Skip to main content

Pluralisme: Menelusuri Kesatuan Transendensi Agama-agama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 09, 2012

Pengalaman keagamaan (religions experience) seringkali didefinisikan sebagai pencarian akan realitas azali. Dalam usahanya itu, agama-agama pun tampak sering merasa terdorong untuk menegaskan dirinya sebagai unik dalam pengertian satu-satunya dan universal. Secara implisit, tidak sedikit agama yang memperlihatkan kecenderungan untuk menyatakan diri sebagai agama yang paling benar menuju keselamatan atau pembebasan. Dalam konteks seperti inilah tampaknya klaim-klaim kebenaran (truth claim) itu muncul.
Namun, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada orang-orang Muslim kesadaran tersebut melahirkan sikap-sikap sosial keagamaan yang unik, yang jauh berbeda dengan sikap-sikap sosial keagamaan para pemeluk agama lain, kecuali setelah munculnya zaman modern berikut ideologi modern yang melingkarinya. Sesungguhnya sikap-sikap dan prinsip itu tampak jelas pada sikap dasar sebagian besar umat Islam hingga kini, namun menerangkan bentuknya yang sangat fenomenal pada generasi kaum Muslim yang paling dini.
Landasan prinsip-prinsip itu ialah berbagai nuktah ajaran dalam Kitab Suci bahwa Kebenaran Universal, dengan sendirinya, adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manifestasinya dalam sejarah sangat beragam. Pandangan seperti ini pada urutannya menghasilkan pandangan antropologis: bahwa pada mulanya umat manusia adalah tunggal, karena berpegang pada kebenaran yang tunggal. Tetapi kemudian mereka berselisih sesama mereka, justru setelah penjelasan tentang “kebenaran” itu datang dan mereka mencoba memahami setaraf dengan kemampuan dan sesuai dengan keterbatasan mereka. Maka terjadilah berbagai penafsiran sebagai suatu bentuk respon intlektual terhadap kebenaran yang tunggal tadi, yang perbedaan itu kemudian kian menajam oleh masuknya vested interest akibat nafsu memenangkan suatu persaingan. Kesatuan asal umat manusia itu diilustrasikan dalam firman Ilahi: “tiadalah manusia itu melainkan semula merupakan umat yang tunggal, kemudian mereka berslisih.”
Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal itu ialah paham tentang Ketuhanan Yang Maha Esa atau tawhid secara harfiah berarti “memahaesakan” yakni, memahaesakan Tuhan. Bahwa manusia sejak dari semula keberadaannya menganut tawhid juga dilambangkan dalam diri dan keyakinan Adam, yang dalam agama-agama semitik Yahudi, Kristen, dan Islam, kecuali sedikit dari mereka dipandang sebagai tidak saja manusia pertama, tetapi juga nabi dan rasul pertama. Kebenaran empirik proposisi ini, sudah barang tentu membutuhkan penelitian ilmiah yang komprehensif dalam bidang antropologi.
Karena prinsip dan inti ajaran para nabi dan rasul itu sama, maka para pengikut semua nabi dan rasul dengan sendirinya adalah umat yang satu atau tunggal. Karena itu,sangat tepat jika Ibn Taimiyah melihat al-Islam dan maknanya yang generik, menjadi sari pati dan inti semua agama yang benar dan otentik. Meskipun demikian, penampakan al-Islam dalam sejarah kemanusiaan memiliki bentuk yang plural dan syari’at yang beragama pula, hanya saja inti ajarannya selalu mengacu kepada sikap penuh pasrah dan berserah diri serta tunduk dan patuh hanya kepada Dzat Yang Maha Esa.
Dari sudut pandang inilah kita dapat memahami lebih baik penegasan dalam Kitab Suci bahwa penganut agama selain al-Islam atau yang tidak disertai dengan sikap penuh pasrah dan berserah diri kepada Allah sebagai ‘benang merah Kebenaran Tunggal” adalah suatu sikap yang tidak sejati, dan karena itu tertolak. Sekalipun secara formal kemasyarakatan seorang “beragama Islam” atau “Muslim” misalnya, tetapi jika tidak terdapat padanya “benang merah” ketulusan sikap-sikap (al-Islam) itu, maka ia juga dikategorikan sebagai memiliki sikap keagamaan yang tidak sejati, dan tertolak. Penegasan dalam kitab suci itu termuat dalam firman Ilahi yang amat terkenal, “sesungguhnya agama di sisi Allah ialah al-Islam” (Q.s. Ali Imran/3:19).
Jika memang kita mesti (dan boleh) menggunakan istilah “teologi pembebasan” seperti populer dikalangan para aktifis keagaan (Katolik) di Amerika Latin, maka kalimat persaksian tersebut di atas adalah “teologi pembebasan” yang sebenar-benarnya. Sebab, tidak akan terjadi pembebasan pada diri pribadi manusia sebelum ia meyakini makna dan semangat seperti terkandung dalam kalimat persaksian itu secara sungguh-sungguh dan membawanya ke dalam kehidupan nyata dengan sungguh-sungguh pula. Disinilah letak pesan tawhid yang universal itu, doktrin ini menjadi inti dan prinsip dari semua penganut agama kitab suci dan tradisi yang otentik. Meskipun, tetap diakui bahwa “manifestasi” ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa itu dalam agama-agama memiliki bentuk yang plural, seperti telah diuraikan sebelumnya.
Adanya persamaan itu tentunya tidaklah perlu mengejutkan. Sebab semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Maha Benar (al-hâqq). Dan semua Nabi dan Rasul membawa ajaran kebenaran yang sama seperti itu perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Karena itu perbedaan yang muncul tidaklah prinsipil, sementara ajaran pokok atau syari’at para Nabi dan Rasul adalah sama. Berikut akan dikutip beberapa ayat, sekaitan dengan misi dan Rasul adalah sama pada setiap Nabi dan Rasul:
Dia (Allah) telah mensyari’atkan bagimu, yaitu agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad), juga apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: “ikutilah agama itu dengan teguh, dan janganlah kamu bercerai-berai mengenainya. Sungguh berat atas orang-orang musyrik apa yang engkau (Muhammad) serukan. Allah membimbing ke seruan itu orang yang dikehendakinya, dan dia memberi petunjuk ke arah seruan itu siapa saua yang kembali (kepada-Nya).
Sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad) sebagaimana Kami telah wahyukan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya, dan (sebagaimana) telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, serta kepada Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan kepada Dawud telah Kami beri Zabur. Juga kepada rasul-rasul lainnya yang mereka itu telah Kami kisahkan kepada engkau sebelumnya, dan kepada rasul-rasul yang mereka itu tidak Kami kisahkan kepada engkau. Dan Allah sungguh telah berbicara kepada Musa. Mereka itu sebagai rasul-rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia terhadap Allah setelah datangnya rasul-rasul itu. Allah adalah Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.
Katakanlah olehmu sekalian (wahai orang-orang yang beriman)” “Kami beriman kepada Allah dan kepada sesuatu (ajaran) yang diturunkan untuk kami, dan sesuatu ajaran yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak-anak turunannya, dan yang diberikan kepada Musa, dan Isa, serta yang diberikan kepada semua para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan salah seorangpun di antara mereka, dan kami semua pasrah kepada-Nya.”
Janganlah kamu berbantahan dengan Ahl al-Kitab, melainkan dengan sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dari kalangan mereka. Dan katakanlah (kepada mereka), “Kami beriman kepada (kitab suci) yang diturunkan (oleh Tuhan) kepada kami, dan (kitab suci) yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan Kamu adalah satu, dan kita semua pasrah kepada-Nya.”
Oleh karena itu, (wahai Nabi) ajaklah, dan tegaklah engkau sebagaimana diperintahkan, serta janganlah engkau mengikuti keinginan nafsu mereka. Dan katakan kepada mereka: “Aku beriman kepada kitab manapun yang diturunkan Allah, dan aku diperintahkan untuk bersikap adil diantara kamu. Allah (Tuhan Yang Maha Esa) adalah Tuhan kami dan Tuhan Kamu sekalian. Bagi kami amal kami, dan bagi kamu amal perbuatan kamu. Tidak perlu perbantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua. Dan kepada-Nya itulah semuanya akan kembali.
Bukan tanpa alasan mengapa ayat-ayat di atas dikutip secara panjang lebar. Hal tesebut dimaksudkan untuk menegaskan adanya kesinambungan, kesatuan dan persamaan agama-agama para Nabi dan Rasul itu. Kendatipun dalam sejarah kemanusiaan terlihat adanya anomali-anomali dalam memahami pesan-pesan agama yang implikasinya tidak saja menciptakan konflik atau pun konfrontasi antar agama tetapi juga karena dalam masyarakat kita sekarang ini, baik Muslim maupun yang bukan, tidak banyak orang yang menyadari adanya pandangan itu. Atau tidak banyak orang yang secara sungguh-sungguh memperlihatkan dan memikirkan berbagai amplikasinya. Disinilah pemahaman tentang pluralisme agama-agama tetapi bersumber dari kebenaran yang tunggal itu menemukan signifikansinya.
Referensi  Makalah®
Kepustakaan:
Nurcholis Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Muhammad ‘Abd al-Baqi, Beirut: Dar al-Fikr, 1955. Ibn Taymiyyah. Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqim, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Q.s., al-Anbiyâ’/21:25. Q.s. Ali ‘Imran/3:64: Nurcholish Madjid, :Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang” dalam, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 1, Vol.IV, tahun 1993. Max Weber, The Sociology of Religion, terjemahan Inggris oleh Ephraim Fischoff, dengan pengantar oleh Talcott Parsons, Boston: Beacon Press, 1964. .s. al-Syura/42:13. Q.s. al-Nisa’/4:163-5. Q.s. al-Baqarah/2:136. Q.s. al-Ankabut/29:46. Q.s. al-Syura/42:15.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar