Skip to main content

Pembagian al-Maslahah Ditinjau dari Tujuan Tasyri'

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: May 05, 2012

Sebagaimana dimaklumi bahwa tujuan-tujuan tasyri’ adalah kemaslahatan hamba. Karena itu, secara garis besar, para ulama ushul membagi al-Mashlahah menjadi dua:
Al-Mashlahah al-Mu’tabarah
Nama lain dari al-Mashlahah al-Mu’tabarah adalah al-Mashlahah al-haqiqiyyah, yaitu kemaslahatan yang diwujudkan oleh hukum-hukum Islam yang penetapanya berdasarkan nas-nas syar’iy.
المصلحة الحقيقية هي المصلحة الإسلامية التي تحققها الأحكام الإسلامية التي تثبتها النصوص الدينية.
Salah satu contoh al-Mashlahah al-Mu’tabarah adalah diundakannnya hukum kisas untuk mewujudkan kemaslahatan, yaitu menegakkan sendi-sendi keadilan dalam kehidupan yang mengarah pada kedamaian dan ketenteraman hidup, sebagaimana firman Allah:
ولكم في القصاص حياة يأولي الألباب.
Wahbah al-Zuhailiy menamakannya dengan istilah al-Manasib al-Mu’tabar, yaitu suatu sifat kemaslahatan yang esensinya dikuatkan oleh syarak dengan jalan menetapkan hukum-hukum ‘ámaliy tafshiliy supaya dapat terwujud kemaslahatan tersebut.
المناسب المعتبر هو ما شرع الشارع باعتباره بأن وضع من الأحكام التفصيلية ما يوصل إليه
Contoh dari al-Manasib al-Mu’tabar adalah terlarangnya seorang wanita menjadi pemimpin negara dengan ‘illat memberatkan tugas wanita, bertentangan dengan maksud syarak. Larangan tersebut berdasarkan analogi (al-qiyas) pada terlarangnya wanita memimpin kaum lelaki dalam keluarga, sebagai mafh­m mukhalafah dari firman Allah QS al-Nisa’: 34:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم.
Al-Mawardiy dalam bukunya Ahkam al-Sulthaniyyah, menegaskan bahwa laki-lakilah yang sah menjadi pemimpin dalam keluarga, karena mereka memiliki kelebihan di bidang akal dan ra’yi, karenanya tidak dibenarkan wanita memimpin laki-laki dalam keluarga.
Al-Mashlahah al-Mursalah
Al-Mashlahah al-Mursalah adalah maslahat yang diwujudkan suatu kondisi atau problematika yang muncul setelah terputusnya wahyu, sementara syari’ tidak mengundangkan hukum-hukum yang menyatakan maslahat tersebut dan tidak ada dalil yang menganggap atau menolaknya.
Di samping definisi di atas, terdapat definisi lain, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syari’ dan tidak terdapat dalil-dalil yang menyuruh mengerjakan atau meninggalkannya, sedang kalau dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau maslahat.
Nama lain dari al-Mashlahah al-Mursalah adalah al-Mashlahah al-Muthlaqah. Wahbah al-Zuhailiy memberikan nama lain, yaitu al-Manasib al-Mursal, yaitu sifat maslahat yang tidak dijelaskan esensinya oleh syarak, ditolak atau diterima secara nas atau ijmak.
Sjechul Hadi Permono menjelaskan sifat al-Mashlahah yang lain, yaitu mashlahah al-Mulgah, dengan istilah al-Manasib al-Mulgah, artinya suatu sifat maslahat yang kelhatannya dapat merealisasikan kemaslahatan, akan tetapi tidak diakui oleh syarak. Terhadap sifat maslahat seperti itu, ulama ushul sepakat menolaknya sebagai ‘illat hukum.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa al-Mashlahah al-Mursalah itu tidak disinggung oleh nas-nas syarak tentang keberadaannya, namun tidak ada kejelasan diterima atau ditolaknya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Syaikh Muhammad al-Khudhariy Bik, Ushul al-Fiqh (Bairut: Dar al-Fikr, 1988). Abu Hasan ‘Aliy al-Mawardiy, Ahkam al-Sulthaniyyah (Bairut: Dar al-Fikr, 1984). Departemen Agama RI, Ushul al-Fiqh, Jilid I (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1998). Sjechul Hadi Permono, Kontekstualisasi Fikih dalam Era Globalisasi (Surabaya: Orasi Ilmiah dalam rangka pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Fikih, 1994).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar