Skip to main content

Pendapat Ibnu Rusyd tentang Nikah Mut'ah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 06, 2012

Ibnu Rusyd mengatakan walaupun riwayat tentang pelarangan nikah mut’ah itu banyak tetapi masih diperselisihkan waktu terjadinya. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa ada enam riwayat menyebutkan pelarangan tersebut. Pertama, disebutkan bahwa Rasulullah melarangnya pada waktu perang Khaibar; kedua, riwayat yang mengatakan pada waktu Fath Makkah; ketiga, menyebutkan pada waktu perang Tabuk;
keempat, riwayat yang mengatakan pada waktu haji Wada’; kelima, riwayat yang mengatakan pada waktu umrah qadha; Dan keenam, riwayat yang mengatakan bahwa pengharaman nikah mut’ah terjadi pada perang Anthas. Pendapat terakhir ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut ini:
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّة.
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Gaza’ah telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibn Syihab dari Abdullah dan al-Hasan keduanya anak Muhammad bin ‘Ali dari ayah mereka berdau dari ‘Ali bin Abi Talib ra. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang mengawini wanita dengan cara mut’ah (nikah dengan batas waktu tertentu) pada saat perang Khaibar dan melarang makan daging keledai jinak (peliharaan).
Berdasarkan hadis yang riiwayatkan dari Ali menunjukkan, bahwa nikah mut’ah diharamkan pada hari perang Khaibar. Al-Hazimiy meriwayatkan pada hari Fath Makkah, yang jelas pengharamannya dua kali, yakni sebelum perang Khaibar kemudian dibolehkan lagi pada waktu Fath Makkah selama tiga hari, kemudian diharamkan untuk selama-lamanya. Selanjutnya Al-Hazimiy berkata, Muslim meriwayatkan dari al-Raby bin Sabra Al-Juhainiy bahwa ayahnya menceritakan padanya bahwa ketika bersama Rasulullah saw. pada tahun Fath Makkah. Pada waktu itu Rasulullah bersabda: Wahai sekalian manusia saya pernah izinkan kamu sekalian untuk Nikah Mut’ah. Dan bahwa sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barang siapa masih melakukannya hendaklah ia menghentikannya. Dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang kamu telah berikan kepada mereka.”
Dari keterangan hadis di atas dapat dipahami dalam tiga tingkatan sebagai berikut:
  1. Riwayat itu menyatakan keharaman mut’ah secara mutlak; 
  2. Riwayat itu menyatakan larangan mut’ah kepada kelompok tertentu, dan
  3. Riwayat itu langkah awal pengharaman nikah mut’ah.
Tingkat pertama menyatakan keharaman hakiki. Larangan itu sebenarnya talah ada menjelang hijrah Nabi saw. ke Madinah. Pelarangan itu ditegaskan di dalam (QS. Al-Mukmin (23): 5-7)
Jadi mut’ah yang tercakup pada larangan hadis tersebut tidaklah menunjukkan larangan abadi, tetapi sifatnya sementara, bahwa pelarangan itu baru masuk pada tingkat peringatan yang pada hakikatnya tidak disetujui oleh Islam. Jadi belum merupakan larangan mutlak. Sebab dalam riwayat lain dinyatakan sahabat melakukan nikah mut’ah, akan tetapi lebih pada pelarangan bentuk ke dua, yakni larangan nikah mut’ah kepada kelompok tertentu, yakni kaum Yahudi. Mereka dipandang orang-orang terkutuk, tidak memenuhi janji sebagai mana disepakati dalam Islam. Maka inti dari larangan ini adalah larangan mendekati orang Yahudi karena kejengkelan Nabi atas sikap mereka terhadap Islam. Sejak larangan itulah umat Islam tidak mempercayai lagi kaum Yahudi, sekaligus memutuskan hubungan, termasuk hubungan mut’ah yang dilarang. Demikian pula masuk kategori pelarangan ketiga, yakni langkah awal untuk menghapuskan nikah mut’ah.
Setahun berikutnya, selepas perang Khaibar terjadi peristiwa Fath al-Makkah pada tahun 8 H. pada peristiwa ini, umat Islam memperlihatkan kekuatannya dengan mempersatukan umat Islam (10.000 orang), kemudian berangkat bersama-sama ke Mekkah pada bulan Ramadhan. Karena perjalanan jauh, sesampainya di sana, mereka merasa gelisah karena tidak disertai oleh isteri-isteri mereka. Atas dasar itulah Rasulullah saw. memberikan dispensasi kebolehan nikah mut’ah dengan penduduk setempat selama tiga hari berturut-turut. Hadis yang mengungkap persoalan ini bersumber dari dua orang sahabat, yakni Abdullah bin zubair dan Sabrah bin Ma’bad al-Juhani yang salah satunya dapat dijadikan syahid dari yang lain. Adapun riwayatnya adalah:
قتيبةبن سَعِيد حَدَثَنَا لَيْث عَن الَربِيْع بْنِ سَبْرَةَ اْلجُهَنِي عَنْ أَبِيْهِ سَبْرَةَ اَنّهُ فَالَ اَ ذِ نَ لَناَ رَ سُوْلُ اللهِ صلي الله عليه وسلم بِاْلمُتْعَةِ فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ إليَ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي عَاِمٍر كَأَنَهَا بَكْرَةٌعَيْطَاءُ فَعَرَضْنَا عَلَيْهَا أَنْفُسَنَا فَقَالَتْ مَا تُعْطِي فَقُلْتُ رِدَاءِي وَقَالَ صَاحِبيِ رِدَاءِي وَكانَ رِدَاءُ صَاحِبِي أَجْوَدَ مِنْ رِدَاءِي وكُنْتُ أَشَبَّ مِنْهُ فَإِذَا نَظَرَتْ إِلَي رِدَاءِ صَاحِبِي أَعْجَبَهَا وَإِذَا نَظَرَتْ إِلَيَّ أَعْجَبْتُهَا ثُمَّ قَاَلتْ أَنْتَ وَرِدَاؤُكَ يَكْفِيْنِي فَمَكَثْتُ مَعَهَا ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلي الله عليه وسلم قَالَ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ الَّتِي يَتَمَتَّعُ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَها
Artinya:
Qutaybah bin Sa’id menceritakan, Laish menceritakan dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhanny dari bapaknya (Sabrah), ia berkata: Rasulullah saw. membolehkan kepada kami melakukan nikah mut’ah lalu saya besama seorang teman menemui seorang perempuan dari bani Amir, laksana bakrah ‘ayta (perempuan pujaan pada masa itu karena kecantikan lehernya yang jenjang). Setelah kami menghadap kepadanya, ia berkata: “apa yang akan anda berikan sebagai mahar”? Saya menjawab: “sorbanku”. Teman saya juga menjawab “sorbanku”. Sorban temanku lebih bagus daripada sorbanku, tetapi saya lebih muda darinya, maka ketika ia melihat sorban temanku ia mengaguminya, dan ketika ia memandang kepadaku, akupun kagum padanya, lalu perempuan itu berkata:”kamu bersama sorbanmu cukup buat saya”. Lalu saya tinggal bersamanya selama tiga hari, kemudian Rasulullah berkata: “Barang siapa yang memiliki perempuan yang dinikahi secara mut’ah, hendaklah ia melepaskannya (memberinya kebebasan)”.
Riwayat tersebut pada dasarnya mengandung tiga pengertian, yaitu (1) larangan mut’ah pada Fath al-Makkah tanpa batas (abadi); (2) larangan mut’ah ada batas; dan (3) larangan mut’ah pada masa haji Wada’.
Oleh kebanyakan ulama mengharamkan nikah mut’ah menjadikan sebagai larangan terakhir. Adapu peristiwa lain, misalnya peristiwa haji Wada’ dan Awts berfungsi penegas atas keharaman yang dituturkan Nabi pada peristiwa Fath Makkah. Jadi peristiwa fath al-Makkah merupakan peristiwa pertama yang menyatakan keharaman nikah mut’ah. Dalam sebuah riwayat dikatakan riwayat ibn ‘Abbas yang menyatakan keharaman nikah mut’ah bagaikan bangkai, darah, dan daging babi.
Pernyataan tersebut menguatkan bahwa mut’ah tidak dipahami perbuatan haram oleh sahabat, jika dalam keadaan darurat, misalnya perjalanan jauh, perang, dan sebagainya yang sifatnya menyebabkan kesulitan memenuhi kebutuhan biologis, dibenarkn untuk melakukan nikah mut’ah. Jadi hukum dasarnya adalah haram, tetapi karena kondisi yang memaksa, sehingga dibolehkan sesuatu yang dilarang.
Kepustakaan:
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, vol. VII, terj. al-Hanafi Jakarta: Bulan Bintang, 1969. Al-Bukhariy, kitab al-maghaziy, bab ghazwat al-khaibar, hadis no. 3894, kitab al-nikah, bab naha al-Rasulullah ‘an nikah al-mut’ah akhar, hadis no. 4723, kitab al-dzabaih, bab luhum al-himar al-insiyah, hadis no. 5098, kitab al-hail, bab al-hailah fi al-nikah, hadis no. 6446. Muslim, kitab al-nikah, bab nikah al-mut’ah wa bayyin annahu abihu tsumma nasiya, hadis no. 2510, 2511, 2512, 2513, kitab al-shaid, bab tahrim aklu lahma al-khimar al-insiyah, hadis no. 3581.Al-Turmudziy, kitab al-nikah, bab ma ja’a fi tahrim al-nikah al-mut’ah, hadis no. 1040, kitab al-ath’imah, bab ma ja’a fi luhum al-khimar al-ahliyah, hadis no. 1716. Al-Nasaiy, kitab al-nikah, bab ihlalu al-farj, hadis no. 3312, 3313, kitab al-shaidu, bab tahrim aklu lahma al-khimar al-ahliyah, hadis no. 4260. Ibn Majah, kitab al-nikah, bab nahy ‘an nikah al-mut’ah, hadis no. 1951.Malik, kitab al-nikah, bab nikah al-mut’ah, hadis no. 994.Al-Darimiy, kitab al-adhha, bab fi luhum al-khimar al-ahliyah, hadis no. 1906.Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-‘asyarah al-mubasysyirin bi al-jannah, bab wa min musnad ‘Ali bin Abi Thalib, hadis no. 558, 771. Muhammad Ali al-Shabuniy, Nikah al-Mut’ah fi al-Islam Haram, Kairo: Dar al-Shabaly, T.th. Abustani Ilyas, “TelaahKritis Hadis-hadis Nikah Mut’ah di dalam al-Kutub al-Sittah” Disertasi, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 2000. Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayrinal-Naysaburi, Shahih Muslim, Juz II Mesir: Dar al-Kutub al-Misr, t. th.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar