Skip to main content

Manfaat Mempelajari Asbab al-Nuzul Menurut al-Zarqaniy

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: April 28, 2012

Secara terinci, al-Zarqaniy menyebutkan tujuh faedah atau kegunaan mempelajari asbab al-nuzul, yaitu:
  1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia Allah dalam mensyariatkan agama-Nya melalui Al-Quran. Pengetahuan yang demikian akan memberi manfaat, baik bagi orang-orang Islam maupun non-Islam. Bagi orang Islam, ia akan bertambah keimanannya dan memiliki hasrat yang besar untuk menerapkan hukum-hukum Allah, sebab terlihat baginya keistimewaan-keistimewaan yang terkandung dalam hukum-hukum yang ditetapkan melalui Al-Quran. Sebaliknya, bagi orang non-Islam, hikmah-hikmah yang terkandung dalam syariat Allah itu akan menggiringnya beriman, sebab ia mengetahui bahwa syariat Allah datang untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk penindasan atau pemerasan.
  2. Membantu dalam memahami ayat. Sebagai contoh kesulitan yang dialami 'Urwah ibn al-Zubair dalam memahami Shafa dan Marwah yang terdapat QS al-Baqarah (2): 158. Sebelum mengetahui asbāb al-nuzūl ayat tersebut, ia berpendapat bahwa tidak ada dosa bagi seseorang yang tidak melaksanakan sa’i antara Sahafa dan Marwah, sebab dalam ayat itu terdapat klausa فلا جناح عليه. Barulah ia memahami ayat itu dengan benar setelah mendengar penjelasan dari 'Aisyah mengenai asbāb al-nuzūl nya. Menurut 'Aisyah, ayat tersebut turun kepada orang-orang Anshar yang sebelum masuk Islam mereka berhaji dengan menyembah berhala yang terdapat di sekitar itu. Setelah masuk Islam, mereka enggan melakukan sa'i karena teringat akan masa lalu mereka. Oleh karena itu, ayat tersebut merupakan bantahan terhadap rasa keberatan mereka melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah.
  3. Menolak dugaan adanya pembatasan dalam ayat, yang menurut lahirnya mengandung pembatasan. Sebagai contoh, al-Syafi'iy berpendapat bahwa pembatasan dalam QS al-An'am (6): 145, tidak termasuk dalam ayat itu sendiri. Untuk menolak dugaan terhadap pembatasan dalam ayat itu, dapat diketahui melalui sebab turunnya yang berkenaan dengan sikap orang-orang kafir yang suka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya. Hal itu dilakukan karena pembangkangan dan penolakan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ayat itu turun dalam bentuk pembatasan formal sebagai tekanan yang keras dari Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, bukan maksud hakikat pembatasan. Menurut Imam al-Haramain, sekiranya tidak ada penjelasan al-Syafi'iy terhadap maksud ayat itu, maka semua umat Islam akan berpendapat seperti Malik ibn Anas yang membatasi segala yang haram pada apa yang termaktub dalam ayat itu.
  4. Mengkhususkan hukum pada sebabnya. Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal (العبرة بخصوص السبسب لا بعموم اللفظ). Sebaliknya, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang mesti diperpegangi adalah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab (العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب). Jika terjadi persesuaian antara ayat yang turun dengan sebab turunnya dalam hal keumumannya, atau terjadi persesuaian antara keduanya dalam hal kekhususannya, maka diterapkanlah yang umum menurut keumumannya dan yang khusus menurut kekhususannya. Dengan kata lain, lafal yang umum mencakup semua kasus yang serupa dengan sebab turunnya ayat itu, sedangkan lafal yang khusus terbatas pada orang yang menjadi sebab langsung turunnya ayat itu.
  5. Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut, meski ada hal yang mengkhususkannya. Ulama sepakat bahwa hukum yang terkandung dalam sebab turunnya ayat itu berlaku selama-lamanya, sedangkan pengkhususan terbatas pada masalah di luar sebab. Sebagai contoh, QS al-Nur (24): 23-25 turun secara khusus kepada 'Aisyah dan para isteri Nabi Muhammad yang lain. Allah tidak menerima taubat orang-orang yang menuduh isteri Nabi Muhammad berbuat zina, tetapi dapat menerima taubat orang-orang yang menuduh berzina wanita mukmin selain isteri Nabi Muhammad, sebagaimana yang tercantum dalam QS al-Nur (24): 4-5. Dengan demikian, sekiranya tidak ada asbāb al-nuzūl yang menjelaskan hukum QS al-Nur (24): 23-25, maka orang akan memahami makna secara umum QS al-Nur (24): 4-5 dan menganggapnya berlaku pula pada kasus tuduhan berzina bagi isteri Nabi Muhammad.
  6. Mengetahui secara tepat orang yang menjadi sasaran turunnya ayat, sehingga tidak terjadi kesamaran. Sebagai contoh, Marwan menuduh 'Abd al-Rahman ibn Abiy Bakar sebagai sasaran turunnya QS al-Ahqaf (46): 17. Untuk menampik tuduhan itu, 'Aisyah berkata: "Demi Allah, ayat itu bukan turun untuk 'Abd al-Rahman. Sekiranya saya tidak menghargai orang itu, maka saya dapat menyebutkan namanya". Dengan demikian, seandainya 'Aisyah tidak memiliki pengetahuan asbāb al-nuzūl , maka tuduhan Marwan terhadap 'Abd al-Rahman tidak terbantahkan.
  7. Mempermudah seseorang menghafal ayat-ayat al-Quran sekaligus memperkuat ingatan orang yang mendengarnya. Pertalian antara sebab dan akibatnya, hukum dan peristiwanya, peristiwa dan pelakunya, serta masa dan tempatnya, merupakan faktor-faktor penyebab terlukisnya suatu ayat dalam ingatan seseorang.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar