Skip to main content

Dalil tentang Kaidah Darurat

Oleh: AnonymousPada: June 23, 2012

Darurat dijelaskan dalam Al-Quran pada lima tempat, yaitu dalam QS 2: 173, QS 6: 145, QS 6: 119, QS 5: 3, dan QS 16: 115. Di antara darurat yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut ada yang ditegaskan secara khusus yaitu tentang makhmasah (kelaparan yang parah), sebagaimana yang terdapat dalam QS al-Maidah:
“Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, seungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Ayat-ayat Al-Quran tersebut secara keseluruhan membicarakan mengenai darurat (إضطر) yang membolehkan untuk melanggar ketentuan yang dilarang karena untuk memelihara jiwa dari kebinasaan. Pada saat itu Allah tidak memandang mengenai sebab pengharaman, akan tetapi karena adanya darurat sehingga dibolehkan untuk memakan makanan yang diharamkan.
Meskipun Alquran mengizinkan untuk melakukan sesuatu yang dilarang, akan tetapi bukan berarti kemudahan (kebebasan) yang diberikan ini bersifat mutlak, tetapi di sana ada batasan yang harus diperhatikan, sebagaimana disebutkan dalam QS al-Baqarah: 173 yang menyatakan dengan “tidak menginginkannya dan melampaui batas” (غير باغ ولا عاد). Menurut al-Thabariy, dalam kondisi darurat, si pelaku tidak mempunyai maksud untuk melakukan larangan dan melampaui batas, sehingga dia tidak melakukannya ketika mampu menahan diri.
Selanjutnya Wahbah al-Zuhailiy merumuskan batasan-batasan darurat, dengan tujuan agar seseorang tidak mengklaim adanya darurat dengan begitu saja, akan tetapi terlebih dahulu harus diketahui secara benar-benar bahwa kondisinya memang dalam darurat. Adapun batasan-batasan darurat yang ditetapkan adalah sebagai berikut:
Darurat yang dimaksud harus sudah ada, bukan masih dalam taraf yang ditunggu. Dengan kata lain kekhawatiran akan kebinasaan atau hilangnya jiwa atau harta betul-betul ada dalam kenyataan, dan hal tersebut diketahui melalui dugaan kuat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ada.
Dalam kondisi terpaksa tidak punya pilihan lain kecuali melanggar perintah atau larangan syarak, atau tidak ada jalan lain yang dibenarkan untuk menghindari kemudaratan selain melanggar sesuatu yang haram. Misalnya, jika seseorang berada dalam suatu tempat, di mana pada tempat tersebut hanya terdapat sesuatu yang haram saja, dan tidak sesuatu yang dibolehkan digunakan untuk menghindari kemudaratan atas dirinya. Contohnya jika makanan di tangan orang lain, maka dia dibolehkan mengambilnya (akan diganti), dan pemilik makanan tersebut harus memberikannya.
Adanya kondisi yang diharamkan hendaknya bersamaan dengan kondisi yang dibolehkan seseorang melakukan yang haram. Dengan ungkapan yang lebih jelas bahwa kemudaratan itu memang memaksa di mana dia benar-benar kuatir akan hilangnya jiwa atau anggota tubuh, seperti jika seseorang dipaksa untuk memakan bangkai dengan ancaman yang mengkhawatirkan akan jiwanya atau salah satu anggota tubuhnya, sedangkan di hadapannya terdapat sesuatu yang halal dan baik.
Jangan sampai orang yang terpaksa itu melanggar prinsip-prinsip syarak yang pokok, berupa memelihara hak-hak orang lain, menciptakan keadilan, menunaikan amanah, menghindari kemudaratan serta memelihara prinsip keberagamaan serta pokok-pokok akidah Islam. Misalnya, diharamkan baginya melakukan zina, pembunuhan, kufur dan marampas harta dalam kondisi bagaimanapun, karena hal-hal tersebut merupakan mafsadat.
Kepustakaan:
Ibn Jarir al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy, Juz I (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar