Skip to main content

al-Ushul al-Khamsah Muktazilah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 29, 2012

Al-Ushul al-Khamsah secara harfiah berarti lima dasar. Muktazilah memahami dan meyakini bahwa ada lima dasar dalam aqidah islam yaitu; al-Tauhhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah Baina al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar. Kelima dasar keyakinan tersebut merupakan prasyarat untuk menjadi kaum Muktazilah. Uraian berkenaan lima dasar tersebut adalah sebagai berikut:
Al-Ushul al-Khamsah pertama, Al-Tauhid, peng-Esa-an Tuhan yang merupakan inti paham Muktazilah; maksudnya pemurnian esensi Tuhan; Tuhan tidak memiliki sifat-sifat. Lebih lanjut, Washil bin Atha’ mengatakan kepada Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri yang melekat pada Zat Tuhan. Karena Zat Tuhan bersifat qadim. Dengan demikian, sifatpun bersifat qadim oleh karena itu untuk memelihara murninya Tauhid atau kemaha-Esa-an Tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat.
Muktazilah percaya kepada Tauhid yaitu Tuhan itu satu. Mereka berbeda dari mayoritas muslim dalam menerangkan tentang konsep Tauhid supaya selaras dengan wahyu dan akal. Muktazilah mengatakan sifat Tuhan adalah tidak berbeda dari zat-Nya. Dengan kata lain, Tuhan itu Maha Mengetahui, tetapi Tuhan itu Maha Mengetahui kerana zat-Nya, bukannya karena Ia mempunyai pengetahuan yang terasing dari diri-Nya. Konsep Tauhid ini diterangkan dalam hasil kerja cendekiawan Muktazilah, hakim agung Abd al-Jabbar ibn Ahmad
Dalam penjelasan al-Ushul al-Khamsah tentang al-Jism, dikatakan bahwa hal yang terukur, menempati ruang dan waktu mengandung sisi kiri dan kanan, dengan demikian, Tuhan adalah yang tidak berjism dalam pengertian tidak terukur, tidak memiliki timbangan, tidak memiliki sisi kiri dan kanan atau tidak belaku pada-Nya ketentuan jism sebagaimana ketentuan jism pada makhluk.
Untuk memperkuat penjelasan al-Ushul al-Khamsah bagian ini, Muktazilah meberikan alasan. Pertama, sendainya Tuhan jism maka ada beberapa hal yang tidak mampu bagi-Nya karena keterbatasannya, sedangkan jism terbatasi oleh segala yang diluar ukuran dan waktunya, padahal salah satu sifat bagi Tuhan adalah Qadir. Kedua, seandainya Tuhan yang Qadirun ‘ala Kulli Syai’ (penentu atas segala sesuatu) dengan jism, bagaimana dengan Tuhan sebagai Qadirun lizatihi (penentu dengan Dzat-Nya). Bagi Muktazilah hal ini tidak dimungkinkan adanya dua yang qadir.
Al-Ushul al-Khamsah kedua, Al-‘Adl, prinsip keadilan Tuhan. Al-‘adlu dalam pemahaman Muktazilah secara bahasa dikelompokkan dalam dua hal, yang dinisbahkan kepada kata kerja yaitu semua perbuatan baik yang bermanfaat kepada pelaku atau selainnya, dan yang dinisbahkan kepada pelaku, yaitu bahwa tuhan hanya melakukan hal yang baik dan tidak dipantaskan bagi-Nya perbuatan-perbuatan buruk. Tuhan mengetahui perbuatan buruk dan Tuhan tidak membutuhkannya. Dalam bahasan selanjutnya, seorang hamba dimungkinkan baginya perbuatan baik dan perbuatan buruk, pilihan terletak pada pelaku yang berakibat terhadap jaza’ di hari kemudian.
Prinsip keadilan Muktazilah, menolak paham jabariah yang mengemukakan bahwa seorang hamba tidak bebas dalam melaksanakan perbuatannya mereka menganggap siksaan terhadap ketidakbebasan adalah suatu kedzaliman karena tidak ada artinya memerintahkan suatu perintah kepada seseorang tetapi kemudian ia terpaksa melawan perintah itu. Prinsip keadilan ini juga menetapkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya dan bahwa Allah mustahil Allah bersifat lemah. Jadi, dialah yang memberikan, dan dia sendiripula yang memiliki qudrah yang sempurna untuk menarik kembali apa yang diberinya itu.
Al-Ushul al-Khamsah ketiga, al-Wa’ad wa al-Wa’id, prinsip janji dan ancaman. Muktazilah berkeyakinan bahwa janji berupa balasan kebaikan dan ancaman berupa siksaan tidak mustahil diturunkan. Janji Allah tentang pahala atas kebaikan akan terjadi, janji siksaan atas kejahatan juga akan terjadi.
Ketika seorang mu’min meninggal dunia, taat kepada hukum Allah dan bertaubat, ia berhak mendapat pahala, stawab, dan imbalan, tetapi memberikan sesuatu melebihi atau melampaui pahala disebut Tafadhdhul. Namun manakala seorang meninggal dunia dalam keadaan tidak bertobat atas dosa-dosa besar, dia berhak mendapat kutukan yang kekal meskipun siksaan yang ditimpakan kepadanya lebih ringan ketimbang siksaan terhadap orang kafir.
Al-Ushul al-Khamsah keempat, al-Manzilah Baina al-Manzilatain, biasa juga disebut al-Ismu Baina al-Ismain, al-Hukmu Baina al-Hukmain, yang diberi pengertianposisi diantara dua tempat. Uraian ini berkenaan dengan penjelasan penulis sebelumnya tentang orang yang berbuat maksiat yang ditempatkan diantara orang yang beriman dengan orang yang kafir. Dijelaskan pula posisi mukallaf tidak pada hal ini, diberi pahala jika dekat terhadap Tuhan dan ‘iqab jika musuh Tuhan.
Muktazilah disamping mengakui bahwa orang yang berbuat maksiat termasuk Ahl al-Qiblah dan berada di antara dua tempat, juga berpendapat bahwa orang tersebut boleh saja dinamai muslim untuk membedakannya dengan zimmi bukan untuk memuji dan memuliakannya.
Al-Ushul al-Khamsah kelima, al-Amr bi al Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar, prinsip menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran. Muktazilah menetapkan bahwa semua muslim wajib melakukan upaya tersebut untuk menyiarkan dakwah Islam. Karena itulah mereka menerapkan dengan gigih prinsip yang kelima itu dalam menghadapi orang-orang Zindiq yang berkembang pada awal masa pemerintahan Bani Abbas dan bertujuan menghancurkan sendi-sendi islam. Mereka juga gigih untuk menghujat para ulama fikih dan hadis dengan dalil dan berbagai keterangan, atau dengan cara dengan kekerasan dan kekuatan pemerintah, dan berusaha meredam paham Muktazilah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Syahrin Harahap dkk, Eksiklopedi Islam, (cet. I; Jakarta: Kencana, 2003). Ahmad Ibnu Husain Ibnu Abi Hasyim, Syarhh al-Ushul al-Khamsah (Cet;I, Kairo:Maktabah Wahbah. 1965). Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Muhammad ibn Abdul Karim Ahmad Asyahrastani, Milal Wan Nihhal, diterjemahkan oleh Syuedi Asy’ari Milal wan Nihal Aliran-Aliran Teologi dalam Islam, (Cet I; Bandung: mizan, 2004).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar