa saja ketentuan-Nya sudah ada, namun apa yang mereka maksud di sini berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya (Ibnu Faris), Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979). Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Afriqiy al-Mishriy (Ibnu Mandhur), Lisan al-Arab, Jilid VI, Beirut: (Dar al-Fikr, t.t). Lewis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002). Ibrahim Anis, dkk, Mujam al-Wasith, (Mesir: Dar al-Ma’arif), 1972. Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mufradat Alfazh Al-Quran, (Damaskus: Dar al-Qalam), 1992. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2004). Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009). Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mufradat Alfazh Al-Quran, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar