Skip to main content

Kadar Susuan yang Mengharamkan Perkawinan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 04, 2012

Mengenai berapa kali jumlah susuan yang mengharamkan perkawinan, apakah hanya satu kali dan menyedot sebentar air susu ataukah susuan itu harus berlangsung beberapa kali dengan kadar sedotan yang lama? Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama:
Pertama, menurut pendapat ‘Ali bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, Sa’id ibn Musayyab, al-Zuhriy, Qatadah, dan Hammad, jumlah bilangan susuan tidak menjadi pokok, tetapi yang pokok adalah menyusui. Jadi, menyusui satu kali, baik dengan kadar yang sedikit atau banyak, hal itu sudah mengakibatkan haramnya perkawinan. Pendapat ini kemudian diikuti oleh beberapa imam mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik, al-Auza’iy, dan al-Tsauriy.
Kedua, menurut pendapat ‘Abdullah ibn Zubair, ‘Atha’, dan Thawus, jumlah bilangan susuan yang mengharamkan perkawinan adalah lima kali susuan dengan kadar yang mengenyangkan. Pendapat ini kemudian diikuti oleh imam al-Syafi’iy dan Ahmad ibn Hanbal menurut salah satu riwayat.
Ketiga, menurut pendapat Abu ‘Ubaid dan Ibn al-Mundzir, susuan yang mengaharmkan perkawinan adalah tiga kali susuan ke atas. Pendapat ini kemudian diikuti oleh beberapa imam mazhab, seperti Abu Tsaur, Abu Dawud al-Zhahiriy, dan Ahmad ibn Hanbal menurut salah satu riwayat.
Dari tiga pendapat yang disebutkan di atas, yang paling toleran dan dapat diterima logika adalah pendapat kedua. Menurut pendapat tersebut, jika susuan yang mengenyangkan tidak mencapai jumlah lima kali, atau jumlah susuan cukup lima kali tetapi tidak sampai mengenyangkan anak yang menyusui tersebut, maka hubungan antara anak dengan wanita yang menyusuinya belum dikatagorikan sebagai ibu susu.
Pendapat ini dinilai kuat, sebab yang dimaksud susuan yang sesungguhnya adalah susuan yang sempurna, yaitu anak yang menyusui langsung menyedot air tetek dan anak tersebut tidak berhenti menyusu kecuali atas kemauannya sendiri tanpa ada paksaan.
Dengan demikian, jika anak itu hanya menyusu di bawah lima kali susuan, maka hal itu tidak mengakibatkan berlakunya larangan perkawinan, sebab susuan yang dilakukan anak tersebut belum disebut sebagai susuan yang sempurna dan memuaskan.
Kepustakaan:
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur'an, 1983/1984. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar