Skip to main content

Sebab-sebab Pembatalan Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Indonesia

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 10, 2012

Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, maka perkawinan diadakan bukan untuk sementara dan bukan ikatan lahir saja, melainkan ikatan lahir dan batin serta bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia untuk selama-lamanya (kekal). Oleh karena itu, perceraian dan pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan atau sebab-sebab yang memaksa, yang menyimpang dari hukum bila diteruskan.
Sebab-sebab dibenarkannya pembatalan perkawinan dalam hukum perkawinan Indonesia ialah karena para pihak atau salah satu pihak dari suami atau isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 22 Undang-Undang ini, yang telah penulis kutip pada uraian terdahulu. Di samping itu, pembatalan perkawinan dapat pula diajukan ke Pengadilan apabila salah satu dari kedua belah pihak masih terikat dengan perkawinan bersama orang lain, sebagaimana dikemukakan dalam pasal 24 undang-undang ini bahwa :
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.
Dengan demikian, maka dengan masih terikatnya seseorang dengan suatu perkawinan, merupakan sebab dibolehkannya mengajukan permohonan pembatalan perkawinan jika ia melakukan perkawinan baru lagi tanpa persetujuan dari suami atau isterinya yang pertama, atau tanpa melalui prosedure hukum yang berlaku. Hal ini, karena asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah monogami suami dan isteri hanya dapat memiliki seorang pasangan suami atau isteri, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 3 sebagai berikut :
  1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seseorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
  2. Pengadilan, dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Karena itu, apabila seorang isteri masih terikat dengan suatu perkawinan, maka ia tidak diizinkan untuk kawin atau bersuami lagi, sehingga perkawinannya yang kedua tersebut dapat dibatalkan oleh suami yang pertama atau pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan menurut undang-undang yang berlaku. Demikian pula seorang suami yang melakukan perkawinan tanpa izin atau persetujuan isterinya yang pertama, ia dapat dibatalkan perkawinannya dengan dasar permohonan isteri yang pertama tersebut atau pihak yang berhak untuk itu.
Selanjutnya, pembatalan perkawinan dapat pula diajukan oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari sami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri, jika perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi (pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
Demikian pula perkawinan yang dilangsungkan karena ancaman yang melanggar hukum dan terjadi salah sangka pada waktu berlangsungnya perkawinan, dapat dibatalkan, sebagaimana diatur dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut :
  1. Seorang suami atau istei dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
  2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
A.Mukti Arto, SH mengemukakan bahwa, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila terdapat sebab-sebab sebagai berikut :
  1. Seorang suami melakukan poligami tanpa ijinPengadilan Agama;
  2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud;
  3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah suami lain;
  4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
  5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
  6. Perkawinan dilaksanakan dengan paksaan;
  7. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
  8. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri;
  9. Apabila ancaman telah berbunyi, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah ia masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya gugur.
Berdasarkan sebab-sebab pembatalan perkawinan di atas, dapat dikemukakan bahwa semua pelanggaran atau kekeliruan mengenai syarat-syarat perkawinan dapat menjadi sebab-sebab pembatalan perkawinan, sehingga apabila pihak suami atau isteri tidak menyadari atau tidak merasakan pelanggaran dalam perkawinannya, pihak yang merasa berhak atau berkepentingan dapat meminta kepada yang berwenang untuk membatalkan hubungan perkawinan tersebut.
Kepustakaan:
A.Mukti Arto, SH, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (cet.I; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar