Skip to main content

Urgensi Aqsam al-Quran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 15, 2012

Mempelajari dan memahami al-Quran seseorang tidak boleh melepaskan diri dari aspek bahasanya, termasuk dalam persoalan aqsam al-Quran. Karena fakta menunjukkan bahwa di sana terjadi keragaman kesediaan jiwa manusia dalam menerima dan membenarkan al-Quran, termasuk dalam mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah swt.
Inilah yang dimaksud dalam ‘ilmu al-ma’ani salah satu cabang dari ‘ilmu al-balagah dengan uslub al-khabar (gaya bahasa dalam pemberitaan), yaitu ada berita yang sifatnya ibtidai, thalabi, dan inkari.
Kadang-kadang seorang mukhathab atau lawan bicara masih kosong pikirannya dan belum mengetahui sesuatu. Bila disampaikan informasi atau berita kepadanya maka ia langsung dapat menerima dan membenarkan informasi. Pemberitaan seperti inilah yang dinamakan ibtidai. Di sisi lain, ada pula orang yang ragu-ragu terhadap sebuah informasi sehingga pemberitaan yang mesti dilakukan kepadanya sebaiknya menggunakan ta’kid (penguat) dalam kalimat sehingga keragu-raguan itu hilang. Contoh ini disebut thalabi. Terkadang juga, ada orang yang mengingkari sebuah hukum atau berita sehingga di sini diwajibkan adanya ta’kid untuk “mengobati” keingkarannya itu, dan inilah yang disebut inkari.
Sumpah termasuk salah satu bentuk atau metode untuk memperkuat suatu perkataan atau untuk membuktikan kebenaran suatu informasi, terutama bila audiens terlihat ragu, apatah lagi bila ia kelihatan ingkar. Demikian pula sumpah yang dinyatakan Allah di dalam al-Quran merupakan sebuah ‘ibrah, dan peringatan serta memberikan peluang yang luas bagi para pembacanya untuk mengkaji dan menelitinya lebih mendalam.
Pada dasarnya, tujuan dari sebuah sumpah itu sangat terkait dengan obyek sumpahnya. Dengan kata lain al-muqsam ‘alaihi (sasaran sumpah) tidak terlepas dari al-muqsam bihi (sesuatu yang dipakai bersumpah). Oleh karena itu, menurut Subkhi Saleh, surah-surah al-Quran yang dimulai dengan sumpah disertai obyek sumpah atau al-muqsam bihi, di antaranya: malaikat, matahari, bintang dan sebagainya, di samping mengandung nilai sastra yang sangat tinggi, juga untuk menggugah para pendengarnya, terutama yang kelihatan ragu, apatah lagi ingkar, agar ia mau kembali memperhatikan berita yang datang sesudah kata sumpah itu.
Inilah yang dimaksud dari pernyataan Muhammad Bakr Ismail bahwa sumpah yang bertujuan untuk memperkuat maksud yang diinginkan namun penyebutannya hanya dibatasi dengan obyek sumpahnya termasuk dalam kategori al-ijas (sebuah bentuk peringkasan di dalam al-Quran), karena yang disebutkan obyeknya tetapi arah dan tujuannya adalah memperkuat maksud yang diinginkan (al-muqsam ‘alaihi) sehingga sumpah tersebut seakan menjadi “undangan” kepada para pendengar dan pembaca untuk memperdalam pemahaman serta berusaha menyingkap tirai dan rahasia yang diinginkan di balik kata-kata sumpah itu.
Untuk memahami urgensi sumpah dengan baik, penulis melihat bahwa perlu pembagian antara urgensi sumpah kaitannya dengan al-muqsam ‘alaihi (sasaran sumpah), dan urgensi sumpah kaitannya dengan al-muqsam bihi (obyek sumpahnya).
Al-Muqsam ‘alaihi misalnya, ketika Allah bersumpah di dalam al-Quran, sasarannya bermacam-macam, namun secara garis besarnya kembali kepada dua poin, yaitu ushul al-iman (pokok-pokok keimanan) dan hhal al-insan (keadaan manusia). Atau yang lebih rinci lagi, bahwa sasaran sumpah di dalam al-Quran yaitu;
  1. Pokok-pokok keimanan yang mesti diketahui dan diyakini oleh setiap manusia, termasuk di dalamnya adalah tauhid, kebenaran al-Quran, kebenaran Rasul, kebenaran balasan, janji dan siksaan.
  2. Keadaan manusia baik terkait dengan kondisi kepribadiannya, sifatnya maupun akibat dari sikap hidupnya.
Dari kedua atau sekian banyak sasaran sumpah di dalam al-Quran maka bisa dipahami bahwa tujuan dan urgensi yang ingin dicapai setidaknya ada tiga, yaitu pertama, untuk memperkuat suatu informasi dan berita. Kedua, untuk memuliakan sekaligus membuktikan kebenaran dari sasaran itu. Ketiga, untuk mengingatkan manusia pada sasaran sumpah itu.
Demikian pula dengan al-muqsam bihi (obyek sumpah), karena di dalam al-Quran setiap sumpah (yang konkrit) dinyatakan oleh Allah itu disertai dengan menyebutkan sesuatu yang menjadi obyeknya. Sehingga terkadang Allah bersumpah dengan atas nama diri-Nya, terkadang pula dengan atas nama nabi-Nya, dan terkadang juga dengan atas nama makhluk-Nya yang lain.
Abu al-Qasim al-Qusyairi sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti bahwa sumpah dengan menyebutkan makhluk-Nya tidak terlepas dari dua faktor, yaitu karena kemuliaannya dan karena besarnya manfaat yang ada padanya. Berbeda bukan berarti bertentangan dengan pendapatnya sendiri, Al-Suyuti beranggapan bahwa Allah bersumpah dengan makhluk-Nya setidaknya ada tiga alasan. Pertama, dalam kalimat sumpah itu ada kata Rabbi (Tuhan/Pengatur) yang dijatuhkan sehingga seakan-akan ayat-ayat tersebut berbunyi ورب التين والزيتون dan semisalnya. Kedua, sesuatu yang menjadi obyek sumpah (makhluk-Nya) dalam al-Quran merupakan sesuatu yang sangat diagungkan oleh orang Arab sekaligus mereka sering bersumpah dengan menyebutkan hal itu. Jadi al-Quran turun dengan ungkapan sumpah sesuai dengan apa yang telah dikenal oleh mereka. Ketiga, bersumpah dengan makhluk pada dasarnya kembali kepada pencipta-Nya karena tidak mungkin ada makhluk tanpa ada yang menciptakan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dan urgensi sumpah kaitannya dengan al-muqsam bihi, di antaranya adalah :
  1. Untuk menunjukkan keagungan dan kemuliaannya.
  2. Untuk menunjukkan manfaat dan kebaikan yang ada di dalamnya.
  3. Untuk menakut-nakuti manusia akan keberadaannya serta mengingatkan mereka akan keburukannya.
  4. Untuk menggugah hati manusia dalam mengkaji dan mempelajari al-Quran serta mencari rahasia-rahasianya.
Hanya saja perlu dipahami sekalipun terdapat pembagian urgensi antara al-muqsam ‘alaihi dan al-muqsam bihi, namun pada dasarnya qasam atau sumpah di dalam al-Quran memiliki urgensi pokok yang disebut al-maqshad al-ashil yaitu untuk memperkuat dan mempertegas sasaran sumpah serta menetapkan atau mengokohkannya di dalam hati seorang hamba sehingga ia dapat yakin dengan seyakin-yakinnya atas kebenaran berita dalam sumpah tersebut. Karena memang al-Quran merupakan wahyu Ilahi yang diperuntukkan bagi seluruh manusia sebagai pedoman yang membawa petunjuk kebahagiaan dunia akhirat.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Shubhi Shalih, Mabahhis\ fi ‘Ulum al-Qur’an (cet. IX; Beirut: Dar al-‘Ilm wa al-Malayin, 1977). Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), jil. II. Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma (Mesir: Syarikah Musahamah, 1939).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar