Skip to main content

Umur Anak yang Menyusui Sebagai Akibat Haramnya Perkawinan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 04, 2012

Jumhur ulama sepakat bahwa umur anak yang menyusui sebagai akibat haramnya perkawinan adalah di bawah umur dua tahun. Pendapat ini cukup beralasan, baik dilihat dari segi dalil naqliy maupun dalil ‘aqliy.
Terdapat sebuah ayat al-Quran yang dapat dijadikan argumentasi untuk mendukung pendapat ini, yaitu QS al-Baqarah (2): 233 yang berbunyi:
والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…
Ayat di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa waktu penyusuan bagi seorang anak, paling lama dua tahun. Jika penyusuan melebihi dari waktu tersebut, maka segala konsekuensi hukum yang diakibatkan oleh penyusuan tidak berlaku lagi.
Bayi yang umurnya di bawah dua tahun, makanan yang dibutuhkan dalam masa pertumbuhannya itu hanyalah air susu ibu. Air susu ibu merupakan makanan pokok yang dibutuhkan bayi pada usia tersebut. Karenanya, meski bayi pada usia itu tidak diberi makanan tambahan, maka air susu ibunya akan mampu membentuk perkembangan tubuhnya. Sebaliknya, meski bayi pada usia itu diberi makanan tambahan, maka yang lebih dominan dalam pertumbuhan bayi itu adalah air susu ibunya.
Berbeda dengan pendapat Jumhur di atas, sebagian ulama Salaf berpendapat bahwa tidak berbeda, apakah susuan itu terjadi pada masa kecil ataukah terjadi sesudah dewasa, maka susuan itu tetap mengakibatkan haramnya perkawinan, sebab susuan orang dewasa sama halnya dengan susuan anak yang masih bayi.
Pendapat ulama Salaf ini berdasar pada studi kasus yang terjadi pada diri Ummi Kaltsum. Suatu ketika, ‘Aisyah pernah menyuruh Ummi Kaltsum agar ia menyusui laki-laki lain yang ingin bebas keluar masuk rumahnya. Kasus yang serupa juga terjadi pada isteri Abu Hudzaifah. Suatu ketika, isteri Abu Hudzaifah datang menghadap kepada Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, Salim (mantan budak Abu Hudzaifah) sering masuk ke rumahku padahal ia sudah dewasa, sementara itu Abu Hudzaifah terkadang cemburu kepadanya”. Mendengar kasus tersebut, Rasulullah menjawab: “Susuilah dia agar dia halal bertemu dengan kamu”.
Menanggapi pendapat ulama Salaf di atas, Ibn al-Qayyim berkata bahwa kasus-kasus yang dijadikan argumentasi oleh ulama Salaf merupakan ketentuan yang bersifat khusus, tidak berlaku secara umum bagi setiap orang. Kasus itu merupakan suatu izin khusus karena adanya keperluan yang sangat penting antara seorang laki-laki dengan wanita yang bukan mahram-nya. Pendapat Ibn al-Qayyim ini cukup beralasan, sebab akan terjadi kesulitan berkomunikasi di antara mereka jika wanita mahram itu harus memakai hijab.
Dengan demikian, susuan orang dewasa yang mengakibatkan haramnya perkawinan adalah susuan yang terjadi bagi seorang laki-laki dengan seorang wanita yang di antaranya selalu terjaling komunikasi dengan berbagai kepentingan. Adapun susuan orang dewasa yang tidak ada kepentingannya, tidak mengakibatkan haramnya perkawinan.
Makalah tentang haramnya perkawinan karena pertalian susuan, dapat anda download gratis di sini
Kepustakaan:
R.Badri, Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan dan KUHPerdata, Surabaya: CV. Amin, 1985. RS Abdul Aziz, Rumah Tangga Bahagia dan Sejahtera, Semarang: CV. Wicaksana, 1990.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar