Skip to main content

Pendapat Ulama tentang Jual Beli Kredit dengan Tambahan Harga

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 17, 2012

Jual beli secara kredit dengan tambahan harga belum menyebar dan belum begitu dikenal oleh masyarakat zaman dulu, tetapi menyebar dan mendunia hingga menjadi semacam wabah penyakit yang menimpa penduduk dunia pada kurun waktu berikutnya. Oleh karena itu, cukup masuk akal jika kita tidak mendapatkan pembahasannya dalam kitab-kitab fikih dan tidak pula dalam kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan pembahasan dalam fikih.
Dalam masyarakat modern sekarang ini, pembelian barang secara kredit akhir-akhir ini banyak sekali terjadi. Karena memang ada anggota masyarakat yang membutuhkan suatu barang tetapi tidak mempunyai uang tunai, dan tidak ada penjual barang tersebut kecuali dengan cara kredit dengan adanya tambahan harga. Sebaliknya, ada orang yang membutuhkan uang tunai tetapi tidak ada yang menghutanginya dengan cara yang baik (kecuali dengan bunga pula), sehingga tidak ada yang mneguntungkan baginya kecuali membeli secara kredit dengan ada tambahan harga.
Hukum jual beli kredit dengan tambahan harga, sedikitnya ada tiga pendapat ulama:
Haram secara Mutlak
Kelompok ulama yang mengharamkan secara mutlak jual beli kredit dengan harga tambahan, diwakili oleh mazhab Hadawiyah dari kelompok Zaidiyah serta sebagaian ulama yang lain. Mereka beralasan karena ada tambahan harga yang berarti sama dengan haramnya riba. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 275, yang berbunyi:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Orang-orang yang memakan (harta) riba, tiada berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dibantingkan oleh syaithan karena gila. Demikian itu karena mereka berkata: Jual beli itu hanya seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Wajh al-istidlal-al-istidlal-nya ayat di atas menurut mereka adalah keumuman ayat yang menunjukkan atas keharaman tiap-tiap tambahan, kecuali ada dalil lain yang mentakhshis-kannya. Riba dalam pengertian bahasa adalah tambahan, dan tambahan harga dalam jual beli kredit terhadap harga kontan merupakan tambahan tanpa ‘iwadh dalam akad, maka dia adalah riba.
Munaqasyah al-adillah terhadap ayat di atas, bahwa ayat tersebut tidaklah menghendaki haramnya tiap-tiap tambahan, ini sudah merupakan kesepakatan ulama. Dan dalam hal jual beli pun memang tidak bisa lepas dari tambahan harga itu, bukan berarti riba.
Menurut Anwar Iqbal Qurareshi bahwa fakta-fakta yang dan objektif menegaskan bahwa Islam memang melarang setiap pembungaan uang, tetapi hal ini tidak berarti bahwa Islam melarang perkreditan, sebab sistem perekonomian modern tidak akan lancar tanpa adanya kredit.
Hukum kaharamannya juga didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من باع بعيتين فى بيعه فله أو كسهما أو الربا رواه أبو داود
“Barangsiapa melakukan dua penjualan atas satu jenis barang, maka baginya yang paling murah (pertama) di antara keduanya atau menjadi riba. (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Saw., pernah melarang peruhal dua penjualan dalam satu akad, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين فى بيعه رواه الترمذى
“Rasulullah Saw., pernah mencegah (orang-orang) dari dua penjualan atas transaksi dalam satu produk (barang atau jasa)”. (HR. Turmudzi)
Wajh al-istidlal dari hadis di atas adalah mereka yang mengharamkan jual beli dengan sistem kredit, berdasarkan hadis di atas. Mereka berkata bahwa maksud hadis tersebut adalah penjual berkata kepada si pembeli harga secara kontan sekian dan harga secara kredit sekian (lebih tinggi), cara yang begini adalah dilarang karena si penjual mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, dan pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit.
Munaqasyah al-adillah terhadap hadis tersebut bahwa jumhur ulama justru membolehkannya berdasarkan keumuman dalil-dalil yang membolehkannya jual beli. Sebab yang dijadikan rujukan utama oleh mereka yang mengharamkan jual beli kreditialah riwayat pertama yang dikisahkan oleh Abu Hurairah. Padahal sudah dimaklumi bahwa dalam sanad riwayat tersebut terdapat seorang perawi yang menjadi pembicaraan ulama hadis. Jadi hadis-hadis bai’atain fi bai’atin yang terkenal itu, tidak dapat dijadikan hujjah.
Andai riwayat Abu Hurairah yang dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang infirad dapat dijadikan hujjah, tentu maksud dan pengertiannya tentu tidak menjadi ajang perselisihan ulama sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Ibnu Ruslan yang nengecam orang yang beralasan dengan dengan hadis tersebut. Sebab inti hadis di atas melarang dua penjualan atas satu produk, yaitu yang berkata bahwa, kalau kontan dengan harga sekian dan kalau kredit dengan harga sekian. Kecuali, apabila pihak penjual sejak awal sudah mengatakan “dijual secara kredit saja dengan harga sekian”, sekalipun dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga kontan. Padahal orang-orang yang berpegang teguh pada riwayat Abu Hurairah ini melarang jual beli dengan kredit juga. Sementara riwayat di atas tidak bermaksud demikian. Jadi hadis ini dijadikan rujukan untuk menghukum haramnya jual beli dengan kredit, kurang tepat.
As-Syaikh Nashirudin al-Albani, menjelaskan maksud larangan dalam hadis tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: jika kamu membeli dengan kontan, maka harganya sekian dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi). Atas dasar inilah jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan harga cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.
Dalam perkara jual beli kredit ini, Syaikh al-Albani memberikan nasehat:
“Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar dikalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli at-taqsith, dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan tambahan harga kontan, adalah jual beli yang tidak disyariatkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, dimana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia dan kasih sayang serta meringankan beban mereka”.
Munaqasyah al-adillah terhadap hadis di atas bahwa sangat dimungkinkan dalil tersebut bukan merupakan rush terhadap pembahasan ini. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hadis di atas, yang antara lain:
Imam Turmudzi berkata setelah meriwayatkan hadis Abu Hurairah seperti yang telah dikemukakan, “Hadis ini diamalkan oleh ahli ilmu. Sebagian ahli ilmu telah menjelaskan tentang dua penjualan dalam satu penjualan, yaitu ketika mereka berkata: Yang dimaksud dua penjualan di atas satu produk ialah seorang penjual mengatakan “saya menjual baju ini kepadamu dengan harga sepuluh ribu secara kontan dan dua puluh ribu secara kredit”.
Pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit. Akan tetapi bila ditentukan, maka tidak mengapa.
Imam Syafi’i mengatakan, “Yang dimaksud dengan larangan Nabi saw., mengenai dua penjualan atas satu produk ialah seseorang mengatakan, “saya menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual anakmu dijual kepada saya, maka pasti rumahku dijual kepadamu”. Penjualan semacam ini berbeda jauh dengan jual beli yang tidak ditentukan harganya sehingga dari masing-masing dari pihak penjual dan pembeli tidak tahu pasti akad jual beli mana yang dipilih”.
Ada juga yang menafsirkan bahwa maksud dari hadis tersebut bukanlah mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, seperti yang dipahami oleh orang yang mengharamkannya, melainkan mengenai jual beli ‘inah, yang maksudnya adalah larangan mengumpulkan dua akad dengan maksud lepas dari riba. Seperti seseorang menjual barang dagangannya kepada orang lain dengan harga yang sudah diketahui, diangsur sampai batas waktu tertentu. Kemudian ia membelinya kembali dari pihak pembeli dengan harga yang lebih murah.
Kepustaakaan:
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Sayyid Sabiq, Fikih al-Sunah, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1971. Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, Jakarta: Rajawali Press, 2002. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiah, t.th.  Al-Amien Ahmad al-Hajj Muhammad, Hukmu Baiy’ bit-Taqsith, Makkah: Dar as-Salafiyah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, 1414 H. Alih Bahasa Ma’ruf Abdul Jalil, Jual Beli Kredit Bagaimana Hukumnya, Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Muhammad Aqlah Ibrahim, Majalah asy-Syariah wa al-Dirasah al-Islamiyah, Kuwait: Fakultas Syariah, 1407. Anwar Iqbal Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang, Jakarta: Tintamas, 1985. Imam al-Hafizh Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats, Sunan Abi Dawud, kitabul buyu’, no. 3461, jilid 3, di Tahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Mekkah: Dar al-Baz, t.th. Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nail al-Authar, Riyadh: al-Risalah al-Ammah li al-Darat al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, t.th. As-Syaikh Nashirudin al-Albani, As-Shahihah, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th. Abu Isa Surah bin Isa, Sunan Turmudzi, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, t.th.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar