Skip to main content

Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: May 31, 2012

Perbedaan hukum islam dan hukum positif dan dapat dijadikan sebagai referensi ilmiah, sebenarnya sangat banyak, namun secara garis besar, hukum Islam memiliki keistimewaan lebih. Keistimewaan tersebut dapat dilihat dalam poin berikut:
1. Kedaulatan hukum diserahkan pada manusia.
Sistem hukum di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem demokrasi yang dianutnya, yang menempatkan manusia berada dalam posisi yang setara dengan Tuhan. Dalam sistem ini, manusia memiliki hak untuk membuat hukum dan menentukan halal-haram. Terkait dengan sumber pokok hukum Perdata (burgerlijk Wetboek), Indonesia masih mengadopsi hukum buatan manusia (penjajah) yang berasal dari hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon, yang diadopsi oleh Belanda. Hukum tersebut berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Pidana (Wetboek van Strafrecht)-nya pun diadopsi dari KUHP untuk golongan Eropa yang merupakan kopian dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Prancis zaman Napoleon. Akibat diadopsinya hukum buatan manusia, batasan kejahatan menjadi kacau bahkan memicu kejahatan lain.
Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 284, perzinaan (persetubuhan di luar nikah) akan dikenakan sanksi bila dilakukan oleh pria dan wanita yang telah menikah. Itu pun jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Artinya, jika perzinaan itu dilakukan oleh bujang-lajang, suka sama suka, maka pelaku tidak dikenakan sanksi. Akibatnya, free seks menjadi legal, hamil di luar nikah menjadi biasa, bahkan aborsi sekalipun. Contoh lain, ketika batasan kepornoan samar, bahkan kepornoan yang jelas pun dikecualikan (seperti dalam pentas-pentas seni), hal itu akan berdampak pada pelecehan terhadap perempuan, mulai dari pelecehan ringan hingga pemerkosaan.
2. Sekularisasi.
Sekularisme yang menjadi asas negeri ini telah menempatkan agama hanya berada di masjid-masjid, gereja, pura dsb. Agama hanya berlaku di wilayah privat, sementara di luar itu (seperti di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, termasuk hukum dan persanksian), agama dicampakkan. Ketika berada di wilayah publik, ketakwaan pun lenyap.
3. Asas manfaat.
Asas manfaat jasadiah mendorong sikap materialistik; menjadikan segala sesuatu diukur oleh harta dan kekuasaan. Akhirnya, hawa nafsu dijadikan standar untuk menilai segala sesuatu. Hukum menjadi samar ketika hawa nafsu mendominasi para wakil rakyat. Demi materi dan kekuasaan nasib rakyat pun tergadaikan. Tengok saja produk hukum kita mulai dari UU Ketenagalistrikan, UU Energi, UU SDA, UU Migas dll yang lebih berpihak kepada yang ’berduit’, sementara rakyat semakin pailit (baca: miskin).
4. Hukum yang bersifat relatif.
Diserahkannya pembuatan hukum kepada manusia telah menjadikan hukum bersifat relatif. Hukum dengan mudah berubah sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang memiliki akses dan kekuatan untuk mempengaruhi proses pembuatan hukum. Produk hukum pun akan lebih banyak mengadopsi kepentingan mereka. Akhirnya, rakyat dirugikan.
Sedangkan hukum Islam:
1. Kedaulatan di tangan Asy-Syâri’.
Dalam Islam, yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT (Lihat: QS 12: 40). Manusia yang lemah dan memiliki keterbatasan tidak diberi hak membuat hukum. Dengan itu, hukum Islam jauh dari subyektivitas manusia. Baik-buruk, terpuji-tercela, halal-haram tidak bisa dikangkangi oleh kepentingan manusia. Dengan demikian, hukum Islam berada di atas semua pihak, semua manusia.
2. Standar hukumnya kokoh.
Standar hukum Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini meniscayakan hukum Islam bersifat tetap, konsisten dan tidak berubah-ubah. Sebab, al-Quran dan as-Sunnah adalah tetap, tidak akan berubah hingga Hari Kiamat. Definisi kejahatan dan jenis sanksi pun jelas hingga tidak akan memunculkan permasalahan baru. Kejahatan didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap seluruh aturan Allah SWT. Artinya, siapa saja yang meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman, maka ia telah melakukan kejahatan (jarîmah) yang berhak atasnya sanksi. Zina, misalnya, diharamkan Allah SWT (lihat: QS 17: 32) dan pelakunya harus dikenai sanksi. Pezina mukhshan (sudah menikah) sanksinya adalah rajam (hadis dari Jabir bin Abdillah), sedangkan pezina ghayru mukhshan (belum menikah), sanksinya adalah dicambuk dengan 100 kali cambukan (lihat QS 24: 2).
3. Memuliakan manusia.
Hukum Islam diturunkan Allah untuk kebaikan manusia dan menyelesaikan persoalan manusia. Allah SWT telah menegaskan bahwa risalah Islam diperuntukkan bagi seluruh manusia dan agar menjadi rahmat (kebaikan) bagi mereka, baik Muslim ataupun non-Muslim (lihat QS 21: 107). Hal ini dibuktikan dalam sejarah panjang kaum Muslim, bahwa dalam pemerintahan Islam selama 800 tahun di Spanyol, pemeluk Islam, Kristen dan Yahudi mampu hidup berdampingan. Mereka mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara tanpa diskriminasi.
4. Berpihak kepada semua.
Hal ini dikaitkan dengan karakter hukum Islam yang berfungi sebagai zawâjir (pencegah) dan jawâbir (penebus dosa). Hukum Islam akan membuat jera pelaku kejahatan dan mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan kriminal. Tentu hal ini akan memberi rasa aman kepada masyarakat. Allah SWT berfirman dalam QS al-Baqarah 2: 179):
Dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa.
Hukum Islam juga berfungsi sebagai penebus dosa karena sanksi yang dijatuhkan di dunia dapat menebus azab di akhirat. Ubadah bin Shamit ra. berkata:
Kami pernah bersama Rasulullah saw dalam suatu majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membaiatku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri dan tidak berzina.” Kemudian beliau membaca keseluruhan ayat, “Siapa di antara kalian memenuhinya maka pahalanya di sisi Allah. Siapa saja yang mendapatkan dari hal itu sesuatu, kemudian diberi sanksi, maka sanksinya menjadi penebus dosa baginya. Siapa saja yang mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah menutupinya jika Dia berkehendak, Dia mengampuninya atau mengazabnya (HR al-Bukhari).
Hadis ini menjelaskan bahwa sanksi dunia, yakni sanksi yang dijatuhkan negara bagi pelaku kejahatan, akan menggugurkan sanksi di akhirat. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah saw,, pelaku zina seperti Maiz dan al-Ghamidiyah tidak segan-segan datang kepada Rasulullah untuk mengakui perzinaannya dan meminta negara agar menjatuhkan sanksi atas pelanggaran mereka di dunia, agar sanksi di akhirat atas mereka gugur.
5. Tidak diskriminatif.
Hukum Islam berlaku bagi pejabat atau rakyat, bagi Muslim atau non-Muslim. Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:
Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka menegakkan hukuman atas orang-orang lemah, tetapi membiarkan orang-orang kuat. Demi Allah, jika Fatimah mencuri, pasti aku memotong tangannya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umar pernah menyita unta putranya, Abdullah bin Umar, yang digembalakan bersama unta zakat di padang gembalaan terbaik. Khalifah Umar pun pernah menghukum putra Amr bin Ash, Gubernur Mesir, karena memukul rakyat biasa. Sejarah juga telah menunjukkan kepada kita, bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. pernah mendakwa seorang Yahudi dengan tuduhan pencurian (atas baju besi). Namun, karena bukti-bukti yang disodorkan Khalifah Ali ra. tidak mencukupi (meyakinkan), maka Qadhi memutuskan untuk membebaskan orang Yahudi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meski seorang kepala negara (Khalifah) mendakwa salah seorang rakyatnya dengan tindak kejahatan, maka tetap melalui prosedur persidangan. Jika tidak terbukti, ia dibebaskan. Ini menunjukkan, seluruh warga negara memiliki kedudukan sama di muka hukum.
6. Mekanisme kontrol yang kokoh.
Mayoritas permainan hukum terjadi melalui praktik suap-menyuap, hadiah, kolusi dan nepotisme. Dalam hukum Islam, peluang terjadinya hal tersebut sangat kecil. Mengapa?
Pertama: karena ditopang oleh ketakwaan individu warga negara yang kuat. Dominannya motivasi ruhiah, mendorong al-Ghamidiyah yang terlanjur berzina datang kepada Rasulullah saw. dan meminta beliau untuk mensucikan dirinya dari perbuatan dosa. Motivasi yang sama telah mendorong Qadhi Syuraih untuk tidak gegabah dalam memutuskan sengketa Khalifah Ali dengan orang Yahudi, hingga saat bukti tidak ia dapatkan dari Khalifah, putusan akhirnya dimenangkan oleh Yahudi. Demikian juga dengan Abdullah bin Rawahah yang dengan tegas menolak sogokan Yahudi Khaibar agar ia tidak menunaikan tugasnya (menarik setengah bagian hasil pertanian mereka).
Kedua: kewajiban amar makruf nahi mungkar telah mendorong adanya kontrol sosial dari partai politik dan masyarakat secara umum. Kontrol yang kuat inilah yang akan mempersempit ruang bagi tindak kejahatan, baik yang dilakukan masyarakat umum, pejabat ataupun aparat hukum.
Ketiga: adanya peran Mahkamah Mazhalim dalam melakukan pengawasan secara sitemik terhadap para aparat untuk tidak berbuat curang dan melakukan permainan hukum.
Semoga referensi ini bermanfaat... :D
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar