Skip to main content

Pokok-pokok Ajaran al-Asy'ariyah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 29, 2012

Pada dasarnya kaum Al-Asy’ariah adalah aliran sinkretis, yang berusaha mengambil sikap tengah antara dua kutub, akal dan naql, antara kaum Salaf dengan al-Muktazilah. Atau Al-Asy’ariah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual, sehingga al-Ghazali menyebutnya sebagai aliran al-mutawassith (pertengahan).
Adapun pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu sifat Tuhan, keadilan Tuhan, akal dan wahyu, konsep iman, melihat Tuhan di hari kiamat, teori Kasb, pelaku dosa besar, dan al-Quran:
Sifat Tuhan
Dalam ajaran Al-Asy’ari dikenal doktrin wajib al-wujub, yaitusetiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat yang qadim, menganut paham shifatiyah seperti halnya kaum Salaf,
Keadilan Tuhan
Menurut al-Asy’ari, keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya. Misalnya, seseorang mempunyai kekuasaan mutlak atas harta benda yang dimilikinya, sehingga ia dapat melakukan apa saja terhadap harta bendanya itu.
al-Asy’ari menganalogikan bahwa Tuhan adalah pemilik mutlak. Ia dapat berbuat sesuai kehendak-Nya atas milik-Nya. Karenanya, tidak bisa dikatakan salah, jika seandainya Tuhan memasukkan orang kafir ke dalam surga, atau sebaliknya.
Akal dan Wahyu
Mengenai akal dan wahyu, al-Asy’ari berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajibannya hanya melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu. Jadi, pada dasarnya al-Asy’ari memberikan porsi besar kepada wahyu daripada akal.
Konsep Iman
Iman bagi al-Asy’ari adalah tashdiq dan ikrar. Amal bukanlah katagori iman, tetapi perwujudkan dari tahdiq. Al-Asy’ari berpendirian bahwa iman adalah keyakinan batin (inniver belief), baik secara lisan atau secara praktis (perbuatan); keduanya merupakan cabang iman. Dengan demikian, siapa saja yang memiliki iman dalam hatinya (mengakui keesaan Tuhan dan Rasul-Nya serta dengan ikhlas mempercayai segala apa yang mereka terima dari-Nya), maka iman orang sepeti itu adalah sah. Kalau ia mati, ia akan selamat dari neraka. Tak ada sesuatu yang membuat orang tidak beriman, kecuali kalau ia menolak salah satu dari kebenaran yang dua itu.
Melihat Tuhan di Hari Kiamat
Pandangan al-Asy’ari tentang melihat Tuhan, ia mengatakan bahwa setiap yang ada, pasti dapat dilihat. Oleh karena Tuhan ada, maka Ia dapat dilihat. Ini dapat diketahui dari wahyunya bahwa orang-orang mukmin akan melihat-Nya di hari kiamat nanti, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
وجوه يومئذ ناضرة . إلى ربها ناظرة
Di hari itu wajah mereka (yang beriman) akan berseri-seri. Kepada Tuhan, mereka melihat” (QS al-Qiyamah/75: 22).
Menurut al-Asy’ari, kata nazhirah dalam ayat di atas, tidak berarti memikirkan atau menunggu, sebagaimana pendapat al-Muktazilah. Alam akhirat bukan tempat berpikir. Demikian pula, wajah tidak dapat menunggu.
Teori Kasb
Al-Asy’ari juga dikenal memiliki doktrin kasb, dalam kaitannya dengan perbuatan manusia. Kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-maktasib, dengan perantaraan daya yang diciptakan. Al-maktasib, artinya yang memperoleh dan menciptakan terhadap penyatuan antara kelemahan dan kekuasaan. Kelemahan yang dimaksud adalah kelemahan manusia, sedangkan kekuasaan adalah qudrah Tuhan.
Konsep kasb ini adalah perpaduan antara konsep teologi Jabariyah dan Qadariyah. Qadariyah sangat getol dengan konsep kehidupan manusia yang tergantung kepada manusianya. Kemampuan (qudrah) dan usaha manusia itu adalah sangat efektif. Berbeda dengan Jabariyah, justru sebaliknya, yakni berpendapat bahwa kehidupan manusia tergantung kepada Tuhan. Segala kemampuan (qudrah) dan usaha manusia ditentukan oleh Tuhan, serta hal itu sangat efektif.
Pelaku Dosa Besar
Aliran al-Muktazilah mengatakan bahwa apabila pelaku dosa besar tidak bertaubat dari dosanya, meski ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Sebaliknya, aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang beriman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimana pun besar dosa yang dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya.
Al-Asy’ari memadukan kedua konsep di atas dan mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan namun fasik, terserah kepada Tuhan. Tuhan bisa saja mengampuninya dan langsung memasukannya ke surga, atau Tuhan akan menjatuhkan siksa karena kefasikannya.
Pandangan al-Asy’ari tentang Al-Quran, sangat bertentangan dengan pandangan al-Muktazilah. Kalau al-Muktazilah mengatakan bahwa Al-Quran adalah hawadits (baru) karena ia makhluk, maka Al-Asy’ari mengatakannya qadim.
Pandangan al-Asy’ari di atas berdasar pada firman Allah yang berbunyi:
إنما قولنا لشئ إذا أرادنه أن نقول له كن فيكون
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia (QS al-Nahl/16: 40) .
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama RI, 1992/1993). Zainal Kamal, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: PT Temorit, 1994). A. K. Kazi dan J. G. Flynn, Muslim Sects and Divisions, diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat dengan judul Sekte-sekte Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka, 1996). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1985/1986). Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1967), Juz I.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar