Skip to main content

Sumpah Palapa; Refleksi Kritis Gajah Mada Sebagai Simbol Pemersatu

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: April 05, 2012

Sejarah adalah suatu hasil studi tentang perbuatan dan hasil hasil kehidupan manusia dalam masyarakatnya di masa silam. Sejarah, diungkapkan melalui studi disiplin ilmu:
Filologi, ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah naskah kuno pada lontar, daluwang, kertas;
Epigrafi, ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam, yang dikenal sebagai prasasti;
Arkeologi, ilmu yang mempelajari benda benda peninggalan sejarah (artefak).
Ilmu pengusung lainnya, adalah geografi sejarah (ilmu yang mempelajari peta sejarah), linguistik (ilmu yang mempelajari kebahasaan) dan antropologi (ilmu yang mempelajari kebudayaan).
***
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Beliau Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Inilah Sumpah Palapa yang diucapkan Mahapatih Gajah Mada di hadapan Raja Tribhuwanatunggadewi (1328-1372) dari Kerajaan Majapahit seperti yang ditulis dalam Pararaton. Berdasarkan sumber ini pemerintah Indonesia “memanfaatkannya” sebagai alat politik untuk menyatukan Indonesia. Apalagi dari sumber Nagarakertagama disebutkan nama-nama tempat di Indonesia. Dengan penyebutan ini maka beberapa sejarahwan “mengklaim” bahwa wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit seluas Indonesia sekarang.
Berkaca pada interpretasi kewilayahan tersebut, pemerintah berusaha “mengangkat” kembali “kejayaan” Majapahit dengan melakukan pembangunan Pusat Informasi Majapahit di Trowulan yang pada akhirnya menimbulkan polemik pro dan kontra. Jalan keluar untuk “mendiamkan” polemik tersebut, dilakukan usaha pelurusan dengan melakukan penelitian arkeologis dan pameran Majapahit di Trowulan. Lepas dari kegiatan tersebut, masih perlukah Sumpah Palapa dijadikan alat pemersatu Nusantara?
Berdasarkan sumber sejarah yang sampai kepada kita, wilayah kekuasaan Majapahit hanya meliputi sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Bali. Di dalam wilayah ini terdapat 21 negara daerah antara lain Mataram, Pajang, Lasem, Kadiri, Lumajang, Madura, Bali, dan Gurun yang masing-masing diperintah oleh Paduka Bhattara.
Nagarakertagama menyebutkan sekurang-kurangnya 60 nama tempat di Nusantara mulai dari Sumatra hingga Maluku/Irian. Juga nama-nama tempat yang terdapat di Semenanjung Tanah Melayu. Dalam struktur kewilayahan, tempat-tempat ini disebut desantara kacayya, yaitu daerah yang mendapat perlindungan Raja Majapahit. Daerah-daerah ini bukan merupakan wilayah kekuasaan Majapahit. Pemberian upeti (tributary) pada waktu-waktu tertentu kepada Raja Majapahit, tidak lain sebagai tanda terimakasih karena Raja telah melindungi, dan bukan sebagai tanda tunduk. Ini seperti halnya kerajaan-kerajaan di Nusantara memberikan “upeti” kepada Kaisar Tiongkok agar urusan dagangnya direstui Kaisar.
Negara asing yang mempunyai hubungan dengan Majapahit, antara lain Ayudhyapura, Dharmanagari, Marutma, Rajapura, Singhanagari, Campa, dan Kamboja. Negara-negara yang ada di Asia Tenggara daratan ini menjalin hubungan politik dan perdagangan dengan Majapahit. Dalam kewilayahan negara-negara ini disebut mitra satata, negara-negara sahabat yang setara.
Nusantara pada masa Majapahit, mungkin hanya satu kerajaan yang tidak “tunduk” pada Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda. Kalau Sumpah Palapa dianggap sebagai politik penyatuan Nusantara di bawah Majapahit, maka politik tersebut berhenti pada tahun 1357, yaitu ketika terjadi peristiwa Perang Bubat (perang antara orang Sunda dan orang Majapahit). Logikanya, kalau suatu daerah yang masih satu daratan saja tidak mau tunduk, bagaimana dengan daerah lain yang letaknya jauh dari pusat kerajaan. Ini tentunya memerlukan tentara dan kekuatan laut yang besar.
Ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto (1967-1998), Sumpah Palapa dijadikan alat politik untuk menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Sebuah alat komunikasi yang berupa satelit mengambil nama dari sumpah yang diucapkan Mahapatih Gajah Mada, yaitu “Palapa”. Dalam konteks kekinian, masih relevankah dipakainya nama “Palapa” sebagai alat politik untuk persatuan dan kesatuan bangsa? Boleh jadi malah bisa menjadi boomerang bagi bangsa ini, karena belum tentu suatu daerah suka dengan alat politik itu.
Peristiwa Perang Bubat antara Majapahit dan Sunda (1357) menjadi semacam “luka sejarah” yang cukup mengakar di masyarakat Sunda. Tidak ditemukannya nama-nama jalan Majapahit, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada di kota-kota besar tatar Sunda merupakan cerminan dari “luka sejarah” itu. Sampai kapan pun kita tidak menemukan nama-nama jalan itu!
Dulu ketika pemerintahan masih sentralisasi, Palapa masih dapat dijadikan alat politik untuk persatuan sepanjang tidak dipandang sebagai Jawanisasi. Namun pada saat ini Palapa sudah tidak relevan lagi. Boleh jadi masyarakat dari daerah yang disebutkan dalam Nagarakertagama tidak merasa sebagai “jajahan” Majapahit, ingin melepaskan diri dari pengaruh Jawa. Apalagi dalam Nagarakertagama jelas-jelas disebutkan bahwa daerah-daerah tersebut bukan merupakan jajahan Majapahit. Perlu dicermati, sebuah pemekaran wilayah setingkat provinsi yang berlatar budaya pada akhirnya akan menuntut menjadi semacam negara bagian. Semoga ini tidak terjadi.
Referensi Makalah®
*Sebagian data diambil dari Sini
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar