Skip to main content

Pendapat Ulama tentang Ayat Muhkam dan Mutasyabih

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 15, 2012

Secara terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan defenisi muhkam dan mutasyabih. Al-Zarqani mengemukakan 11 defenisi yang sebagiannya dikutip dari as-Suyuthi. Diantaranya defenisi yang dikemukakan al-Zarqani adalah berikut ini.
Muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang samar (tidak jelas) maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf muqatta’ pada awal surah. Pendapat ini disandarkan kepada oleh al-Alusy kepada mazhab Hanafi.
Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya, seperti datangnya hari kiamat, keluarnya dajjal dan huruf-huruf muqatta’ diawal surah. Pendapat ini disandarkan kepada ahlussunnah sebagai pendapat yang terkuat dikalangan mereka.
Muhkam ialah ayat yang hanya dapat ditakwil dengan satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak makna takwil. Pendapat ini disandarkan pada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fiqih.
Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tapi memerlukan keterangan karena adanya perbedaan takwil yang beragam. Pendapat ini disandarkan pada Imam Ahmad bin Hanbal.
Muhkam ialah ayat yang memiliki susunan dan urutan yang baik sehingga membawa kepada makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak terjangkau ilmu bahasa manusia kecuali bila ada bersamanya indikasi atau tanda-tanda yang menjelaskannya. Pendapat ini disandarkan pada Imam al-Haramain.
Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya hingga tidak mengakibatkan kesulitan arti. Mutasyabih ialah ayat yang tidak dapat dipahami maknanya sehingga mengakibatkan kemusykilan atau kesukaran. Pendapat ini disandarkan pada Imam Ath-Thibi.
Muhkam ialah ayat yang tunjukkan maknanya kuat baik secara lafal nash atau lafal zhahir. Mutasyabih ialah ayat yang tunjukkan maknanya tidak kuat (lemah) yaitu lafal mujmal1, muawwal2, musykil3. Pendapat ini disandarkan pada Imam al-Razidan banyak peneliti yang memilihnya.
Muhkam ialah lafal yang isi maknanya dapat diamalkan, karena sudah jelas dan tegas. Mutasyabih ialah lafal yang isi maknanya tidak perlu diamalkan melainkan cukup diyakini. Pendapat ini disandarkan pada Ikrimah dan Qatadah.
Muhkam ialah ayat yang maknanya rasional artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu sudah dapat ditangkap. Mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan.
Muhkam ialah yang tidak berulang-ulang lafal-lafalnya dan mutasyabih ialah yang berulang-ulang lafalnya.
Muhkam ialah lafal yang tidak dinasakh atau tidak dihapuskan isi hukumnya, dan mutasyabih ialah lafal yang sudah dinasakh hukumnya sehingga tidak berlaku lagi.4
Menurut al-Zarqani bahwa defenisi-defenisi ini tidak bertentangan bahkan diantaranya terdapat persamaan dan kedekatan makna. Namun, menurut dia, pendapat Imam al-Razi lebih jelas karena masalah ihkam dan tasyabuh sebenarnya kembali kepada persoalan jelas atau tidaknya makna yang dimaksud Allah dari kalam yang diturunkannya. Defenisi yang dikemukakan Imam al-Razi merupakan defenisi yang jami’ (mencakup person-personnya) dan mani’ (menolak segala yang diluar person-personnya).
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
[1]Mujmal berarti bersifat global dan memerlukan perincian/penjelasan. Lihat Shubhi al-Shalih. Mabahis fi ‘Ulumil Quran.Beirut. Dar al-I’Ilmi lil Malayin.2000. juz 1. (Maktabah al-Syamilah)
[2]Muawwal berarti lafadz yang perlu ditakwil agar dapat dipahami. Ibid
[3]Musykil berarti maknanya pelik dan sulit dipahami. Ibid
[5]Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqani. op. cit. h. 272-277. Lihat juga Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Al-Itqan fi ‘Ulumil Quran. Alih Bahasa Farikh Marzuqi Ammar, Imam Fauzi Ja’iz. Samudra Ulumul Qur’an. Surabaya. PT Bina Ilmu.2008. Jilid III. h. 2-3. Lihat juga Abdul Jalal H.A. Ulumul Qur’an. Surabaya. Dunia Ilmu. 2000. h. 240-242.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar